Aku dan Sarah keluar dari ruang kelas
menuju kantin kampus. Dosen kami baru saja keluar sekitar 8 menit yang lalu. Sekarang
waktu menunjukkan pukul 11.58 siang, Sarah memintaku untuk menemaninya ke
kantin karena ia belum sempat sarapan tadi pagi.
“Ra, tugas Pak. Aryo sudah selesai ‘kan?”
tanya Sarah saat kami memasuki ruangan kantin.
“Iya, tugas kemarin sudah selesai.”
Aku berdiri disamping Sarah yang sibuk
memperhatikan menu di kantin tersebut. Ia tampak kebingungan memesan makanan
untuk makan siangnya. Setelah cukup lama, ia akhirnya memesan seporsi bakso dan
es jeruk sebagai minumannya.
“Kamu mau pesan apa, Ra?” tanyanya
padaku yang kujawab dengan gelengan kepala.
“Aku masih kenyang, Sar.”
“Pesan saja, Ra. Aku tidak mau makan
sendirian.” Aku kembali menolak. Aku tidak mau kembali merepotkan Sarah yang
selalu mentraktirku saat aku menemaninya makan.
“Aku benar-benar masih kenyang, Sar.” Namun
bukan Sarah kalau ia mau mendengarkanku. Ia memesankan bakso setengah porsi dan
es jeruk kepada pelayan di kantin tersebut. Sarah mengambil dompetnya lalu
memberikan selembar uang seharga Rp. 50.000,- pada pelayan tersebut. Setelah
selesai, ia menarik tanganku dan berjalan sambil mencari meja yang kosong untuk
kami.
Kantin yang ramai membuat kami harus
duduk satu meja dengan mahasiswi jurusan lain. Aku merasa agak sedikit risih
namun aku berusaha menyembunyikannya. Sangat berbeda sekali dengan Sarah yang
terlihat biasa-biasa saja walaupun aku sempat melihat tiga orang mahasiswi yang
entah dari jurusan mana tampak menatapku dan Sarah. Sarah tidak
memperdulikannya dan sibuk memainkan jemarinya diatas layar telepon pintarnya
sambil tersenyum.
Tidak lama kemudian pesanan Sarah datang.
Ia menyodorkan bakso setengah porsi dan segelas es jeruk kepadaku. Pada akhirnya
aku menerima makanan dan minuman tersebut. Aku tidak ingin Sarah kecewa karena
aku menolak pemberiannya. Tetapi aku juga tidak ingin terus merepotkan Sarah.
Ia sudah sangat baik padaku.
Aku mengucap basmallah dan do’a makan tanpa suara. Selesai membaca do’a, aku
mulai menyantap makananku. Sarah juga tampak menyantap makanannya namun tangan
kirinya masih memegang ponselnya.
“Makan dulu, Sar,” tegurku yang dibalas
membuat Sarah cengengesan. Namun selanjutnya ia menuruti ucapanku dan menaruh
ponselnya disamping kirinya. Aku juga kembali melanjutkan makananku tanpa
suara, sedangkan Sarah sesekali melirik ponselnya yang berbunyi dan kembali
mengotak-atik ponselnya.
“Lain kali kamu tidak perlu mentraktirku
seperti ini, Sar. Aku tidak mau merepotkanmu terus. Kamu sudah terlalu sering
menolongku,” ucapku setelah selesai makan. Sarah yang sedang meminum es
jeruknya menatapku. Ia mengucapkan kalimat yang juga selalu ia katakan saat aku
mengungkapkan ketidaknyamananku padanya.
“Tidak apa-apa, Ra. Anggap saja itu
sebagai ucapan terima kasih karena kau mau menemaniku.”
“Aku menemanimu dengan ikhlas, Sar. Kamu
tidak perlu khawatir dengan hal itu.”
“Aku juga mentraktirmu dengan ikhlas,
Ra. Anggap saja itu sebagai rezekimu.”
“Baiklah, tetapi setelah ini aku yang
mentraktirmu,” ucapku pada akhirnya. Kulihat Sarah tersenyum, ia mengangkat
jari jempolnya sambil kembali meminum es jeruknya sampai habis.
Samar-samar aku mendengar suara adzan. Aku
menghabiskan es jerukku dan membereskan barang-barangku. Sarah juga melakukan
hal yang sama. Ia memasukkan telepon pintarnya ke dalam tas dan mulai beranjak
dari kursi.
“Aku tunggu di perpustakaan ya, Ra.” Aku
mengangguk. Kami keluar bersama namun dengan tujuan berbeda. Aku pergi menuju musholla kampus sedangkan Sarah menuju
perpustakaan.
*******
Selesai sholat berjama’ah, aku menyusul
Sarah ke perpustakaan. Kucepatkan langkah kakiku karena aku takut Sarah
menunggu terlalu lama. Namun seruan namaku dari arah belakang menghentikan
langkah kakiku. Aku menengok ke belakang dimana ada seorang lelaki yang
setengah berlari ke arahku.
“Assalamu’alaikum,
Ra,” ucapnya dengan nafas yang tersengal. Sepertinya ia berlari mengejarku
dengan jarak yang cukup jauh.
“Wa’alaikumus
salam, Firman. Ada apa?”
“Ada yang ingin aku sampaikan. Apa kamu
ada waktu?” aku menatap Firman sambil mengerutkan dahiku.
“Tentang apa?”
“Nanti saja kuberi tahu.”
“Ummm, oke. Setelah jam kuliah selesai
bagaimana?” kulihat Firman mengangguk dan tersenyum manis. Salah satu daya
tarik Firman adalah senyum manisnya yang kadang juga membuatku terpana.
“Oke. Nanti aku akan menjemputmu ke
kelas.” Aku mengangguk. Tetapi dehaman dari arah belakang membuatku mengalihkan
perhatianku ke asal suara. Aku melihat Sarah berjalan sambil
menggeleng-gelemgkan kepalanya.
“Pantas saja kamu lama sekali, Ra. Ternyata
ada yang menahanmu disini.” Aku melihat semyum menggoda dari wajah Sarah. Ia tampak
menaik-turunkan alis dan mengedipkan matanya padaku. Aku hanya menggelengkan
kepalaku memberi sanggahan atas apapun yang ia pikirkan tentang apa yang sebenarnya
terjadi.
“Oke, Ra. Aku pergi dulu. Aku akan menunggu
di parkiran.” Lagi-lagi aku hanya mengangguk tanpa bisa bersuara. Ditambah senggolan
Sarah dilenganku yang membuatku merasa malu sendiri.
“Assalamu’alaikum,
Ra.”
“Wa’alaikumus
salam.”
Setelah Firman pergi, aku langsung
meninggalkan Sarah lebih dulu. Aku tahu ia pasti akan bertanya tentang apa yang
kubicarakan dengan Firman. Aku mengabaikan teriakan Sarah sambil terus memacu
langkah kakiku.
“Hei, Ra, tunggu! Kamu tidak bisa kabur,
Ra,” teriakan Sarah tersebut membuatku tersenyum dan menggelengkan kepala. Sarah
benar, aku memang tidak bisa kabur darinya.
Aku masuk ke kelas dan duduk di kursi
yang berada ditengah-tengah pada barisan kedua. Aku berusaha mengabaikan suara
Sarah. Aku mendengar suara kursi yang ditarik. Aku merasakan kalau Sarah yang
menarik kursi tersebut dan duduk disampingku.
“Ceritakan padaku, Ra. Apa yang
dikatakan Firman?”
“Tidak ada, Sar.”
“Jangan bohong, Ra. Kamu sendiri yang
mengatakan kalau bohong itu dosa.” Aku menghela nafasku. Aku menatap Sarah yang
tampak antusias menunggu jawabanku.
“Tidak ada, Ra. Firman hanya mengatakan
ia ingin bicara padaku.” Aku mendengar
teriakan dan tepuk tangan dari Sarah yang langsung terhenti saat aku melotot
kepadanya.
“Jangan-jangan Firman ingin menembakmu,
Ra,” kata Sarah dengan antusias.
“Entahlah,
Sar.”
“Aku berani bertaruh, Firman pasti ingin
menembakmu, Ra.” Sarah terlihat lebih antusias dibandingkan denganku. Ia terlihat
begitu senang dan terus tersenyum lebar.
“Aku mengusulkan jika dia menembakmu,
kamu harus menerimanya, Ra. Ia sudah membuktikan kalau ia serius dengan semua
perhatiannya padamu. Ia juga sudah berubah, dan aku yakin itu demi kamu, Ra.”
Aku tersenyum. Memang Firman yang
sekarang sangat berbeda dengan Firman yang dulu. Aku turut senang dengan
perubahannya. Namun itu bukanlah hal yang membuatku harus menerimanya jika
memang yang dikatakan Sarah memang benar.
“Aku tetap pada pendirianku, Ra.
Memiliki pacar bukan tujuanku. Aku ingin fokus dengan kuliahku agar bisa cepat
selesai. Lagipula aku tidak mau berpacaran. Aku tidak ingin melakukan hal yang
mungkin bisa saja membuatku melakukan dosa besar.“
Kulihat Sarah terdiam dan tampak
memikirkan ucapanku. Aku menghela nafasku dan mulai memikirkan Firman. Dulu Firman
dikenal sebagai salah satu badboy di
kampus. Namun sejak tiga bulan yang lalu, ia mulai berubah dan terus berusaha
menarik perhatianku. Aku tidak tahu ia mengenalku dari mana, padahal sebelumnya
aku tidak mengenalnya sama sekali. Ia sering mengirimiku pesan yang kubalasi
seadanya bahkan menunjukkan aku tidak begitu tertarik dengan perhatiannya. Namun
tampaknya Firman tidak peduli dan terus memberiku perhatian-perhatian tersebut.
Bahkan tidak tanggung-tanggung, ia juga
merubah penampilan dan cara bicaranya. Dulu ia berpenampilan asal-asalan dan
semaunya, ia juga berbicara tanpa perduli jika ucapannya menyakiti orang lain.
Semua perubahan itu tampak sangat mencolok pada Firman.
“Tetapi bagaimana kalau Firman
benar-benar serius, Ra?” aku kembali tersenyum. Aku menjawab pertanyaan Sarah
tepat dengan berbunyinya bel pertanda kelas akan segera dimulai.
“Kalau Firman memang serius, ia akan
datang ke rumah menemui Bapakku bersama orang tuanya, Sar. Sekarang kembali ke
tempatmu, sebentar lagi Ibu Selly akan masuk.”
Aku melihat wajah Sarah yang manyun. Aku
hanya menggelengkan kepalaku melihat Sarah yang tampak enggan untuk beranjak. Sepertinya
ia masih penasaran dan masih ingin berbicara denganku. Tetapi tepat saat Sarah
kembali menarik kursi yang ia duduki, Ibu Selly sudah masuk bersama mahasiswa
lainnya dan segera memulai pembelajaran.
***
Tulisan ini untuk Tantangan Hari Kedua Belas event #30DWCJilid5. Mohon kritik dan saran untuk setiap kekurangan.
Terima Kasih.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar