Selasa, 25 April 2017

Kalau Jodoh, Kita Pasti... (Lima) (#30DWCJILID5)



“Sar, temani aku, ya?” pintaku pada Sarah setelah jam kuliah terakhir selesai. Teman-teman sekelasku juga sudah siap untuk keluar ruangan untuk segera pulang.
“Aku tidak mau mengganggu kalian, Ra. Lagipula sepertinya Firman hanya ingin bicara padamu,” tolak Sarah yang membuatku menghembuskan nafas kecewa.
“Ayolah, Sar. kamu tahu ‘kan kalau aku tidak bisa pergi sendirian.”
“Ajak saja Firman ke tempat ramai, Ra. Firman tidak akan berbuat macam-macam.”
“Bukan begitu. Ayolah, Sar, kali ini saja.” Aku menangkupkan tanganku, mencoba membujuk Sarah. Akhirnya aku memeluk Sarah saat kepala perempuan tersebut mengangguk.
“Terima kasih, Sar.”
“Sama-sama, Ra.”
Aku dan Sarah keluar dari kelas dan berjalan menuju parkiran. Sepanjang jalan, Sarah terus menggodaku. Akupun tidak bisa menyembunyikan rona merah di wajahku. Saat Sarah mendapati rona merah tersebut, ia semakin menjadi-jadi menggodaku yang membuat aku merasa sangar malu.
Assalamu’alaikum, Firman,” sapaku pada Firman yang duduk menungguku diatas motor ninjanya.
Wa’alaikumus salam, Ra.” kulihat Firman turun dari motornya dan mendekat ke arahku dan Sarah
“Ma’af membuatmu menunggu lama. Aku juga mengajak Sarah, tidak apa-apa ‘kan?”
Sekilas aku dapat menangkap raut berbeda dari wajah Firman, namun detik berikutnya raut wajahnya sudah kembali seperti semua.
“Tidak apa-apa, Ra,” kata Firman yang wajahnya masih dihiasi senyuman manisnya.
“Kamu ingin bicara apa?” tanyaku yang ingat apa tujuanku bertemu Firman ditempat tersebut.
“Sepertinya tidak enak membicarakannya disini, Ra. Bagaimana kalau kita bicara di kafe seberang kampus?” tawar Firman sambil menunjuk sebuah kafe di depan gedung kampus.
Aku menoleh kepada Sarah meminta tanggapannya. Ia menganggukkan kepalanya sebagai jawaban. Akupun akhirnya menyetujui tawaran Firman.
“Baiklah.”
Firman lebih dulu berjalan menuju kafe. Aku dan Sarah berjalan dibelakang mengikuti langkah Firman. Sarah menyenggol lenganku sambil menaik-turunkan alisnya menggodaku. Aku menggelengkan kepalaku sebagai tanda agar ia mau berhenti membuatku merasa malu.
Aku menatap pantulan bayanganku bersama Sarah didinding kafe yang terbuat dari kaca. Sarah tampak cantik dengan memperlihatkan kulit putihnya dengan gaun selutut tanpa lengan berwarna bermotif monokrom dan blazer berwarna hitam yang ia gantungkan dilengannya. Kaki Sarah dilindungi sepatu tanpa hak berwarna putih yang senada dengan tasnya. Sedangkan aku masih dengan pakaian kebesaranku, kerudung syar’i berwarna baby pink yang menutupi gaun panjangku yang berwarna biru malam polos, sepatu tanpa hak berwarna hitam dan tas berwarna hitam pula.
Firman melambaikan tangannya memberi tanda aku harus duduk di meja bagian tengah kafe. Sedangkan Sarah memilih meja dipojok kafe karena tidak ingin ikut campur dalam pembicaraan kami. Kurasa tidak masalah jika Sarah duduk disana. Lagipula ada banyak pengunjung lain yang membuatku tidak hanya berdua dengan Firman.
“Apa yang ingin kamu bicarakan, Firman?” tanyaku setelah kami duduk di meja yang sama. Aku menatap Firman yang tampak menggunakan kemeja bermotif garis berwarna hijau muda. Firman terlihat tampak gugup, namun ia berusaha keras menutupinya.
“Aku ingin mengatakan sesuatu, Ra.”
Aku sendiri merasa berdebar menunggu kata-kata yang akan diucapkan Firman. Aku juga merasaa sedikit gemetar yang berusaha kutahan dengan keras.
“Ada apa?”
“Aku...,” ada jeda yang membuatku semakin pensaran dan jantungku berdegup dengan keras. Aku semakin penasaran yang berbanding sama dengan rasa deg-degan yang kurasakan. Kulihat Firman juga menggenggam tangannya sendiri dengan erat sama sepertiku.
“Aku suka sama kamu, Ra.” kata-kata tersebut terdengar mantap yang keluar dari mulut Firman. Firman terlihat menghela nafasnya sebelum kembali mengutarakan perasaannya.
“Aku tidak tahu kapan perasaan itu muncul. Tetapi selama beberapa bulan ini, aku tidak bisa berhenti memikirkanmu, Ra. ada satu hal dari dirimu yang membuatku terus memikirkanmu. Dan kupikir aku sudah yakin dengan perasaanku kepadamu.”
Aku hanya diam tidak tahu harus mengatakan apa. Ini pertama kalinya ada seorang lelaki mengungkapkan perasaannya kepadaku. Kuakui aku terhanyut oleh kata-kata dan raut wajah serius dari Firman. Tetapi hati kecilku mengingatkanku, mengingatkan bahwa aku telah berjanji pada diriku sendiri untuk suatu hal.
“Terima kasih, Firman. Tetapi aku minta maaf. Aku benar-benar minta maaf, karena aku tidak bisa menerimamu.” Binar mata Firman yang meredup membuatku juga merasa sedih.
“Aku telah berjanji pada diriku sendiri untuk fokus pada kuliahku, Firman. Aku menolak menjalin hubungan dengan lawan jenis selain dalam hubungan yang halal. Maaf, tetapi aku tidak mau mengingkari janji yang telah kubuat dengan diriku sendiri. Kita masih bisa berteman, Firman. Dan kalau memang kita berjodoh, suatu hari nanti pasti kita bisa bersama dalam hubungan yang diridhoi Allah SWT.”
“Tidak bisakah kau memikirkannya lagi, Ra? Aku berjanji akan serius denganmu. Aku bahkan mau berubah demi kamu.”
“Tidak, Firman. Aku hargai semua yang telah kamu lakukan. Tetapi aku tetap kepada keputusanku. Jika kamu memang serius, tunjukkanlah keseriusanmu. Kamu tentu tahu bagaimana seorang lelaki menunjukkan keseriusannya, bukan?”
Aku menatap Firman yang terdiam mencerna ucapanku. Aku berharap ia mau mengerti. Walaupun sejujurnya, aku juga telah jatuh hati pada Firman. Namun, aku memasrahkannya kepada takdir yang telah tertulis jauh sebelum aku lahir ke dunia.
“Aku sungguh kecewa, Ra. Aku kecewa sama kamu.”
Aku menatap Firman yang pergi dengan raut wajah marah. Aku mencemaskannya, takut ia terbawa emosi dan melakukan hal yang tidak-tidak. Aku ingin mengejarnya, namun tanganku ditahan oleh seseorang. Aku mendapati Sarah tengah menahan tanganku dan menatapku dengan cemas.
“Biarkan Firman menenangkan dirinya dulu, Ra.”
“Tapi aku khawatir, Sar. Ia terlihat sangat marah.” Sarah duduk dikursi yang awalnya ditempati Firman. Ia menatapku sambil mengelus lenganku memberiku rasa tenang.
“Aku yakin Firman bukan lelaki bodoh, Ra. Ia hanya perlu menenangkan diri. Firman pasti baik-baik saja.”
Kalimat terakhir dari Sarah menjadi bait do’aku untuk Firman. Aku berdo’a agar ia bisa menerima keputusanku. Aku berharap semuanya akan baik-baik saja dan kembali seperti semula. Walaupun kuakui, mungkin aku juga merasakan hal yang sama seperti yang Firman rasakan.


***
Tulisan ini untuk Tantangan Hari Kelima Belas event #30DWCJilid5. Mohon kritik dan saran untuk setiap kekurangan. Terima Kasih.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar