Tanganku meraba ujung ranjang rumah
sakit tempatku dirawat. Dengan pelan aku meraba besi yang menopang ranjang
untuk tetap berdiri dengan kokoh. Aku memegang besi tersebut dan mulai bangun. Dengan
pelan aku bersandar di kepala ranjang dan mencari posisi yang nyaman untukku.
Semuanya terdengar sepi. Tidak ada suara
Mama, Papa bahkan Mas Yoga, Kakakku. Padahal rasanya baru saja mereka terdengar
berbicara di dalam kamar rawat inap ini. Aku memang sempat tertidur karena rasa
kantuk mulai menyerangku. Aku tidak tahu entah berapa lama aku tertidur, tetapi
sepertinya aku terlelap cukup lama.
“Ma? Pa? Mas Yoga?”
Aku mengulang menyebut nama tersebut
tiga kali. Namun sepertinya mereka tidak ada karena aku tidak mendengar suara
jawaban mereka. Aku menghembuskan nafasku dengan perlahan. Sepertinya mereka
sedang keluar saat aku terlelap.
Aku mendengar berbagai macam suara dari
luar ruang rawatku. Suara tersebut menemani kesendirianku. Sejak tujuh bulan
yang lalu, aku terbiasa sendirian. Hanya suara-suara disekitar yang menemaniku.
Aku lebih banyak menghabiskan waktu di kamar setiap waktunya. Aku hanya keluar
dari kamar jika ada hal yang kuanggap perlu. Selebihnya aku hanya berdiam diri
dan meratapi nasibku.
Aku mengingat kejadian tujuh bulan yang lalu, kejadian yang membuat semua
aktivitasku terhenti. Tujuh bulan yang lalu aku mengalami kecelakaan yang
mengakibatkan kerusakan pada kornea mataku. Semua itu menjadi awal penderitaanku
selama beberapa bulan ini. Aku harus melepaskan mimpiku untuk mengikuti sebuah
lomba pemilihan model untuk sebuah majalah. Padahal aku sudah menantikan lomba
tersebut sejak tahun lalu. Dan sekarang kesempatan itu kembali hilang akibat
mataku yang tidak bisa lagi melihat.
Awalnya aku terus mencaci kecelakaan
yang terjadi padaku. Aku begitu kecewa dan tidak bisa menerima kenyataan yang
telah terjadi. Aku harus melepas mimpiku dan juga hal lainnya. Aku tidak
henti-hentinya mencaci orang yang telah menabrakku. Kata Papa, orang yang telah
menabrakku sudah mempertanggungjawabkan perbuatannya. Namun aku masih merasa
belum puas, karena aku masih bisa belum melihat seperti sebelumnya.
“By, kamu sudah bangun?” kepalaku
menoleh kearah kiri dimana aku mendengar suara Mama. Aku menganggukkan kepalaku
menjawab pertanyaan Mama. Telingaku menangkap suara derit kursi disamping
kiriku.
“By, Mama punya kabar gembira. Papa sudah
menemukan donor mata untuk kamu. Sebentar lagi kamu bisa melihat lagi, By.”
Tanganku terangkat dan mulai meraba
mencari tangan Mama. Setelah mendapatkannya aku menggenggam tangan tersebut.
Aku tidak percaya dengan kabar yang baru saja disampaikan oleh Mama.
“Benar, Ma? Mama tidak bohong ‘kan?”
“Tidak, By. Mama tidak bohong. Kata Dokter,
lusa kamu akan di operasi.”
Aku memeluk Mama. Tidak terkira rasa
bahagiaku saat ini. Setelah sekian lama menunggu, akhirnya keajaiban itu
datang. Aku akan bisa melihat dan mewujudkan mimpiku lagi.
“Terima kasih, Ma. Abby senang sekali,
sebentar lagi Abby bisa melihat lagi.”
“Iya, Nak. Mama juga senang.”
Aku melepaskan pelukanku. Aku menyeka
air mataku dibantu oleh Mama. Kami saling tertawa bahagia. Aku merasa tidak
sabar menunggu lusa dimana aku akan bisa melihat lagi. Besok lusa akan menjadi
awal yang baru lagi bagiku, aku bisa kembali bermimpi dan mewujudkannya.
***
Tulisan ini untuk Tantangan Hari Kedua Puluh Empat event #30DWCJilid5 dengan tema dan kata kunci ‘Awal’. Mohon kritik
dan saran untuk setiap kekurangan. Terima Kasih.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar