Anak
perempuan itu memukul-mukulkan spatula mainan yang biasanya ia gunakan bermain
masak-masakkan bersama Bibi Maisya. Ia sedang kesal karena ia tidak diajak
bermain oleh saudara sepupunya yang selalu ia ikuti. Ia sudah lelah menangis,
sekarang ia menumpahkan kekesalannya dengan memukulkan semua alat permainannya
dengan keras hingga rusak.
“Aku
benci, Mas Hans! Mas Hans jahat. Mas Hans tidak sayang padaku,” teriaknya
sambil memukulkan salah satu boneka kesayangannya yang memiliki harga yang
tidak murah.
“Mas
Hans hanya menyayangi Lova, padahal Lova bukan adik Mas Hans. Seharusnya aku
yang pergi bersama Mas Hans,” gerutu bibir kecilnya. Ia masih terus memukulkan
boneka tersebut ke lantai hingga kepala boneka tersebut hampir putus. Namun
anak perempuan itu seakan tidak perduli walaupun boneka itu salah satu boneka kesayangannya.
Ia terlalu dikuasai rasa kesal yang membuatnya begitu marah.
“Sudah,
Nona Yasmin, kasihan bonekanya. Nanti bonekanya bisa rusak.”
Salah
satu asisten rumah tangga mencoba menenangkan putri majikannya tersebut. Namun
yang terjadi malah sebaliknya, anak perempuan tersebut semakin menjadi-jadi.
“Tidak
mau! Biarkan saja boneka ini rusak,” pekiknya dengan kencang yang membuat
asisten rumah tangga tersebut menutup telinganya dan menyerah membujuk anak
perempuan tersebut. Tetapi kedatangan seorang anak lelaki membuat asisten rumah
tangga itu mengangguk dan meninggalkan majikannya tersebut.
“Biar
aku saja yang membujuknya. Bibi pergi saja.” Asisten rumah tangga itu mengangguk.
Ia menuruti perintah anak lelaki yang sering berkunjung ke rumah keluarga Routh.
Anak
lelaki itu mengambil boneka yang sudah tidak berbentuk lagi dari tangan anak
perempuan tersebut. Boneka tersebut sudah kehilangan kepala dan tangan kirinya.
Anak perempuan itu berusaha merebut bonekanya kembali, namun anak lelaki selalu
berhasil menjauhkannya dari tangan anak perempuan tersebut.
“Kembalikan
bonekaku!”
Anak
perempuan itu melotot ke arah anak lelaki tersebut dengan posisi tangan
diletakkan dipinggang. Ia merasa kesal karena anak lelaki itu mengganggunya.
“Seharusnya
kau bersyukur bisa memiliki boneka sebagus ini, Yasmin. Banyak anak diluar sana
yang ingin mempunyai mainan seperti ini tetapi mereka tidak bisa membelinya.”
Ucapan
anak lelaki itu tidak dihiraukan oleh anak perempuan tersebut. Ia kembali
mencoba mengambil boneka yang kini sedang diangkat tinggi oleh anak lelaki
tersebut.
“Aku
tidak peduli. Kembalikan bonekaku!”
Anak
lelaki tersebut menggelang yang membuat anak perempuan tersebut mengerutu dan
berteriak kesal. Namun yang terjadi selanjutnya, anak perempuan itu malah
menangis dengan keras. Anak lelaki itu mendadak kebingungan. Ia menggaruk
kepalanya dan berjongkok disamping anak perempuan yang sedang menyembunyikan
kepalanya diantara kedua kakinya.
“Hei,
berhentilah menangis. Yasmin? Aku hanya bercanda.”
Anak
lelaki itu kembali menggaruk kepalanya yang gatal karena anak perempuan itu
masih terus menangis. Tangan anak lelaki itu kini mengelus punggung anak perempuan
tersebut dengan pelan berusaha menenangkan dan mengentikan tangisnya.
“Sudahlah,
Yasmin. Aku tidak bermaksud membuatmu menangis.”
Perlahan-lahan
isak tangisnya mulai mereda. Anak lelaki itu mengelus kepala anak perempuan
tersebut saat ia mengangkat kepalanya. Anak lelaki itu membantu menyeka air
mata anak perempuan tersebut dan merapikan rambutnya yang berantakan.
“Apa
Hans mengabaikanmu lagi?” anak perempuan tersebut mengangguk. Ia menyeka sisa
air mata di wajahnya dengan punggung tangannya.
Anak
lelaki itu hanya menggelengkan kepalanya. Sejak beberapa bulan yang lalu, ia
tahu bahwa anak perempuan tersebut selalu mengikuti kemanapun Hans pergi dan
apapun yang dilakukan Hans. Anak perempuan tersebut selalu menomorsatukan Hans
dibanding hal lain walaupun Hans sama sekali tidak memperdulikannya. Kadang-kadang
ia merasa iba melihat anak perempuan itu bersedih ataupun menangis karena Hans
mengusir atau mengabaikannya.
“Kau
tidak perlu bersedih. Masih banyak yang mau menemanimu.”
“Aku
tidak mau. Aku hanya ingin ditemani Mas Hans .”
“Jangan
seperti itu, Yasmin. Itu tidak baik.”
“Aku
cuma mau ditemani Mas Hans. Aku tidak mau ditemani yang lain.”
“Yasmin,
kau tidak bisa memaksa orang lain mengikuti semua kemauanmu. Kau harus menerima
keputusan orang lain. Kau tidak boleh bersikap egois.”
“Aku
tidak egois. Aku hanya ingin ikut pergi bersama Mas Hans. Tetapi Mas Hans tidak
mengizinkan aku ikut.”
Tangan
anak lelaki itu mengelus kepala anak perempuan tersebut. Kini mereka duduk berdampingan
dan telah melupakan pertengkaran mereka tadi.
“Kenapa
kau tidak diperbolehkan ikut?”
“Kata
Mas Hans, Mas Hans hanya ingin bersama Lova. Aku ingin ikut karena aku ingin
bersama Mas Hans. Tetapi Mas Hans tidak mau.”
“Kau
bisa pergi bersamaku jika Hans tidak mau menemanimu.” Anak lelaki itu tersenyum
dengan manis saat anak perempuan tersebut menatapnya.
“Aku
mau menggantikan Hans menemanimu kemanapun kau mau, Yasmin.”.
***
Tulisan ini untuk Tantangan Hari Kesebelas event #30DWCJilid5. Mohon kritik dan saran untuk setiap kekurangan.
Terima Kasih.
Tambahan: Tulisannya seadanya. Saya
udah capek sama ngantuk.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar