Rabu, 10 Mei 2017

Dia yang Ditunggu (#30DWCJILID5)



Aku mempercepat langkah kakiku saat ruangan yang kutuju sudah didepan mata. Tanganku memegang bungkus plastik berwarna putih berisi buah apel. Didepan ruangan, tampak seorang wanita yang menggunakan kerudung lebar berwarna biru muda dan gamis hijau sedang berbicara dengan seorang lelaki yang memakai baju kaos berwarna putih dan celana hitam. Mereka menoleh kearahku dan tersenyum.
Assalamu’alaikum,” sapaku sambil mencium tangan pasangan tersebut.


Selasa, 09 Mei 2017

Tentang Cinta (Sembilan) (30DWCJILID5)


Sejak kejadian dua hari yang lalu, Reina sudah kembali bekerja. Ia sempat was-was jika Abimanyu masih nekat menemuinya. Namun ketakutannya tidak terjadi. Abimanyu tidak lagi mendatanginya.
Reina merasa sangat lega. Ketakutannya akan Abimanyu perlahan memudar dan ia sudah bisa kembali beraktivitas dengan ceria. Walaupun rasa rindunya pada Rizky masih terus berlanjut, Reina cukup berbahagia dan bersabar menunggu Rizky pulang.


Senin, 08 Mei 2017

Randi dan Yasmin (Sembilan) (#30DWCJILID5)



Sejak lima hari yang lalu Yasmin lebih senang menyendiri. Ia lebih senang berdiam diri di gazebo ataupun kolam renang. Yasmin dilanda dilema antara tetap pergi atau membantah Mamanya untuk pertama kalinya. Ia sudah mengungkapkan rasa berat dihatinya karena harus ke New York bersama Hans. Namun Mamanya mengatakan kalau ia tidak punya pilihan lain selain menerima keputusan Pamannya, Christian.


Minggu, 07 Mei 2017

Kita Berbeda (#30DWCJILID5)



Aku dan dia bagai berada di tengah persimpangan jalan.
Langkah kami terhenti karena hal penting yang menjadi hakikat kami sejak lahir.
Kami tidak bisa maju ataupun mundur.
Kami berada di tengah cinta dengan keyakinan yang berbeda.


Sabtu, 06 Mei 2017

Tentang Cinta (Delapan) (#30DWCJILID5)



Reina membuka matanya saat ia merasakan elusan di kepalanya. Reina merasa tubuhnya dihimpit oleh seseorang. Perlahan Reina membuka matanya. Senyumnya langsung mengembang saat matanya menangkap sosok yang sempat ia cari saat terjaga tengah malam tadi.


Jumat, 05 Mei 2017

Kalau jodoh, Kita Pasti.... (Delapan) (#30DWCJILID5)



Aku sungguh tidak menyangka. Jalan yang dituliskan oleh Allah SWT untukku sungguh luar biasa. Allah SWT membuktikan kalau semua rencana-Nya memang tertulis dengan begitu indahnya.
Aku tidak menyangka pertemuanku dengan Firman beberapa hari yang lalu membawaku ke sebuah hal baru. Berbulan-bulan menghilang, kedatangan Firman begitu mengagetkanku. Tetapi yang lebih mengagetkan saat Firman menanyakan alamat rumahku. Dan dua jam yang lalu setelah sholat Isya, Firman datang ke rumahku bersama seorang lelaki yang ia kenalkan  sebagai Pamannya, Paman Hadi. Ia datang menggunakan baju koko warna putih dan celana hitam yang sama seperti Paman Hadi. Kedatangannya cukup mengagetkanku dan Bapak. Kami hanya berdua karena Ibu dan Adikku, Syarif sedang pergi keluar. Namun yang lebih mengagetkan lagi adalah hal yang diucapkannya kepada Bapak.


***
“Saya berniat untuk meminta restu Bapak agar saya bisa bersama dengan Putri Bapak.”
Aku yang berada dibalik dinding antara ruang tamu dan ruang makan tidak bisa bergerak sedikitpun. Ucapan Firman membuat seluruh tubuhku membeku dan jantungku berdegup kencang. Aku bahkan harus memegangi dadaku karena rasanya jantungku hampir terlepas dari rongganya.
“Apa maksud, Nak Firman?” aku mendengar Ayah menyebutkan pertanyaan tersebut. Aku masih memegangi dadaku dengan erat seakan takut jantungku akan jatuh jika tanganku kulepas.
“Begini, Pak. Keponakan saya berniat melamar Putri Bapak, Zara Annisa Humairah.”
Aku tidak bisa menahan air mataku saat Paman Hadi mengatakan kalimat tersebut. Degup jantung bahagia mulai mengisi dadaku menemani euforia lamaran yang baru pertama kali terjadi. Bahkan aku tidak menyangka jika aku sedang dilamar.
Selanjutnya aku mendengar Bapak kembali berbicara. Tampak Bapak menanyakan keseriusan maksud Firman. Entah mengapa aku menjadi tertarik mendengar pembicaraan Bapak dan Firman. Walaupun aku mendengar nada keraguan dari suara Bapak terhadap Firman.
“Bapak menghargai niat baik atas kedatangan Nak Firman, tapi apa Nak Firman sudah memikirkan keputusan Nak Firman baik-baik? Menikah itu tidak mudah, Nak Firman, menikah itu perlu kesiapan yang matang baik fisik, mental dan materi.”
“Bapak tidak bermaksud meremehkan, Nak Firman. Tetapi jika nanti kalian menikah, maka tanggung jawab serta semua kebutuhan Zara Nak Firman yang menanggungnya. Apa Nak Firman mampu menjaga dan memenuhi kebutuhan Zara?”
“Saya memang masih belum menemukan pekerjaan, Pak. Tapi saya sudah mulai mencari dan melamar pekerjaan dibeberapa tempat. Saya yakin pintu rezeki akan terbuka setelah kami menikah nanti. Entah pintu rezeki untuk saya atau untuk Zara.”
Aku mengucap tasbih mendengar jawaban Firman yang sarat akan kedewasaan. Aku tidak menyangka jika ia bisa menjawab pertanyaan Bapak dengan bijak. Ia juga terdengar tidak gugup sama sekali. Semua ucapannya terdengar mantap.
“Kamu masih kuliah?”
“Masih, Pak. Satu universitas dengan Zara. Tetapi kami berbeda jurusan.”
“Zara mempunyai mimpi ingin meraih gelar sarjana dan bekerja membantu orang tuanya, Nak. Maklum, Bapak hanya guru biasa dengan gaji yang tidak berlebih. Kami juga bukan orang berada. Bapak juga menggantungkan harapan pada Zara agar ia bisa membantu memenuhi ekonomi keluarga kami. Kalau kalian menikah, bagaimana dengan kuliah dan pekerjaan Zara, Nak Firman?”
“Saya tidak akan melarang Zara untuk melanjutkan mimpinya setelah menikah nanti, Pak. Asalkan Zara tidak melalaikan tugasnya sebagai istri, saya tidak akan mengekang Zara dan membolehkan Zara melakukan apapun yang diinginkannya.”
Lagi-lagi jawaban Firman membuatku terpesona. Ia terlihat begitu dewasa dengan jawabannya. Aku tidak menyangka jika selama ini Firman memiliki pemikiran yang terbuka. Bibirku tidak henti-hentinya tersenyum mendengar semua jawaban yang dilontarkan Firman untuk menjawab pertanyaan Firman.
“Apa yang membuat Nak Firman yakin menjadikan Zara sebagai istri? Bapak rasa Zara bukanlah perempuan yang memiliki fisik yang sempurna dan Bapak yakin diluar sana ada banyak perempuan yang lebih dari Zara. Zara juga bukan anak dari keluarga yang berada, kami hanya keluarga kecil yang menumpang hidup di kota besar ini, Nak Firman. Kami bukan siapa-siapa.”
Pertanyaan itu membuatku menjadi was-was. Entah mengapa aku merasa ini seperti pertanyaan pamungkas Bapak yang sengaja disiapkan diakhir. Lamanya jeda waktu pertanyaan Bapak dan jawaban Firman membuatku kembali merasa berdebar kencang. Tetapi sekitar tiga menit kemudian, jawaban Firman kembali membuatku mengucap tasbih dan tersenyum bahagia.
“Karena saya sudah jatuh hati dengan Zara, Pak. Saya pernah mengutarakan isi hati saya pada Zara, tetapi Zara menolak. Saya sempat sangat kecewa karena saya berpikir Zara juga merasakan hal yang sama. Lalu saya pergi untuk menenangkan diri. Tetapi ucapan Zara pada waktu itu menyadarkan saya kalau Zara berbeda dari perempuan lainnya. Saya sadar Zara tidak menginginkan lelaki yang hanya bermain-main. Dan saya kemari untuk membuktikan bahwa saya serius dengan Zara. Saya serius dengan perasaan saya pada Zara.”
Aku tidak lagi mendengarkan pembicaraan Bapak dan Firman selanjutnya. Aku terlalu larut dalam rasa senang yang menyeruak di hatiku. Aku sunggh tidak menyangka seorang Muhammad Firman Adipati bisa seserius ini. Dan terlebih lagi, ia benar-benar membuktikan keseriusannya malam ini.
“Keputusan tetap ada di tangan Zara, Nak Firman. Bapak akan menerima apapun keputusan Zara nanti. Tetapi Bapak harap kamu juga bisa menerima keputusan Zara nantinya.”
“Iya, Pak. Saya akan menerima apapun keputusan Zara.”
“Sebentar Nak Firman, saya mau bicara dulu dengan Zara.”
Aku yang berdiri dibalik dinding bergegas menuju kursi dan duduk di kursi tersebut. Aku bertingkah seakan-akan tidak mendengar apapun pembicaraan Bapak dan Firman. Untung saja di rumah ini hanya aku dan Bapak yang ada. Ibu dan Syarif sedang keluar mencari barang keperluan Syarif untuk sekolah besok.
“Zara, Bapak mau bicara sama kamu.” Aku menoleh kearah kanan dimana Bapak sedang berjalan ke arahku. Bapak duduk di kursi yang ada disampingku.
“Bapak yakin kamu sudah mendengar pembicaraan Bapak, Zara. Sekarang Bapak mau menanyakan bagaimana jawaban kamu.” Aku kembali terdiam. Walaupun aku senang dengan kedatangan Firman, tetapi aku juga masih belum yakin dengan jawabanku. Aku masih ragu harus menjawab pinangan Firman sekalipun sebenarnya aku juga jatuh hati pada Firman dan merasakan hal yang sama seperti Firman.
“Zara masih belum yakin, Pak. Sepertinya Zara perlu waktu.”
Aku mendengar helaan nafas Bapak. Aku terus menundukkan kepalaku enggan menatap Bapak. Aku merasa malu, gugup dan sedikit takut. Aku takut jika memberi jawaban yang salah nantinya.
“Ya sudah, sekarang kamu ikut Bapak ke depan. Kamu ngomong langsung dengan Firman.”
Aku mengikuti Bapak berdiri dan berjalan sambil menunduk mengikuti Bapak menuju ruang tamu. Aku merasa malu untuk memperlihatkan wajahku didepan Firman. Tetapi suara Bapak mempersilahkanku untuk duduk di sebelah Bapak membuat wajahku terangkat. Saat itu wajah Firman tepat didepanku. Ia tersenyum dengan senyuman yang mampu membuatku terpana. Tidak sadar aku terlarut dalam pandangan tersebut hingga akhirnya kudengar dehaman dari Bapak yang membuatku merasa malu.
Assalamu’alaikumu, Ra.” Kepalaku terangkat mendengar salam yang diucapkan Firman. Dengan cepat aku menjawab salam Firman.
Wa’alaikumus salam, Firman.”
“Kenalkan, ini Paman Hadi, Pamannya Firman, Ra.” Aku menyalami tanpa menyentuh tangan Paman Hadi. Setelah itu aku kembali duduk dan mendengarkan Bapak berbicara.
“Nak Firman datang kesini untuk meminang kamu, Ra. Sekarang Bapak mau mendengar jawaban kamu. Bapak akan menerima apapun jawaban kamu nantinya.”
Rasa gugup mulai menyerangku. Sejak tadi aku juga belum yakin dengan jawabanku. Aku menatap Bapak, Firman dan Pamannya. Mereka tampak harap-harap cemas dengan jawabanku. Perasaanku semakin gugup. Aku takut jika aku memberi jawaban yang salah dan merugikan banyak orang serta diriku sendiri.
“Maaf, Pak, Firman, Paman, Zara masih belum bisa memberi jawaban. Zara rasa, Zara harus memikirkannya matang-matang karena ini demi masa depan Zara.” Aku tidak yakin suaraku dapat didengar oleh ketiga lelaki tersebut. Aku terus menundukkan kepalaku tidak berani menatap semuanya. Tetapi suara lembut Firman membuat kepalaku terangkat.
“Tidak apa-apa, Ra. Kamu memang harus memikirkannya dengan baik.”
Aku menatap Firman kembali tersenyum. Ia tampak begitu tenang dengan jawabanku yang menggantung pinangannya. Ia tampak menerima dan sungguh berbeda dengan Firman saat menembakku dulu.
“Kapan kamu akan memberi jawaban, Ra?” tanya Bapak yang mengalihkan tatapanku ke arah Bapak.
“Secepatnya, Pak. Mungkin minggu depan.”
Terdengar suara hamdalah dari Firman dan Pamannya. Aku kembali menundukkan kepalaku menutupi wajahku yang masih memerah karena malu. Aku mendengar suara Bapak kembali berbicara dengan Firman.
“Nak Firman, semoga satu minggu ke depan kita mendapatkan jawaban yang terbaik.”
“Iya, Pak. Saya juga berharap mendapatkan jawaban yang terbaik.”
“Baiklah, Pak, kami permisi dulu,” kata Paman Hadi. Paman Hadi dan Firman berdiri diiringi oleh Bapak. Mereka bersalaman dan berpelukan. Aku hanya bisa bersalaman tanpa saling menyentuh dengan Firman dan Paman Hadi. Lalu Bapak mengantar Firman dan Pamannya ke depan rumah.

***


Aku membaringkan badanku. Pasti sekarang Bapak sudah menceritakan kedatangan Firman pada Ibu yang datang tidak lama setelah Firman dan Pamannya pulang. Sepertinya mereka tidak ingin menggangguku karena mereka tidak menyusulku ke kamar dan menanyaiku. Mungkin mereka berpikir jika sekarang aku sedang memikirkan pinangan Firman.

*******

Aku bangun tepat pada jam tiga dini hari. Aku bangun dan membersihkan diri. Tetapi setelah itu aku mengambil selembar kertas dan mengguntingnya menjadi dua. Aku menuliskan kata pada kedua lembar kertas tersebut. Lalu aku menggulungnya dan menaruhnya didekat sajadah yang sudah aku gelar di samping ranjang. Lalu aku berwudhu dan melakukan sholat tahajud. Setelah itu aku melakukan sholat taubat dan diteruskan dengan sholat istikharah. Selesai sholat aku berdo’a agar diberi pilihan yang terbaik.
Aku mengambil salah satu gulungan kertas. Dengan mata yang terpejam aku membuka gulungan tersebut. Setelah terbuka aku mengintip tulisan yang ada di kertas. Aku begitu senang mengambil kertas yang kupikir tepat. Namun aku tidak mau gegabah, aku kembali melakukan sholat istikharah dan mengulanginya sebanyak tiga kali. Selesai sholat aku kembali mengambil gulungan kertas mengikuti hatiku dan berharap memilih kertas yang tepat.
Selama beberapa hari ini aku rutin bangun jam tiga dini hari dan melakukan sholat istikharah. Aku benar-benar tidak ingin memberi jawaban yang salah dan terus meminta agar diberi keputusan yang terbaik. Hingga hari terakhir pun aku masih melakukannya. Aku masih berharap jika Allah SWT memberikanku jawaban terbaik untukku dan masa depanku.

*******

Sesudah sholat Isya, Firman dan Paman Hadi kembali datang. Di ruang tamu sudah ada Bapak, Ibu, Syarif, aku, Firman dan Paman Hadi. Raut cemas dan penuh harap tampak diwajah mereka menunggu kata yang akan kuucapkan. Dengan mengucap basmallah, aku mulai memberikan jawabanku.
“Pak, Bu, Zara sudah memikirkannya baik-baik. Zara juga sudah memohon dan berdo’a kepada Allah SWT agar memberi Zara jawaban terbaik untuk kita semua. Sekarang Zara mau memberikan jawaban Zara.”
Aku menatap mereka yang tidak bersuara sedikitpun. Bahkan Adikku juga ikut menampakkan raut tegang. Aku tidak berani menatap wajah Firman. tetapi aku yakin ia pasti juga sedang harap-harap cemas dengan jawabanku.
“Zara menerima pinangan Firman.”
Semua raut wajah mulai berubah saat aku mengatakan jawabanku. Aku juga mendengar ucapan hamdalah dari Bapak, Ibu, Firman dan Paman Hadi. Ibu memelukku. Aku melihat Firman memeluk Pamannya. Kemudian ia mencium tangan Bapak dan memeluk Bapak. Tidak terkira begitu bahagianya aku melihat pemandangan indah ini. Rasanya jawabanku tidak salah dan apa yang kupikirkan juga begitu. Bahwa kalau kita memang berjodoh, kita pasti akan bersama.


*TAMAT*


***
Tulisan ini untuk Tantangan Hari Kedua Puluh Lima event #30DWCJilid5. Mohon kritik dan saran untuk setiap kekurangan. Terima Kasih.

Kamis, 04 Mei 2017

Mata dan Mimpi (#30DWCJILID5)



Tanganku meraba ujung ranjang rumah sakit tempatku dirawat. Dengan pelan aku meraba besi yang menopang ranjang untuk tetap berdiri dengan kokoh. Aku memegang besi tersebut dan mulai bangun. Dengan pelan aku bersandar di kepala ranjang dan mencari posisi yang nyaman untukku.
Semuanya terdengar sepi. Tidak ada suara Mama, Papa bahkan Mas Yoga, Kakakku. Padahal rasanya baru saja mereka terdengar berbicara di dalam kamar rawat inap ini. Aku memang sempat tertidur karena rasa kantuk mulai menyerangku. Aku tidak tahu entah berapa lama aku tertidur, tetapi sepertinya aku terlelap cukup lama.
“Ma? Pa? Mas Yoga?”
Aku mengulang menyebut nama tersebut tiga kali. Namun sepertinya mereka tidak ada karena aku tidak mendengar suara jawaban mereka. Aku menghembuskan nafasku dengan perlahan. Sepertinya mereka sedang keluar saat aku terlelap.
Aku mendengar berbagai macam suara dari luar ruang rawatku. Suara tersebut menemani kesendirianku. Sejak tujuh bulan yang lalu, aku terbiasa sendirian. Hanya suara-suara disekitar yang menemaniku. Aku lebih banyak menghabiskan waktu di kamar setiap waktunya. Aku hanya keluar dari kamar jika ada hal yang kuanggap perlu. Selebihnya aku hanya berdiam diri dan meratapi nasibku.
Aku mengingat kejadian tujuh  bulan yang lalu, kejadian yang membuat semua aktivitasku terhenti. Tujuh bulan yang lalu aku mengalami kecelakaan yang mengakibatkan kerusakan pada kornea mataku. Semua itu menjadi awal penderitaanku selama beberapa bulan ini. Aku harus melepaskan mimpiku untuk mengikuti sebuah lomba pemilihan model untuk sebuah majalah. Padahal aku sudah menantikan lomba tersebut sejak tahun lalu. Dan sekarang kesempatan itu kembali hilang akibat mataku yang tidak bisa lagi melihat.
Awalnya aku terus mencaci kecelakaan yang terjadi padaku. Aku begitu kecewa dan tidak bisa menerima kenyataan yang telah terjadi. Aku harus melepas mimpiku dan juga hal lainnya. Aku tidak henti-hentinya mencaci orang yang telah menabrakku. Kata Papa, orang yang telah menabrakku sudah mempertanggungjawabkan perbuatannya. Namun aku masih merasa belum puas, karena aku masih bisa belum melihat seperti sebelumnya.
“By, kamu sudah bangun?” kepalaku menoleh kearah kiri dimana aku mendengar suara Mama. Aku menganggukkan kepalaku menjawab pertanyaan Mama. Telingaku menangkap suara derit kursi disamping kiriku.
“By, Mama punya kabar gembira. Papa sudah menemukan donor mata untuk kamu. Sebentar lagi kamu bisa melihat lagi, By.”
Tanganku terangkat dan mulai meraba mencari tangan Mama. Setelah mendapatkannya aku menggenggam tangan tersebut. Aku tidak percaya dengan kabar yang baru saja disampaikan oleh Mama.
“Benar, Ma? Mama tidak bohong ‘kan?”
“Tidak, By. Mama tidak bohong. Kata Dokter, lusa kamu akan di operasi.”
Aku memeluk Mama. Tidak terkira rasa bahagiaku saat ini. Setelah sekian lama menunggu, akhirnya keajaiban itu datang. Aku akan bisa melihat dan mewujudkan mimpiku lagi.
“Terima kasih, Ma. Abby senang sekali, sebentar lagi Abby bisa melihat lagi.”
“Iya, Nak. Mama juga senang.”
Aku melepaskan pelukanku. Aku menyeka air mataku dibantu oleh Mama. Kami saling tertawa bahagia. Aku merasa tidak sabar menunggu lusa dimana aku akan bisa melihat lagi. Besok lusa akan menjadi awal yang baru lagi bagiku, aku bisa kembali bermimpi dan mewujudkannya.


***
Tulisan ini untuk Tantangan Hari Kedua Puluh Empat event #30DWCJilid5 dengan tema dan kata kunci ‘Awal’. Mohon kritik dan saran untuk setiap kekurangan. Terima Kasih.

Rabu, 03 Mei 2017

Randi dan Yasmin (Delapan) (#30DWCJILID5)



Sudah dua bulan kejadian yang menggemparkan rumah keluarga Routh berlalu. Suasana memang telah kembali, namun masih ada sisa-sisa ketegangan antara Ayah dan anak yang terjadi. Ayah dan anak tersebut masih saling mengobarkan api permusuhan karena kekeraskepalaannya masing-masing. Namun tampaknya keduanya masih belum ada mau yang mengalah.
Yasmin yang kini sudah bertambah besar, mulai semakin mengerti dengan keadaan yang terjadi. Yasmin selalu berusaha menghibur dan menemani Hans saat anak itu keluar dari kamarnya atau berada di rumah. Sejak kejadian itu, Hans lebih sering menghabiskan waktu di luar atau di dalam kamarnya. Ia tidak pernah lagi berkumpul bersama Ayahnya atau bersama anggota keluarga Routh lainnya.
Setiap harinya Yasmin disibukkan dengan melakukan hal-hal yang bisa menghibur Hans. Ia melakukan berbagai macam hal dari hal yang lucu, konyol, aneh bahkan memalukan agar ia bisa melihat Hans kembali tersenyum. Namun hasilnya tetap sama. Hans masih tetap murung dan menampakkan raut sedih di wajahnya.
Jika tidak ada kegiatan atau les, Yasmin akan mendatangi Hans ke kamar. Jika Hans mengunci kamarnya, Yasmin akan menggedor pintu kamar Hans dan berusaha mengajak Hans keluar dari kamar untuk bermain dengannya. Namun kadang-kadang yang didapatkan Yasmin hanyalah teriakan dan bentakan dari Hans yang terkadang membuat Yasmin menitikkan air mata.
Kadang Yasmin juga merasa sedih saat Hans tidak mau mendengarkannya. Ia berusaha keras agar Hans bisa kembali ceria, namun terkadang yang didapatkan Yasmin hanyalah usiran dan cacian dari Hans. Yasmin juga sama seperti anak perempuan lainnya, ia bisa terluka dan sedih karena ucapan yang menyakitinya.
Jika sedang sedih, maka Yasmin akan mencari Randi. Ia akan menangis dan menumpahkan semua isi hatinya pada anak lelaki tersebut. Yasmin tidak segan-segan memeluk anak lelaki tersebut walaupun ia sering mendapat pesan dari Mamanya untuk menjaga diri dan sikapnya didepan lelaki. Tetapi dengan Randi, Yasmin merasa tidak perlu khawatir tentang apapun. Ia merasa sangat nyaman dengan Randi.
“Mas Hans tidak mau mendengarkanku lagi, Ran,” adu Yasmin pada Randi saat anak lelaki itu berkunjung ke rumahnya. Ia mengabari Randi lewat telepon dan meminta anak lelaki tersebut untuk datang ke rumah.
“Mungkin Hans sedang dalam keadaan yang tidak baik, Yas.” Randi mengusap kepala Yasmin dengan pelan. Ia membiarkan Yasmin melakukan apapun sesuka hatinya pada dirinya.
“Tapi aku lelah, Ran. Aku lelah Mas Hans selalu tidak menghiraukanku.”
“Kau menyayangi Hans, bukan?”
Yasmin menjawab dengan anggukan. Randi menatap anak perempuan yang menggunakan baju atasan berwarna putih dan rok selutut berwarna merah muda polkadot sambil tersenyum tipis. Tangan Randi mengusap pelan kepala Yasmin yang bersandar di dadanya.
“Kau tidak memiliki alasan untuk lelah demi orang yang kau sayangi, Yas. Kau akan terus berusaha melakukan apapun untuk kebahagiaan orang yang kau sayangi tanpa peduli bagaimanapun balasannya.”
Mata Yasmin mengerjap mendengar uapan Randi. Namun akhirnya ia menganggukkan kepalanya walaupun ia belum mengerti seratus persen apa maksud Randi.
“Jadi apa aku harus terus berusaha menghibur Mas Hans?” tanya Yasmin.
“Lakukan apa yang menurutmu baik, Yas. Tapi jangan lupakan dirimu sendiri. Kau juga perlu memperhatikan diri dan hidupmu sendiri.”
Yasmin kembali menganggukkan kepalanya. Mungkin jika anak lain yang seusianya, kata-kata yang diucapkan Randi tidak akan dapat dimengerti. Namun berbeda dengan Yasmin yang memang memiliki perasaan yang peka diusianya yang baru menginjak 14 tahun.
“Terima kasih, Ran. terima kasih sudah mau mendengarkan ceritaku.” Yasmin kembali menatap Randi yang sedang tersenyum kepadanya. Bagi Yasmin, Randi memiki senyum yang menawan dimatanya. Hal itu baru ia sadari sejak satu tahun yang lalu. Yasmin merasa senang saat melihat senyuman tersebut menghiasi wajah Randi.
“Sama-sama, Yas. Kau selalu memiliki aku jika kau membutuhkan seseorang untuk mendengarkan ceritamu.”
Yasmin tersenyum. Tubuhnya bergerak menuju tubuh Randi. Tangan Yasmin melingkar diantara lengan hingga punggung anak lelaki berusia 18 tahun tersebut. Dengan nalurinya, Yasmin memeluk Randi dan menyandarkan kepalanya di dada anak lelaki yang sudah beranjak dewasa  itu.
*******
Waktu yang terus maju meninggalkan semua yang telah terjadi dihari sebelumnya. Namun semuanya masih tidak berubah dan malah semakin parah. Yasmin merasa tidak sanggup lagi karena nyatanya Hans semakin menutup dirinya. Hans akan berbicara seadanya dan seperlunya dengan anggota keluarga Routh. Bahkan saat berkumpul dengan keluarganya dihari-hari besar, ia memilih mendekam di dalam kamar. Ia menutup diri dengan keluarganya sendiri dan lebih memilih menyendiri bersama beberapa kenangannya bersama Lova.
Tidak terasa Hans dan Yasmin menyelesaikan sekolahnya masing-masing. Hans menyelesaikan sekolah menangah atasnya dan Yasmin menyelesaikan sekolah menengah pertamanya yang bertaraf internasional. Keduanya lulus dengan nilai yang memuaskan. Kelulusan tersebut dirayakan oleh keluarga Routh dengan pesta sederhana.
Pesta tersebut hanya dihadiri oleh orang terdekat. Tetapi tidak lupa pula Yasmin mengundang Randi. Pesta tersebut diadakan di taman samping rumah keluarga Routh. Pesta tersebut dihadiri oleh Rianti Routh yang merupakan Nenek Hans dan Yasmin, Christian yang merupakan Ayahnya Hans, Bibi Maria atau Mamanya Yasmin, Bibi Maisya, asisten rumah tangga serta pengasuh Yasmin dan juga Randi sebagai tamu khusus untuk Yasmin.
Pesta kecil tersebut berlangsung di sore hari. Bibi Maisya, Randi serta Yasmin bertugas memanggang daging sapi. Daging sapi tersebut akan diolah menjadi steak yang merupakan makanan kesukaaan Hans. Hans sendiri memilih duduk di gazebo bersama Rianti, Christian dan Maria.
Randi dan Yasmin tampak begitu senang. Tidak henti-hentinya Yasmin tertawa saat Randi membuat lelucon-lelucon yang menggelikan. Tidak hanya Yasmin, Bibi Maisya juga ikut menertawakan Randi. Kebahagiaan begitu jelas terpancar di wajah Yasmin yang juga memancing senyuman Randi tanpa disadari oleh siapapun.
Selesai memanggang daging, Bibi Maisya, Randi dan Yasmin membawa daging-daging tersebut ke gazebo. Disana sudah tersedia perlengkapan makan seperti piring, sendok, garpu, pisau dan lain-lainnya yang ditata oleh asisten rumah tangga di rumah keluarga Routh.
Yasmin duduk disamping Hans dan Randi. Didepannya duduk Rianti, Christian dan Maria. Gazebo sudah diatur dan dilengkapi dengan meja dan kursi untuk acara makan bersama tersebut.
Selesai menyantap makanan, sambil menyantap hidangan pencuci mulut. Christian mulai membuka suara. Ia menyampaikan keputusan yang sudah ia bicarakan bersama Rianti dan Maria. Ia telah merencanakan sesuatu untuk masa depan putranya. Dan rencana tersebut melibatkan Yasmin didalamnya.
“Ayah sudah merencanakan agar kau melanjutkan kuliahmu di New York, Hans. Nenek dan Bibi Maria sudah setuju. Selama di New York, kau akan tinggal bersama Bibi Maria dan Yasmin. Kau tidak akan sendirian disana.”
Tangan Yasmin yang sedang meraih gelas langsung terhenti. Wajah Yasmin menatap Christian. Lalu wajahnya memutar menatap Randi yang juga sedang menatapnya dengan sorot yang tidak dapat diartikan.
“Jadi aku akan melanjutkan sekolahku di New York, Paman?”
“Ya, Yasmin. Paman ingin kau menemani Hans disana.”
Ucapan Christian membuat Yasmin kembali menoleh ke arah Randi. Tampak di mata keduanya sorot sedih yang hanya dipahami oleh mereka berdua. Namun sorot sedih tersebut sempat tertangkap oleh Maria, Mama Yasmin.
“Kalian akan berangkat dua minggu lagi. Aku akan mengurus semuanya, kalian hanya tinggal mempersiapkan diri dan semua yang perlu dibawa.”
Yasmin mengangguk pelan. Namun sorot matanya tampak ia tidak menerima keputusan tersebut. Ia memang senang karena dapat bersama Hans. Namun baru kali ini ia merasa sedih saat harus berpisah dengan Randi yang sudah menemaninya selama hampir empat tahun.
 Sampai acara berakhir, Yasmin hanya diam. Pikirannya melayang tentang sesuatu. Untuk pertama kalinya ia ingin menolak. Namun ia tahu, ia tidak memiliki kekuatan untuk menolak ucapan Christian apalagi Mamanya juga telah menyetujui. Dengan berat hati, Yasmin menerima keputusan tersebut dan mulai mempersiapkan dirinya.

***
Tulisan ini untuk Tantangan Hari Kedua Puluh Tiga event #30DWCJilid5. Mohon kritik dan saran untuk setiap kekurangan. Terima Kasih.