“Sar, temani aku, ya?” pintaku pada
Sarah setelah jam kuliah terakhir selesai. Teman-teman sekelasku juga sudah
siap untuk keluar ruangan untuk segera pulang.
“Aku tidak mau mengganggu kalian, Ra. Lagipula
sepertinya Firman hanya ingin bicara padamu,” tolak Sarah yang membuatku
menghembuskan nafas kecewa.
“Ayolah, Sar. kamu tahu ‘kan kalau aku
tidak bisa pergi sendirian.”
“Ajak saja Firman ke tempat ramai, Ra. Firman
tidak akan berbuat macam-macam.”
“Bukan begitu. Ayolah, Sar, kali ini
saja.” Aku menangkupkan tanganku, mencoba membujuk Sarah. Akhirnya aku memeluk
Sarah saat kepala perempuan tersebut mengangguk.
“Terima kasih, Sar.”
“Sama-sama, Ra.”
Aku dan Sarah keluar dari kelas dan
berjalan menuju parkiran. Sepanjang jalan, Sarah terus menggodaku. Akupun tidak
bisa menyembunyikan rona merah di wajahku. Saat Sarah mendapati rona merah
tersebut, ia semakin menjadi-jadi menggodaku yang membuat aku merasa sangar
malu.
“Assalamu’alaikum,
Firman,” sapaku pada Firman yang duduk menungguku diatas motor ninjanya.
“Wa’alaikumus
salam, Ra.” kulihat Firman turun dari motornya dan mendekat ke arahku dan
Sarah
“Ma’af membuatmu menunggu lama. Aku juga
mengajak Sarah, tidak apa-apa ‘kan?”
Sekilas aku dapat menangkap raut berbeda
dari wajah Firman, namun detik berikutnya raut wajahnya sudah kembali seperti
semua.
“Tidak apa-apa, Ra,” kata Firman yang
wajahnya masih dihiasi senyuman manisnya.
“Kamu ingin bicara apa?” tanyaku yang
ingat apa tujuanku bertemu Firman ditempat tersebut.
“Sepertinya tidak enak membicarakannya
disini, Ra. Bagaimana kalau kita bicara di kafe seberang kampus?” tawar Firman
sambil menunjuk sebuah kafe di depan gedung kampus.
Aku menoleh kepada Sarah meminta
tanggapannya. Ia menganggukkan kepalanya sebagai jawaban. Akupun akhirnya
menyetujui tawaran Firman.
“Baiklah.”
Firman lebih dulu berjalan menuju kafe. Aku
dan Sarah berjalan dibelakang mengikuti langkah Firman. Sarah menyenggol
lenganku sambil menaik-turunkan alisnya menggodaku. Aku menggelengkan kepalaku
sebagai tanda agar ia mau berhenti membuatku merasa malu.
Aku menatap pantulan bayanganku bersama
Sarah didinding kafe yang terbuat dari kaca. Sarah tampak cantik dengan
memperlihatkan kulit putihnya dengan gaun selutut tanpa lengan berwarna bermotif
monokrom dan blazer berwarna hitam yang ia gantungkan dilengannya. Kaki Sarah
dilindungi sepatu tanpa hak berwarna putih yang senada dengan tasnya. Sedangkan
aku masih dengan pakaian kebesaranku, kerudung syar’i berwarna baby pink
yang menutupi gaun panjangku yang berwarna biru malam polos, sepatu tanpa hak
berwarna hitam dan tas berwarna hitam pula.
Firman melambaikan tangannya memberi
tanda aku harus duduk di meja bagian tengah kafe. Sedangkan Sarah memilih meja
dipojok kafe karena tidak ingin ikut campur dalam pembicaraan kami. Kurasa tidak
masalah jika Sarah duduk disana. Lagipula ada banyak pengunjung lain yang
membuatku tidak hanya berdua dengan Firman.
“Apa yang ingin kamu bicarakan, Firman?”
tanyaku setelah kami duduk di meja yang sama. Aku menatap Firman yang tampak
menggunakan kemeja bermotif garis berwarna hijau muda. Firman terlihat tampak
gugup, namun ia berusaha keras menutupinya.
“Aku ingin mengatakan sesuatu, Ra.”
Aku sendiri merasa berdebar menunggu
kata-kata yang akan diucapkan Firman. Aku juga merasaa sedikit gemetar yang
berusaha kutahan dengan keras.
“Ada apa?”
“Aku...,” ada jeda yang membuatku
semakin pensaran dan jantungku berdegup dengan keras. Aku semakin penasaran
yang berbanding sama dengan rasa deg-degan yang kurasakan. Kulihat Firman juga menggenggam
tangannya sendiri dengan erat sama sepertiku.
“Aku suka sama kamu, Ra.” kata-kata
tersebut terdengar mantap yang keluar dari mulut Firman. Firman terlihat
menghela nafasnya sebelum kembali mengutarakan perasaannya.
“Aku tidak tahu kapan perasaan itu muncul.
Tetapi selama beberapa bulan ini, aku tidak bisa berhenti memikirkanmu, Ra. ada
satu hal dari dirimu yang membuatku terus memikirkanmu. Dan kupikir aku sudah
yakin dengan perasaanku kepadamu.”
Aku hanya diam tidak tahu harus
mengatakan apa. Ini pertama kalinya ada seorang lelaki mengungkapkan
perasaannya kepadaku. Kuakui aku terhanyut oleh kata-kata dan raut wajah serius
dari Firman. Tetapi hati kecilku mengingatkanku, mengingatkan bahwa aku telah
berjanji pada diriku sendiri untuk suatu hal.
“Terima kasih, Firman. Tetapi aku minta
maaf. Aku benar-benar minta maaf, karena aku tidak bisa menerimamu.” Binar mata
Firman yang meredup membuatku juga merasa sedih.
“Aku telah berjanji pada diriku sendiri
untuk fokus pada kuliahku, Firman. Aku menolak menjalin hubungan dengan lawan
jenis selain dalam hubungan yang halal. Maaf, tetapi aku tidak mau mengingkari
janji yang telah kubuat dengan diriku sendiri. Kita masih bisa berteman,
Firman. Dan kalau memang kita berjodoh, suatu hari nanti pasti kita bisa
bersama dalam hubungan yang diridhoi Allah SWT.”
“Tidak bisakah kau memikirkannya lagi,
Ra? Aku berjanji akan serius denganmu. Aku bahkan mau berubah demi kamu.”
“Tidak, Firman. Aku hargai semua yang
telah kamu lakukan. Tetapi aku tetap kepada keputusanku. Jika kamu memang
serius, tunjukkanlah keseriusanmu. Kamu tentu tahu bagaimana seorang lelaki
menunjukkan keseriusannya, bukan?”
Aku menatap Firman yang terdiam mencerna
ucapanku. Aku berharap ia mau mengerti. Walaupun sejujurnya, aku juga telah
jatuh hati pada Firman. Namun, aku memasrahkannya kepada takdir yang telah
tertulis jauh sebelum aku lahir ke dunia.
“Aku sungguh kecewa, Ra. Aku kecewa sama
kamu.”
Aku menatap Firman yang pergi dengan
raut wajah marah. Aku mencemaskannya, takut ia terbawa emosi dan melakukan hal
yang tidak-tidak. Aku ingin mengejarnya, namun tanganku ditahan oleh seseorang.
Aku mendapati Sarah tengah menahan tanganku dan menatapku dengan cemas.
“Biarkan Firman menenangkan dirinya
dulu, Ra.”
“Tapi aku khawatir, Sar. Ia terlihat
sangat marah.” Sarah duduk dikursi yang awalnya ditempati Firman. Ia menatapku
sambil mengelus lenganku memberiku rasa tenang.
“Aku yakin Firman bukan lelaki bodoh,
Ra. Ia hanya perlu menenangkan diri. Firman pasti baik-baik saja.”
Kalimat terakhir dari Sarah menjadi bait
do’aku untuk Firman. Aku berdo’a agar ia bisa menerima keputusanku. Aku berharap
semuanya akan baik-baik saja dan kembali seperti semula. Walaupun kuakui,
mungkin aku juga merasakan hal yang sama seperti yang Firman rasakan.
***
Tulisan ini untuk Tantangan Hari Kelima Belas event #30DWCJilid5. Mohon kritik dan saran untuk setiap kekurangan.
Terima Kasih.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar