Sejak lima hari yang lalu Yasmin lebih
senang menyendiri. Ia lebih senang berdiam diri di gazebo ataupun kolam renang.
Yasmin dilanda dilema antara tetap pergi atau membantah Mamanya untuk pertama
kalinya. Ia sudah mengungkapkan rasa berat dihatinya karena harus ke New York
bersama Hans. Namun Mamanya mengatakan kalau ia tidak punya pilihan lain selain
menerima keputusan Pamannya, Christian.
Untuk pertama kalinya Yasmin merasa
berat hati seperti ini. Selama ini asalkan bersama Hans, Yasmin tidak akan
menolak. Namun rasanya berbeda dengan saat ini. Kedekatannya dengan Randi
adalah hal yang membuat Yasmin merasa sulit untuk pergi.
Selama beberapa tahun ini, Yasmin memiliki
banyak kenangan bersama Randi. Randi mengajarinya banyak hal. Randi selalu
menemaninya. Randi juga melindunginya. Randi membuat warna tersendiri di hidup
Yasmin. Dan ia sungguh merasa berat jika harus meninggalkan Randi.
Mungkin sekarang Yasmin memiliki
ketergantungan dengan Randi. Karena remaja yang tengah beranjak dewasa tersebut
selalu mampu menenangkan Yasmin saat ia merasa gundah. Yasmin menyukai pelukan
hangat Randi. Ia merasakan disayangi dan dilindungi saat Randi memeluknya. Salah
satu hal yang kadang-kadang membuat Yasmin tersenyum sendiri saat
membayangkannya.
“Nona Yasmin, apa Nona tidak mau masuk?”
Yasmin menoleh ke arah kiri dimana
Maisya menatapnya dengan raut cemas. Yasmin menggeleng. Ia masih ingin duduk di
tepi kolam sambil bermain air dengan kakinya.
“Nona terlalu lama bermain air. Nona
tampaknya sudah kedinginan.”
Sebagai orang yang mengasuh Yasmin sejak
kecil, Maisya mengerti jika putri majikannya ini sedang bersedih. Selama ini,
Maisya selalu melihat raut penuh tawa di wajah Yasmin. Sangat berbeda dengan
raut wajah yang saat ini tampak di wajah cantik tersebut.
“Ada apa, Nona? Saya lihat beberapa hari
ini Nona tampak sedih.”
Maisya ikut duduk di tepi kolam. Ia ingin
menemani Yasmin dan mendengar keluh kesah anak perempuan yang mulai beranjak
remaja tersebut.
“Aku tidak ingin pergi, Bi. Aku ingin
disini. Tapi Mama bilang, aku harus pergi menemani Mas Hans.”
“Bukannya Nona senang bisa menemani Tuan
Hans?” Yasmin menganggukkan kepalanya. Maisya mengusap kepala anak majikannya
itu dengan lembut. Dan jawaban Yasmin membuat Maisya sadar apa yang sebenarnya
membuat Yasmin enggan untuk pergi.
“Aku memang senang. Tetapi disana nanti
tidak ada yang menemaniku saat Mas Hans mengabaikanku. Tidak akan ada yang
menghiburku saat aku sedih. Kalau disini aku punya Randi yang selalu menemani
dan menghiburku”.
*******
Tiga hari menjelang keberangkatannya,
Yasmin mulai memasukkan barang-barangnya dibantu oleh Maisya. Dengan wajah yang
semakin terlihat sedih, Yasmin memasukkan beberapa barang pemberian Randi ke
dalam koper berukuran besar. Ada lima buah boneka berbagai bentuk berukuran
sedang pemberian Randi yang ia masukkan ke koper. Ia menyisakan satu bantal berbentuk
hati berwarna ungu pemberian Randi sebagai hadiah kelulusannya minggu lalu.
“Apa masih ada barang yang belum
dimasukkan, Nona?” tanya Maisya setelah mengunci satu buah koper berukuran
besar yang berisi pakaian Yasmin.
“Sudah, Bi. Terima kasih.” Maisya menganggukkan
kepalanya. Ia menarik koper tersebut dan meletakkannya di sudut kamar.
“Apa Nona Yasmin haus? Mau saya ambilkan
minuman dan kue?” Yasmin menggeleng. Ia memeluk bantal pemberian Randi dengan
erat. Sudah beberapa hari Randi tidak menemuinya. Terakhir Randi hanya datang
sebentar dan langsung pergi tanpa mengajaknya bicara.
“Saya permisi dulu, Nona,” pamit Maisya.
Setelah Yasmin menganggukkan kepalanya, Maisya meninggalkan Yasmin sendirian di
kamarnya.
Yasmin turun dari kamarnya dengan bantal
hati yang masih ia pegang. Ia berniat untuk selalu membawa bantal itu
kemanapun. Yasmin terus berjalan keluar rumah menuju gazebo dekat kolam renang.
Yasmin begitu kaget saat melihat Randi sedang duduk di gazebo. Senyum Yasmin
mengembang dan ia segera menyusul Randi yang duduk dengan posisi
membelakanginya.
Yasmin langsung memeluk Randi dengan
erat yang hampir membuat lelaki tersebut kehilangan keseimbangannya. Yasmin begitu
senang karena akhirnya bisa kembali memeluk Randi. Yasmin memejamkan matanya
meresapi betapa nyamannya pelukan lelaki tersebut. Sebuah pelukan yang selalu
dirindukannya
“Kau kemana saja? Aku kesepian disini.”
Tidak ada jawaban dari
Randi. Namun tangan Randi terus mengelus punggung dan kepala Yasmin yang
disandarkannya di dada Randi.
“Aku sangat kesepian. Aku
tidak punya teman.”
“Kau punya aku, Yasmin,”
jawab Randi dengan singkat.
“Tapi tidak disana
nanti. Aku akan sendirian. Aku tidak mau kesana, Ran. Aku mau disini.”
Tangis Yasmin akhirnya pecah.
Secara tidak sadar, ia telah mengatakan isi hatinya yang membuat Yasmin terus
bersedih.
“Sudah, Yas. Aku tidak
mau mendengarmu menangis,” bujuk Randi sembari menghapus air mata Yasmin. Namun
Yasmin masih terus menangis yang akhirnya hanya dibiarkan oleh Randi.
Yasmin memiliki
kebiasaan jika menangis, ia akan terus menangis dan akan berhenti setelah ia
merasa lelah. Tetapi biasanya Randi bisa dengan cepat menenangkan Yasmin. Namun
sepertinya saat ini Yasmin sangat bersedih hingga ia tidak berhenti menangis
bahkan lebih dari setengah jam.
“Ran, aku tidak mau ke
sana,” rengek Yasmin setelah isak tangisnya reda. Yasmin menatap Randi yang
terlihat sendu. Randi yang biasanya selalu tersenyum tampak muram seperti
dirinya.
“Aku juga tidak mau kau
pergi, Yasmin.”
Randi mengelus pipi Yasmin.
Selama beberapa hari ini ia memikirkan perasaannya. Tidak hanya Yasmin, Randi
juga merasa berat saat Yasmin harus pergi dengan jarak yang terlampau jauh.
“Beberapa hari ini aku
memikirkannya, Yas. Aku tidak mau kau pergi. Tetapi aku tidak bisa apa-apa. Dan
juga ini semua demi kebaikanmu.”
Ucapan Randi memancing
rasa sedih Yasmin. Matanya kembali berair dan siap tumpah membasahi pipinya.
“Kebersamaan kita
membuatku tidak ingin jauh darimu, Yas. Aku ingin selalu disampingmu. Aku ingin
selalu memelukmu seperti ini.” Randi kembali memeluk Yasmin. Yasmin sendiri juga
membalas pelukan Randi yang selalu membuatnya nyaman dan hangat.
“Aku juga, Ran. Aku
juga merasa nyaman seperti ini.”
Randi tersenyum mendengar
ucapan Yasmin. Ucapan Yasmin membuatnya merasa kalau Yasmin juga memiliki rasa
seperti yang ia rasakan. Randi mengurai pelukannya, namun ia tetap menahan
tubuh Yasmin dengan kedua lengannya.
“Maukah kau berjanji
satu hal?” Randi menatap Yasmin dengan lekat. Mata mereka saling beradu dan
menghipnotis satu sama lain.
“Apa, Ran?”
“Aku menyayangimu,
Yasmin. Maukah kau menjaga hatimu untukku?” Yasmin mengerjapkan matanya
mendengar ucapan Randi. Ia sedikit kebingungan dengan maksud Randi yang
terdengar ambigu.
“Apa maksudmu, Ran?”
Randi kembali tersenyum, tangannya mengelus wajah Yasmin dengan pelan.
“Pergilah bersama Hans.
Tapi jangan biarkan ada orang lain masuk ke hatimu selain aku. Aku akan
menunggumu disini.”
Walaupun masih belum
begitu mengerti, Yasmin menganggukkan kepalanya. Ia merasa sedikit lebih tenang
walaupun ia masih merasa tidak ingin pergi. Tetapi ucapan Randi seakan memberi
makna kalau Randi tidak ingin kehilangannya. Untuk saat ini, semua itu cukup
untuk Yasmin.
“Aku menyayangimu, Yasmin.
Dan aku akan menunggumu.”
“Aku juga menyayangimu,
Randi. Aku pasti akan kembali”.
*TAMAT*
***
Tulisan ini untuk Tantangan Hari Kedua Puluh Delapan event #30DWCJilid5. Mohon kritik dan saran untuk setiap kekurangan.
Terima Kasih.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar