Reina mengabaikan ponselnya yang
bergetar. Ia memilih berkutat dengan komputernya, mengerjakan laporan yang
harus ia serahkan nanti sore kepada atasannya. Ia bukannya tidak ada waktu untuk
mengangkat telepon yang masuk, namun rasa kesal yang dirasakannya membuat Reina
tidak menghiraukan panggilan tersebut.
Reina tahu siapa yang sedang
meneleponnya. Ia memang sengaja mengabaikan sang penelepon karena kesal yang
dirasakannya. Ia telah mengabaikan penelepon tersebut sejak kemarin dan memilih
menghidupkan mode getar pada ponselnya agar suara panggilan masuk tidak
terdengar dan mengganggu yang lain.
Terakhir Reina mencek, tertulis di layar
ponselnya 57 panggilan tak terjawab dan 30 pesan belum dibaca dari orang
tersebut. Reina masih mengeraskan hatinya untuk mengabaikan setiap panggilan
dari nomor yang ia sudah hafal diluar kepala. Ia ingin membalas sang penelepon
agar ia tahu bagaimana rasanya diabaikan selama dua hari padahal Reina sangat
merindukan orang tersebut.
Sampai detik inipun sebenarnya Reina
masih merindukannya. Ia bahkan sempat beradu argumen dengan dirinya sendiri.
Namun sisi egoisnya berhasil menang. Sampai detik ini, Reina masih membiarkan
ponselnya bergetar diatas meja kerjanya.
Lima menit kemudian ponsel Reina tidak
lagi bergetar. Tangan kanan Reina meraih dan membuka kunci ponselnya dengan password tanggal lahir kekasihnya. Ada 75
panggilan tidak terjawab dan 35 pesan. Reina membuka pesan yang paling atas dan
membacanya dengan suara yang pelan.
“Aku
tahu kamu marah, tapi tolong angkat teleponku. Aku khawatir sama kamu.”
Reina mencibir ponselnya. Ia menggerutu
dengan pelan sambil keluar dari menu pesan sebuah aplikasi ternama. Reina menghempaskan
punggungnya ke sandaran kursi. Ia termenung memikirkan apa yang telah ia
lakukan ini mungkin keterlaluan. Namun jika mengingat betapa kesalnya dirinya,
Reina menganggap jika yang dia lakukan bukanlah hal yang besar.
Telinga Reina mendengar derap langkah
kaki, dengan segera ia kembali melabuhkan jemarinya diatas keyboard. Reina kembali melanjutkan pekerjaannya yang tertunda
karena memikirkan seseorang yang dirindukannya. Namun ia menghela nafas lega
saat mendengar suara pemilik derap langkah yang sempat ia kira atasannya.
“Rei, lo lagi sibuk?” Reina menatap
Melya. Ia mengusap dadanya menghilangkan rasa gugup dan takutnya. Reina takut
yang datang adalah atasannya, menagih laporan yang masih ia kerjakan.
“Gue kira lo si Bos, kenapa, Mel?”
“Ini, ada telepon buat lo.” Reina mengangkat alisnya namun
tetap menerima ponsel Melya. Reina menempelkan ponsel Melya ke telinganya
sambil mulai berbicara.
“Halo?” Reina tidak mendengar suara
apapun diseberang sana. Reina menatap Melya dan berbicara tanpa suara
menanyakan siapa yang sedang menelepon.
“Lo ngomong aja, gue keluar dulu.” Perhatian
Reina terbagi kepada Melya yang keluar dari biliknya dan suara yang ia kenal
terdengar dari ponsel tersebut. Reina cukup kaget mendengar suara itu dan
membuatnya lupa dengan Melya.
“Rizky?” seru Reina yang dibalas kekehan
yang terdengar dari ponsel Melya.
“Aku kangen banget sama kamu, Princess.”
Reina merasa hatinya luluh mendengar
suara yang juga dirindukannya. Reina juga hampir lupa kalau ia sedang marah
dengan penelepon tersebut. Satu menit kemudian, ia kembali bersuara dengan ketus
kepada sang penelepon.
“Ada apa kamu nelepon ke ponsel Melya?” Reina
berusaha berbicara dengan seketus mungkin walaupun sebenarnya ia merasa senang
karena bisa kembali mendengar suara lelakinya.
“Kamu nggak angkat teleponku, Reina. Aku
khawatir sama kamu. Perasaan aku jadi nggak enak.”
“Terus kenapa ponsel kamu nggak bisa
dihubungi? Telepon sama pesan aku juga nggak dibalas.”
“Jum’at kemarin aku dapat tugas dadakan
buat bikin presentasi di hari Sabtu. Aku nggak sempat lagi megang ponsel. Terus
ponsel aku mati gara-gara baterainya habis. Aku baru sadar ponsel aku mati
setelah presentasi. Aku nyoba buat ngehubunin kamu sejak sabtu malam, tapi
nomor kamu malah nggak aktif. Kamu juga nggak angkat telepon aku sejak kemarin.”
“Halah, itu alasan kamu, aja.”
“Demi Tuhan, Reina. Aku nggak bohong.”
Reina hanya diam dan tidak lagi
menanggapi ucapan Rizky. Sebenarnya ia percaya dengan semua yang Rizky ucapkan
karena selama ini Rizky memang tidak pernah membohonginya. Rizky juga tidak
pernah main-main dengan ucapannya, apalagi jika sampai Rizky mengucapkan kata
sumpah.
“Reina? Kamu masih disana ‘kan?”
“Iya, Ky.” Suara Reina melembut. Sedikit
demi sedikit rasa kesalnya mulai memudar dan berganti rasa rindu yang sempat
membuat Reina kehilangan good moodnya.
Andai saja bisa, Reina ingin sekali memeluk Rizky yang berada jauh disana.
“Aku minta maaf, Princess. Maaf aku mengabaikan telepon dan pesan kamu. Aku juga
sangat merindukan kamu.” Reina memejamkan matanya mendengar suara lirih Rizky. Walaupun
Reina memiliki sifat yang keras dan terkadang tidak perduli, tetapi ia memiliki
hati yang mudah tersentuh.
“Oke, aku maafin kamu,” kata Reina pada
akhirnya. Ia mendengar helaan nafas lega Rizky yang membuatnya kembali tersenyum.
“Tapi lain kali, aku nggak mau lagi
kayak gini, ya. Aku khawatir banget sama kamu, Ky.”
“Iya, Princess. Aku baik-baik aja. Malah aku yang khawatir sama kamu. Selama
dua hari ini, perasaan aku nggak enak.”
“Aku nggak pa-pa, Ky. Jum’at malam aku
ke tempat biasa sama Melya. Nggak sampe larut, aku pulang. Hari Sabtu aku cuma tidur,
nggak kemana-mana.”
“Syukurlah kalau kamu nggak kenapa-napa.
Mungkin itu cuma perasaanku aja.”
Reina kembali menghela nafasnya. Ia
bergumam meminta maaf pada Rizky karena tidak menceritakan apa yang terjadi di
hari Jum’at. Reina tahu Rizky tidak menyukai Abimanyu dan sudah memberinya
peringatan agar menjauhi lelaki tersebut. Ia tidak mau membuat Rizky marah dan
mengkhawatirkannya.
“Udah dulu ya, Ky. Aku lagi ada deadline. Nanti malam kita teleponan
lagi, ya.”
“Iya, Princess. Kamu jangan terlalu memaksakan diri. Jangan lupa makan
siang.”
“Iya. Kamu juga, Ky,” kata Reina sambil
tersenyum. Ia membayangkan Rizky juga sedang tersenyum disana.
“Sampai nanti, Princess. I love you.”
“I
love you too, Ky.” Reina mendengar kekehan Rizky. Ia yakin jika kini Rizky
sedang tersenyum lebar sama sepertinya.
“I
love you more, Princess.”
Reina tersenyum lebar sambil meletakkan
ponsel Melya diatas meja. Semua kekesalannya telah menghilang dan berganti rasa
senang. Reina merasa kembali menemukan semangatnya yang sempat hilang sejak dua
hari yang lalu. Ia merasa kembali bersemangat mengerjakan pekerjaannya dan
berhenti memikirkan hal yang tidak-tidak dengan Rizky.
*******
Reina berjalan beriringan dengan Melya
dan Rio ke basement tempat mobil
mereka berada. Namun ia sangat terkejut saat melihat Abimanyu bersandar di kap
mobilnya. Ia masih kesal dan marah pada lelaki tersebut. Reina berniat
menghindari Abimanyu, namun belum sempat ia melaksanakan niatnya, Abimanyu telah melihat kedatangannya
dan memanggil namanya.
Dengan terpaksa Reina berjalan menuju
mobilnya berada. Ia berusaha mengabaikan Abimanyu walaupun pria tersebut
berusaha menarik perhatiannya. Kejadian tiga hari yang lalu masih membekas
dalam ingatan Reina.
“Gue pengen bicara, Rei.”
“Gue nggak ada yang perlu dibicaraain
sama, lo. Minggir, lo!” bentak Reina kepada Abimanyu yang menghalangi jalannya.
Namun Abimanyu tidak bergerak dan tetap meminta Reina mendengarkannya.
“Please,
Rei. Gue minta maaf buat yang kemarin. Gue terbawa perasaan.”
“Gue udah maafin lo, Nyu. Tapi gue nggak
mau lagi berurusan sama, lo!” Reina menunjuk Abimanyu tepat diwajahnya. Dengan cepat
Reina berjalan menuju pintu mobil meninggalkan Abimanyu, Melya serta Rio yang
hanya diam melihat pertengkaran Reina dan Abimanyu.
Namun saat Reina ingin menutup pintu
mobil, Abimanyu lebih dulu menahan tangan Reina yang membuat Reina menjerit
minta dilepaskan.
“Lepas, Nyu. Gue nggak mau lagi berurusan
sama, lo!” Reina memberontak, namun semakin keras Reina mencoba melepaskan tangannya, Abimanyu
semakin mempererat cekalannya.
“Gue cuma minta waktu sebentar, Rei.”
“Gue nggak mau. Mel, panggilin satpam
kantor buat ngusir lelaki ini,” perintah Reina yang langsung mendapat anggukan
kepala oleh Melya.
“Nggak
perlu. Gue cuma mau bicara sebentar sama Reina.” Langkah Melya langsung
terhenti. Lalu ia hanya diam dan menatap Rio yang juga tampak tidak tahu harus
berbuat apa.
“Gue benar-benar minta maaf, Rei. Gue
kelepasan waktu itu. Sorry, gue janji
ini nggak akan keulang lagi.”
“Nyu, gue udah bilang, gue udah maafin,
lo. Tapi gue tetap nggak mau berurusan lagi sama, lo.” Reina mendorong Abimanyu
dengan keras hingga lelaki tersebut terdorong ke belakang. Dengan cepat Reina
menutup pintu dan menguncinya. Ia bergegas menyalakan mesin mobilnya dan
meninggalkan Abimanyu, Melya dan Rio serta mengabaikan teriakan Abimanyu yang
memanggil namanya.
***
Tulisan ini untuk Tantangan Hari Keenam Belas event #30DWCJilid5. Mohon kritik dan saran untuk setiap kekurangan.
Terima Kasih.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar