Rabu, 19 April 2017

Kalau Jodoh, Kita Pasti.... (Tiga) (#30DWCJILID5)



Aku berjalan menuju tempar parkir lalu berhenti di motor bebekku yang berwarna hitam. Aku memasang helm bewarna biru dan menguncinya untuk mengamankan kepalaku. Aku memasukkan kunci motorku dan memutarnya. Aku menekan starter dan menengok kesekitarku memastikan tidak ada orang ataupun motor lain yang mungkin bisa tertabrak olehku. Setelah semuanya aman, aku melajukan motorku untuk pulang.
Kegiatan keseharianku selain kuliah adalah membantu orang tuaku berjualan bahan keperluan sehari-hari di toko kecil depan rumah. Toko tersebut telah menjadi mata pencaharian sampingan keluarga kami untuk membantu membiayai kehidupan kami sehari-hari. Biaya hidup yang semakin mahal membuat Bapak berinisiatif membuka toko tersebut. Dengan uang pinjaman dari bank, Bapak membuka toko itu sekitar 3 tahun yang lalu. Alhamdulillah, kini pinjaman tersebut sudah lunas dan kami tinggal mengumpulkan uang hasil penjualan untuk disimpan dan dipergunakan jika dalam keadaan yang mendesak.
Biasanya aku, Ibu dan Bapak bergantian menjaga toko. Pagi sampai siang hari, Ibu yang mendapat giliran menjaga toko. Siang hari sepulang kuliah, giliranku yang menjaga toko. Tetapi aku bebas tugas jika ada tugas kuliah atau keperluan lain. Biasanya yang menggantikanku adalah Ibu dan adik perempuanku satu-satunya yang masih sekolah di SMP. Lalu malam hari adalah giliran Bapak. Biasanya beberapa tetangga atau teman-teman Bapak akan berkumpul didepan toko kami sambil berbincang-bincang ataupun main catur. Biasanya Bapak akan menutup toko jam sembilan malam. Tetapi kalau Bapak membawa pulang pekerjaannya, setelah sholat Isya toko kecil kami telah tutup.
Aku lahir di Kudus, 20 tahun yang lalu. Aku putri pertama dari keluarga sederhana yang tinggal di desa Purwosari. Bapakku bekerja sebagai seorang guru di SMA, sedangkan Ibuku hanya ibu rumah tangga biasa. Adikku satu-satunya masih sekolah di SMP yang satu lingkungan dengan tempat tempat kerja Bapak.
Sejak kecil, aku terbiasa membantu orang tua. Bapak dan Ibu mengajariku agar tidak malas dan mau membantu sesama. Sejak kecil, aku sudah diajari memasak, mencuci, menyapu dan mengepel serta pekerjaan-pekerjaan rumah lainnya. Bapak dan Ibu juga mengajariku berhemat. Karena kami bukanlah keluarga yang memiliki harta berlebih, Bapak dan Ibu mengajariku untuk tidak menghambur-hamburkan uang untuk hal yang tidak penting.
Namun tidak munafik, kadang-kadang aku juga ingin seperti teman-temanku yang menghabiskan waktu mereka dengan jalan-jalan atau berbelanja. Sebagai perempuan biasa, aku merasa jika keinginanku tersebut wajar-wajar saja. Tetapi aku sadar, aku tidak bisa seperti mereka karena aku bukanlah anak dari orang kaya. Untuk membeli barang keperluanku, aku harus menyisihkan sebagian uangku terlebih dahulu. Setelah uang tersebut terkumpul, baru aku bisa membeli barang yang kuinginkan.
Aku merasa segan meminta uang kepada Bapak dan Ibu. Aku mengerti kondisi keuangan kami yang pas-pasan dan tidak berlebih. Terlebih lagi, Bapak dan Ibu sudah menanggung biaya kuliahku yang tidaklah sedikit. Aku hanya meminta uang kepada Bapak jika ada pembayaran untuk keperluan kuliah yang mendesak. Selebihnya aku menggunakan uang simpananku untuk keperluan pribadi.
Aku memarkir motorku didepan rumah. Waktu menunjukkan pukul 13.30 tepat saat aku masuk ke dalam rumah. Rumahku sepi karena sepertinya adikku belum pulang. Aku masuk ke kamar untuk mengganti pakaianku agar bisa menggantikan Ibu menjaga toko. Selesai berganti pakaian, aku keluar berjalan menuju toko yang berjarak kurang lebih 6 meter dari rumah.
Assalamu’alaikum, Bu.” Aku mendekati Ibu yang duduk di kursi dipan sambil menjahit baju. Ibu menoleh kepadaku sebelum menjawab salam yang aku ucapkan. Aku meraih tangan Ibu dan mencium punggung tangannya lalu duduk disamping Ibu.
Wa’alaikumus salam. Kamu sudah makan, Ra?”
“Sudah, Bu. Zara sudah makan di kampus.”
“Ya sudah, Ibu mau masuk dulu. Tadi pagi adikmu minta dimasakkan ayam goreng untuk makan siangnya.”
Aku mengangguk. Ibu melipat baju yang tadi dijahitnya dan membereskan jarum serta benang yang baru saja digunakannya. Ibu menaruh jarum dan benang tersebut ke dalam sebuah toples berukuran kecil agar jarum jahit tersebut tidak terinjak atau melukai orang lain.
Sepeninggal Ibu, aku melayani beberapa pembeli. Mereka membeli bumbu dapur instan juga mi. Lalu adapula yang membeli telur dan tepung. Aku melayani mereka dengan seramah mungkin. Aku tidak mau mereka berpendapat yang tidak baik karena pelayananku yang buruk dan menyebabkan mereka tidak mau lagi berbelanja di toko kami.
“Ini kembaliannya, Bu, kembaliannya lima ribu tujuh ratus rupiah.” Aku memberikan satu lembar urang lima ribuan, dua uang logam seharga lima ratus rupiah dan dua ratus rupiah kepada Ibu Asri. Ibu Asri merupakan tetanggaku yang jarak rumahnya sekitar 15 meter dari rumahku. Ibu Asri adalah pelanggan tetap kami. Ia selalu membeli barang yang ia butuhkan di toko kami.
“Terima kasih, Zara.”
“Sama-sama, Bu.”
Aku kembali duduk di kursi dipan setelah Ibu Asri pergi. Aku mengambil ponsel yang aku letakkan di atas meja dekat kursi dipan. Ada satu pesan yang masuk. Aku membuka pesan tersebut dan membaca isinya. Setelah membaca isi pesan tersebut, tanpa sadar bibirku melengkung membentuk sebuah senyuman. Pesan tersebut mampu membuatku merasa senang dan bahagia. Untuk pertama kalinya, karena sebuah pesan aku tidak henti-hentinya tersenyum layaknya orang jatuh cinta. Jatuh cinta? Entahlah. Hanya Allah yang tahu.

***
Tulisan ini untuk Tantangan Hari Kesembilan event #30DWCJilid5. Mohon kritik dan saran untuk setiap kekurangan. Terima Kasih.
Tambahan : Maaf kurang maksimal. Saya udah capek sama ngantuk.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar