Aku berjalan menuju tempar parkir lalu berhenti
di motor bebekku yang berwarna hitam. Aku memasang helm bewarna biru dan
menguncinya untuk mengamankan kepalaku. Aku memasukkan kunci motorku dan memutarnya.
Aku menekan starter dan menengok
kesekitarku memastikan tidak ada orang ataupun motor lain yang mungkin bisa
tertabrak olehku. Setelah semuanya aman, aku melajukan motorku untuk pulang.
Kegiatan keseharianku selain kuliah
adalah membantu orang tuaku berjualan bahan keperluan sehari-hari di toko kecil
depan rumah. Toko tersebut telah menjadi mata pencaharian sampingan keluarga
kami untuk membantu membiayai kehidupan kami sehari-hari. Biaya hidup yang
semakin mahal membuat Bapak berinisiatif membuka toko tersebut. Dengan uang
pinjaman dari bank, Bapak membuka toko itu sekitar 3 tahun yang lalu. Alhamdulillah, kini pinjaman tersebut
sudah lunas dan kami tinggal mengumpulkan uang hasil penjualan untuk disimpan
dan dipergunakan jika dalam keadaan yang mendesak.
Biasanya aku, Ibu dan Bapak bergantian
menjaga toko. Pagi sampai siang hari, Ibu yang mendapat giliran menjaga toko. Siang
hari sepulang kuliah, giliranku yang menjaga toko. Tetapi aku bebas tugas jika
ada tugas kuliah atau keperluan lain. Biasanya yang menggantikanku adalah Ibu
dan adik perempuanku satu-satunya yang masih sekolah di SMP. Lalu malam hari
adalah giliran Bapak. Biasanya beberapa tetangga atau teman-teman Bapak akan
berkumpul didepan toko kami sambil berbincang-bincang ataupun main catur. Biasanya
Bapak akan menutup toko jam sembilan malam. Tetapi kalau Bapak membawa pulang
pekerjaannya, setelah sholat Isya toko kecil kami telah tutup.
Aku lahir di Kudus, 20 tahun yang lalu. Aku
putri pertama dari keluarga sederhana yang tinggal di desa Purwosari. Bapakku
bekerja sebagai seorang guru di SMA, sedangkan Ibuku hanya ibu rumah tangga
biasa. Adikku satu-satunya masih sekolah di SMP yang satu lingkungan dengan tempat
tempat kerja Bapak.
Sejak kecil, aku terbiasa membantu orang
tua. Bapak dan Ibu mengajariku agar tidak malas dan mau membantu sesama. Sejak
kecil, aku sudah diajari memasak, mencuci, menyapu dan mengepel serta pekerjaan-pekerjaan
rumah lainnya. Bapak dan Ibu juga mengajariku berhemat. Karena kami bukanlah
keluarga yang memiliki harta berlebih, Bapak dan Ibu mengajariku untuk tidak
menghambur-hamburkan uang untuk hal yang tidak penting.
Namun tidak munafik, kadang-kadang aku
juga ingin seperti teman-temanku yang menghabiskan waktu mereka dengan
jalan-jalan atau berbelanja. Sebagai perempuan biasa, aku merasa jika
keinginanku tersebut wajar-wajar saja. Tetapi aku sadar, aku tidak bisa seperti
mereka karena aku bukanlah anak dari orang kaya. Untuk membeli barang
keperluanku, aku harus menyisihkan sebagian uangku terlebih dahulu. Setelah uang
tersebut terkumpul, baru aku bisa membeli barang yang kuinginkan.
Aku merasa segan meminta uang kepada
Bapak dan Ibu. Aku mengerti kondisi keuangan kami yang pas-pasan dan tidak
berlebih. Terlebih lagi, Bapak dan Ibu sudah menanggung biaya kuliahku yang
tidaklah sedikit. Aku hanya meminta uang kepada Bapak jika ada pembayaran untuk
keperluan kuliah yang mendesak. Selebihnya aku menggunakan uang simpananku
untuk keperluan pribadi.
Aku memarkir motorku didepan rumah. Waktu
menunjukkan pukul 13.30 tepat saat aku masuk ke dalam rumah. Rumahku sepi
karena sepertinya adikku belum pulang. Aku masuk ke kamar untuk mengganti
pakaianku agar bisa menggantikan Ibu menjaga toko. Selesai berganti pakaian,
aku keluar berjalan menuju toko yang berjarak kurang lebih 6 meter dari rumah.
“Assalamu’alaikum,
Bu.” Aku mendekati Ibu yang duduk di kursi dipan sambil menjahit baju. Ibu menoleh
kepadaku sebelum menjawab salam yang aku ucapkan. Aku meraih tangan Ibu dan
mencium punggung tangannya lalu duduk disamping Ibu.
“Wa’alaikumus
salam. Kamu sudah makan, Ra?”
“Sudah, Bu. Zara sudah makan di kampus.”
“Ya sudah, Ibu mau masuk dulu. Tadi pagi
adikmu minta dimasakkan ayam goreng untuk makan siangnya.”
Aku mengangguk. Ibu melipat baju yang
tadi dijahitnya dan membereskan jarum serta benang yang baru saja digunakannya.
Ibu menaruh jarum dan benang tersebut ke dalam sebuah toples berukuran kecil
agar jarum jahit tersebut tidak terinjak atau melukai orang lain.
Sepeninggal Ibu, aku melayani beberapa
pembeli. Mereka membeli bumbu dapur instan juga mi. Lalu adapula yang membeli
telur dan tepung. Aku melayani mereka dengan seramah mungkin. Aku tidak mau mereka
berpendapat yang tidak baik karena pelayananku yang buruk dan menyebabkan mereka
tidak mau lagi berbelanja di toko kami.
“Ini kembaliannya, Bu, kembaliannya lima
ribu tujuh ratus rupiah.” Aku memberikan satu lembar urang lima ribuan, dua
uang logam seharga lima ratus rupiah dan dua ratus rupiah kepada Ibu Asri. Ibu Asri
merupakan tetanggaku yang jarak rumahnya sekitar 15 meter dari rumahku. Ibu Asri
adalah pelanggan tetap kami. Ia selalu membeli barang yang ia butuhkan di toko
kami.
“Terima kasih, Zara.”
“Sama-sama, Bu.”
Aku kembali duduk di kursi dipan setelah
Ibu Asri pergi. Aku mengambil ponsel yang aku letakkan di atas meja dekat kursi
dipan. Ada satu pesan yang masuk. Aku membuka pesan tersebut dan membaca isinya.
Setelah membaca isi pesan tersebut, tanpa sadar bibirku melengkung membentuk sebuah
senyuman. Pesan tersebut mampu membuatku merasa senang dan bahagia. Untuk pertama
kalinya, karena sebuah pesan aku tidak henti-hentinya tersenyum layaknya orang
jatuh cinta. Jatuh cinta? Entahlah. Hanya Allah yang tahu.
***
Tulisan ini untuk Tantangan Hari Kesembilan event #30DWCJilid5. Mohon kritik dan saran untuk setiap kekurangan.
Terima Kasih.
Tambahan : Maaf
kurang maksimal. Saya udah capek sama ngantuk.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar