Sabtu, 22 April 2017

Kalau jodoh, Kita Pasti... (Empat) (#30DWCJILID5)

Aku dan Sarah keluar dari ruang kelas menuju kantin kampus. Dosen kami baru saja keluar sekitar 8 menit yang lalu. Sekarang waktu menunjukkan pukul 11.58 siang, Sarah memintaku untuk menemaninya ke kantin karena ia belum sempat sarapan tadi pagi.
“Ra, tugas Pak. Aryo sudah selesai ‘kan?” tanya Sarah saat kami memasuki ruangan kantin.
“Iya, tugas kemarin sudah selesai.”
Aku berdiri disamping Sarah yang sibuk memperhatikan menu di kantin tersebut. Ia tampak kebingungan memesan makanan untuk makan siangnya. Setelah cukup lama, ia akhirnya memesan seporsi bakso dan es jeruk sebagai minumannya.
“Kamu mau pesan apa, Ra?” tanyanya padaku yang kujawab dengan gelengan kepala.
“Aku masih kenyang, Sar.”
“Pesan saja, Ra. Aku tidak mau makan sendirian.” Aku kembali menolak. Aku tidak mau kembali merepotkan Sarah yang selalu mentraktirku saat aku menemaninya makan.
“Aku benar-benar masih kenyang, Sar.” Namun bukan Sarah kalau ia mau mendengarkanku. Ia memesankan bakso setengah porsi dan es jeruk kepada pelayan di kantin tersebut. Sarah mengambil dompetnya lalu memberikan selembar uang seharga Rp. 50.000,- pada pelayan tersebut. Setelah selesai, ia menarik tanganku dan berjalan sambil mencari meja yang kosong untuk kami.
Kantin yang ramai membuat kami harus duduk satu meja dengan mahasiswi jurusan lain. Aku merasa agak sedikit risih namun aku berusaha menyembunyikannya. Sangat berbeda sekali dengan Sarah yang terlihat biasa-biasa saja walaupun aku sempat melihat tiga orang mahasiswi yang entah dari jurusan mana tampak menatapku dan Sarah. Sarah tidak memperdulikannya dan sibuk memainkan jemarinya diatas layar telepon pintarnya sambil tersenyum.
Tidak lama kemudian pesanan Sarah datang. Ia menyodorkan bakso setengah porsi dan segelas es jeruk kepadaku. Pada akhirnya aku menerima makanan dan minuman tersebut. Aku tidak ingin Sarah kecewa karena aku menolak pemberiannya. Tetapi aku juga tidak ingin terus merepotkan Sarah. Ia sudah sangat baik padaku.
Aku mengucap basmallah dan do’a makan tanpa suara. Selesai membaca do’a, aku mulai menyantap makananku. Sarah juga tampak menyantap makanannya namun tangan kirinya masih memegang ponselnya.
“Makan dulu, Sar,” tegurku yang dibalas membuat Sarah cengengesan. Namun selanjutnya ia menuruti ucapanku dan menaruh ponselnya disamping kirinya. Aku juga kembali melanjutkan makananku tanpa suara, sedangkan Sarah sesekali melirik ponselnya yang berbunyi dan kembali mengotak-atik ponselnya.
“Lain kali kamu tidak perlu mentraktirku seperti ini, Sar. Aku tidak mau merepotkanmu terus. Kamu sudah terlalu sering menolongku,” ucapku setelah selesai makan. Sarah yang sedang meminum es jeruknya menatapku. Ia mengucapkan kalimat yang juga selalu ia katakan saat aku mengungkapkan ketidaknyamananku padanya.
“Tidak apa-apa, Ra. Anggap saja itu sebagai ucapan terima kasih karena kau mau menemaniku.”
“Aku menemanimu dengan ikhlas, Sar. Kamu tidak perlu khawatir dengan hal itu.”
“Aku juga mentraktirmu dengan ikhlas, Ra. Anggap saja itu sebagai rezekimu.”
“Baiklah, tetapi setelah ini aku yang mentraktirmu,” ucapku pada akhirnya. Kulihat Sarah tersenyum, ia mengangkat jari jempolnya sambil kembali meminum es jeruknya sampai habis.
Samar-samar aku mendengar suara adzan. Aku menghabiskan es jerukku dan membereskan barang-barangku. Sarah juga melakukan hal yang sama. Ia memasukkan telepon pintarnya ke dalam tas dan mulai beranjak dari kursi.
“Aku tunggu di perpustakaan ya, Ra.” Aku mengangguk. Kami keluar bersama namun dengan tujuan berbeda. Aku pergi menuju musholla kampus sedangkan Sarah menuju perpustakaan.
*******
Selesai sholat berjama’ah, aku menyusul Sarah ke perpustakaan. Kucepatkan langkah kakiku karena aku takut Sarah menunggu terlalu lama. Namun seruan namaku dari arah belakang menghentikan langkah kakiku. Aku menengok ke belakang dimana ada seorang lelaki yang setengah berlari ke arahku.
Assalamu’alaikum, Ra,” ucapnya dengan nafas yang tersengal. Sepertinya ia berlari mengejarku dengan jarak yang cukup jauh.
Wa’alaikumus salam, Firman. Ada apa?”
“Ada yang ingin aku sampaikan. Apa kamu ada waktu?” aku menatap Firman sambil mengerutkan dahiku.
“Tentang apa?”
“Nanti saja kuberi tahu.”
“Ummm, oke. Setelah jam kuliah selesai bagaimana?” kulihat Firman mengangguk dan tersenyum manis. Salah satu daya tarik Firman adalah senyum manisnya yang kadang juga membuatku terpana.
“Oke. Nanti aku akan menjemputmu ke kelas.” Aku mengangguk. Tetapi dehaman dari arah belakang membuatku mengalihkan perhatianku ke asal suara. Aku melihat Sarah berjalan sambil menggeleng-gelemgkan kepalanya.
“Pantas saja kamu lama sekali, Ra. Ternyata ada yang menahanmu disini.” Aku melihat semyum menggoda dari wajah Sarah. Ia tampak menaik-turunkan alis dan mengedipkan matanya padaku. Aku hanya menggelengkan kepalaku memberi sanggahan atas apapun yang ia pikirkan tentang apa yang sebenarnya terjadi.
“Oke, Ra. Aku pergi dulu. Aku akan menunggu di parkiran.” Lagi-lagi aku hanya mengangguk tanpa bisa bersuara. Ditambah senggolan Sarah dilenganku yang membuatku merasa malu sendiri.
Assalamu’alaikum, Ra.”
Wa’alaikumus salam.”
Setelah Firman pergi, aku langsung meninggalkan Sarah lebih dulu. Aku tahu ia pasti akan bertanya tentang apa yang kubicarakan dengan Firman. Aku mengabaikan teriakan Sarah sambil terus memacu langkah kakiku.
“Hei, Ra, tunggu! Kamu tidak bisa kabur, Ra,” teriakan Sarah tersebut membuatku tersenyum dan menggelengkan kepala. Sarah benar, aku memang tidak bisa kabur darinya.
Aku masuk ke kelas dan duduk di kursi yang berada ditengah-tengah pada barisan kedua. Aku berusaha mengabaikan suara Sarah. Aku mendengar suara kursi yang ditarik. Aku merasakan kalau Sarah yang menarik kursi tersebut dan duduk disampingku.
“Ceritakan padaku, Ra. Apa yang dikatakan Firman?”
“Tidak ada, Sar.”
“Jangan bohong, Ra. Kamu sendiri yang mengatakan kalau bohong itu dosa.” Aku menghela nafasku. Aku menatap Sarah yang tampak antusias menunggu jawabanku.
“Tidak ada, Ra. Firman hanya mengatakan ia ingin bicara padaku.”  Aku mendengar teriakan dan tepuk tangan dari Sarah yang langsung terhenti saat aku melotot kepadanya.
“Jangan-jangan Firman ingin menembakmu, Ra,” kata Sarah dengan antusias.
 “Entahlah, Sar.”
“Aku berani bertaruh, Firman pasti ingin menembakmu, Ra.” Sarah terlihat lebih antusias dibandingkan denganku. Ia terlihat begitu senang dan terus tersenyum lebar.
“Aku mengusulkan jika dia menembakmu, kamu harus menerimanya, Ra. Ia sudah membuktikan kalau ia serius dengan semua perhatiannya padamu. Ia juga sudah berubah, dan aku yakin itu demi kamu, Ra.”
Aku tersenyum. Memang Firman yang sekarang sangat berbeda dengan Firman yang dulu. Aku turut senang dengan perubahannya. Namun itu bukanlah hal yang membuatku harus menerimanya jika memang yang dikatakan Sarah memang benar.
“Aku tetap pada pendirianku, Ra. Memiliki pacar bukan tujuanku. Aku ingin fokus dengan kuliahku agar bisa cepat selesai. Lagipula aku tidak mau berpacaran. Aku tidak ingin melakukan hal yang mungkin bisa saja membuatku melakukan dosa besar.“
Kulihat Sarah terdiam dan tampak memikirkan ucapanku. Aku menghela nafasku dan mulai memikirkan Firman. Dulu Firman dikenal sebagai salah satu badboy di kampus. Namun sejak tiga bulan yang lalu, ia mulai berubah dan terus berusaha menarik perhatianku. Aku tidak tahu ia mengenalku dari mana, padahal sebelumnya aku tidak mengenalnya sama sekali. Ia sering mengirimiku pesan yang kubalasi seadanya bahkan menunjukkan aku tidak begitu tertarik dengan perhatiannya. Namun tampaknya Firman tidak peduli dan terus memberiku perhatian-perhatian tersebut.
Bahkan tidak tanggung-tanggung, ia juga merubah penampilan dan cara bicaranya. Dulu ia berpenampilan asal-asalan dan semaunya, ia juga berbicara tanpa perduli jika ucapannya menyakiti orang lain. Semua perubahan itu tampak sangat mencolok pada Firman.
“Tetapi bagaimana kalau Firman benar-benar serius, Ra?” aku kembali tersenyum. Aku menjawab pertanyaan Sarah tepat dengan berbunyinya bel pertanda kelas akan segera dimulai.
“Kalau Firman memang serius, ia akan datang ke rumah menemui Bapakku bersama orang tuanya, Sar. Sekarang kembali ke tempatmu, sebentar lagi Ibu Selly akan masuk.”
Aku melihat wajah Sarah yang manyun. Aku hanya menggelengkan kepalaku melihat Sarah yang tampak enggan untuk beranjak. Sepertinya ia masih penasaran dan masih ingin berbicara denganku. Tetapi tepat saat Sarah kembali menarik kursi yang ia duduki, Ibu Selly sudah masuk bersama mahasiswa lainnya dan segera memulai pembelajaran.


***
Tulisan ini untuk Tantangan Hari Kedua Belas event #30DWCJilid5. Mohon kritik dan saran untuk setiap kekurangan. Terima Kasih.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar