Aku sungguh tidak menyangka. Jalan yang
dituliskan oleh Allah SWT untukku sungguh luar biasa. Allah SWT membuktikan
kalau semua rencana-Nya memang tertulis dengan begitu indahnya.
Aku tidak menyangka pertemuanku dengan
Firman beberapa hari yang lalu membawaku ke sebuah hal baru. Berbulan-bulan
menghilang, kedatangan Firman begitu mengagetkanku. Tetapi yang lebih
mengagetkan saat Firman menanyakan alamat rumahku. Dan dua jam yang lalu
setelah sholat Isya, Firman datang ke rumahku bersama seorang lelaki yang ia
kenalkan sebagai Pamannya, Paman Hadi.
Ia datang menggunakan baju koko warna putih dan celana hitam yang sama seperti
Paman Hadi. Kedatangannya cukup mengagetkanku dan Bapak. Kami hanya berdua
karena Ibu dan Adikku, Syarif sedang pergi keluar. Namun yang lebih mengagetkan
lagi adalah hal yang diucapkannya kepada Bapak.
***
“Saya berniat untuk meminta restu Bapak
agar saya bisa bersama dengan Putri Bapak.”
Aku yang berada dibalik dinding antara
ruang tamu dan ruang makan tidak bisa bergerak sedikitpun. Ucapan Firman
membuat seluruh tubuhku membeku dan jantungku berdegup kencang. Aku bahkan harus
memegangi dadaku karena rasanya jantungku hampir terlepas dari rongganya.
“Apa maksud, Nak Firman?” aku mendengar
Ayah menyebutkan pertanyaan tersebut. Aku masih memegangi dadaku dengan erat
seakan takut jantungku akan jatuh jika tanganku kulepas.
“Begini, Pak. Keponakan saya berniat
melamar Putri Bapak, Zara Annisa Humairah.”
Aku tidak bisa menahan air mataku saat
Paman Hadi mengatakan kalimat tersebut. Degup jantung bahagia mulai mengisi
dadaku menemani euforia lamaran yang baru pertama kali terjadi. Bahkan aku
tidak menyangka jika aku sedang dilamar.
Selanjutnya aku mendengar Bapak kembali
berbicara. Tampak Bapak menanyakan keseriusan maksud Firman. Entah mengapa aku
menjadi tertarik mendengar pembicaraan Bapak dan Firman. Walaupun aku mendengar
nada keraguan dari suara Bapak terhadap Firman.
“Bapak menghargai niat baik atas
kedatangan Nak Firman, tapi apa Nak Firman sudah memikirkan keputusan Nak
Firman baik-baik? Menikah itu tidak mudah, Nak Firman, menikah itu perlu
kesiapan yang matang baik fisik, mental dan materi.”
“Bapak tidak bermaksud meremehkan, Nak
Firman. Tetapi jika nanti kalian menikah, maka tanggung jawab serta semua kebutuhan
Zara Nak Firman yang menanggungnya. Apa Nak Firman mampu menjaga dan memenuhi
kebutuhan Zara?”
“Saya memang masih belum menemukan
pekerjaan, Pak. Tapi saya sudah mulai mencari dan melamar pekerjaan dibeberapa
tempat. Saya yakin pintu rezeki akan terbuka setelah kami menikah nanti. Entah
pintu rezeki untuk saya atau untuk Zara.”
Aku mengucap tasbih mendengar jawaban
Firman yang sarat akan kedewasaan. Aku tidak menyangka jika ia bisa menjawab
pertanyaan Bapak dengan bijak. Ia juga terdengar tidak gugup sama sekali. Semua
ucapannya terdengar mantap.
“Kamu masih kuliah?”
“Masih, Pak. Satu universitas dengan
Zara. Tetapi kami berbeda jurusan.”
“Zara mempunyai mimpi ingin meraih gelar
sarjana dan bekerja membantu orang tuanya, Nak. Maklum, Bapak hanya guru biasa
dengan gaji yang tidak berlebih. Kami juga bukan orang berada. Bapak juga
menggantungkan harapan pada Zara agar ia bisa membantu memenuhi ekonomi
keluarga kami. Kalau kalian menikah, bagaimana dengan kuliah dan pekerjaan
Zara, Nak Firman?”
“Saya tidak akan melarang Zara untuk
melanjutkan mimpinya setelah menikah nanti, Pak. Asalkan Zara tidak melalaikan
tugasnya sebagai istri, saya tidak akan mengekang Zara dan membolehkan Zara
melakukan apapun yang diinginkannya.”
Lagi-lagi jawaban Firman membuatku
terpesona. Ia terlihat begitu dewasa dengan jawabannya. Aku tidak menyangka
jika selama ini Firman memiliki pemikiran yang terbuka. Bibirku tidak
henti-hentinya tersenyum mendengar semua jawaban yang dilontarkan Firman untuk
menjawab pertanyaan Firman.
“Apa yang membuat Nak Firman yakin
menjadikan Zara sebagai istri? Bapak rasa Zara bukanlah perempuan yang memiliki
fisik yang sempurna dan Bapak yakin diluar sana ada banyak perempuan yang lebih
dari Zara. Zara juga bukan anak dari keluarga yang berada, kami hanya keluarga
kecil yang menumpang hidup di kota besar ini, Nak Firman. Kami bukan
siapa-siapa.”
Pertanyaan itu membuatku menjadi
was-was. Entah mengapa aku merasa ini seperti pertanyaan pamungkas Bapak yang
sengaja disiapkan diakhir. Lamanya jeda waktu pertanyaan Bapak dan jawaban
Firman membuatku kembali merasa berdebar kencang. Tetapi sekitar tiga menit
kemudian, jawaban Firman kembali membuatku mengucap tasbih dan tersenyum
bahagia.
“Karena saya sudah jatuh hati dengan
Zara, Pak. Saya pernah mengutarakan isi hati saya pada Zara, tetapi Zara
menolak. Saya sempat sangat kecewa karena saya berpikir Zara juga merasakan hal
yang sama. Lalu saya pergi untuk menenangkan diri. Tetapi ucapan Zara pada
waktu itu menyadarkan saya kalau Zara berbeda dari perempuan lainnya. Saya
sadar Zara tidak menginginkan lelaki yang hanya bermain-main. Dan saya kemari
untuk membuktikan bahwa saya serius dengan Zara. Saya serius dengan perasaan
saya pada Zara.”
Aku tidak lagi mendengarkan pembicaraan
Bapak dan Firman selanjutnya. Aku terlalu larut dalam rasa senang yang
menyeruak di hatiku. Aku sunggh tidak menyangka seorang Muhammad Firman Adipati
bisa seserius ini. Dan terlebih lagi, ia benar-benar membuktikan keseriusannya
malam ini.
“Keputusan tetap ada di tangan Zara, Nak
Firman. Bapak akan menerima apapun keputusan Zara nanti. Tetapi Bapak harap
kamu juga bisa menerima keputusan Zara nantinya.”
“Iya, Pak. Saya akan menerima apapun
keputusan Zara.”
“Sebentar Nak Firman, saya mau bicara
dulu dengan Zara.”
Aku yang berdiri dibalik dinding
bergegas menuju kursi dan duduk di kursi tersebut. Aku bertingkah seakan-akan
tidak mendengar apapun pembicaraan Bapak dan Firman. Untung saja di rumah ini
hanya aku dan Bapak yang ada. Ibu dan Syarif sedang keluar mencari barang
keperluan Syarif untuk sekolah besok.
“Zara, Bapak mau bicara sama kamu.” Aku
menoleh kearah kanan dimana Bapak sedang berjalan ke arahku. Bapak duduk di
kursi yang ada disampingku.
“Bapak yakin kamu sudah mendengar
pembicaraan Bapak, Zara. Sekarang Bapak mau menanyakan bagaimana jawaban kamu.”
Aku kembali terdiam. Walaupun aku senang dengan kedatangan Firman, tetapi aku
juga masih belum yakin dengan jawabanku. Aku masih ragu harus menjawab pinangan
Firman sekalipun sebenarnya aku juga jatuh hati pada Firman dan merasakan hal
yang sama seperti Firman.
“Zara masih belum yakin, Pak. Sepertinya
Zara perlu waktu.”
Aku mendengar helaan nafas Bapak. Aku
terus menundukkan kepalaku enggan menatap Bapak. Aku merasa malu, gugup dan
sedikit takut. Aku takut jika memberi jawaban yang salah nantinya.
“Ya sudah, sekarang kamu ikut Bapak ke
depan. Kamu ngomong langsung dengan Firman.”
Aku mengikuti Bapak berdiri dan berjalan
sambil menunduk mengikuti Bapak menuju ruang tamu. Aku merasa malu untuk
memperlihatkan wajahku didepan Firman. Tetapi suara Bapak mempersilahkanku
untuk duduk di sebelah Bapak membuat wajahku terangkat. Saat itu wajah Firman
tepat didepanku. Ia tersenyum dengan senyuman yang mampu membuatku terpana.
Tidak sadar aku terlarut dalam pandangan tersebut hingga akhirnya kudengar
dehaman dari Bapak yang membuatku merasa malu.
“Assalamu’alaikumu,
Ra.” Kepalaku terangkat mendengar salam yang diucapkan Firman. Dengan cepat aku
menjawab salam Firman.
“Wa’alaikumus
salam, Firman.”
“Kenalkan, ini Paman Hadi, Pamannya
Firman, Ra.” Aku menyalami tanpa menyentuh tangan Paman Hadi. Setelah itu aku
kembali duduk dan mendengarkan Bapak berbicara.
“Nak Firman datang kesini untuk meminang
kamu, Ra. Sekarang Bapak mau mendengar jawaban kamu. Bapak akan menerima apapun
jawaban kamu nantinya.”
Rasa gugup mulai menyerangku. Sejak tadi
aku juga belum yakin dengan jawabanku. Aku menatap Bapak, Firman dan Pamannya. Mereka
tampak harap-harap cemas dengan jawabanku. Perasaanku semakin gugup. Aku takut
jika aku memberi jawaban yang salah dan merugikan banyak orang serta diriku
sendiri.
“Maaf, Pak, Firman, Paman, Zara masih
belum bisa memberi jawaban. Zara rasa, Zara harus memikirkannya matang-matang
karena ini demi masa depan Zara.” Aku tidak yakin suaraku dapat didengar oleh
ketiga lelaki tersebut. Aku terus menundukkan kepalaku tidak berani menatap
semuanya. Tetapi suara lembut Firman membuat kepalaku terangkat.
“Tidak apa-apa, Ra. Kamu memang harus
memikirkannya dengan baik.”
Aku menatap Firman kembali tersenyum. Ia
tampak begitu tenang dengan jawabanku yang menggantung pinangannya. Ia tampak
menerima dan sungguh berbeda dengan Firman saat menembakku dulu.
“Kapan kamu akan memberi jawaban, Ra?”
tanya Bapak yang mengalihkan tatapanku ke arah Bapak.
“Secepatnya, Pak. Mungkin minggu depan.”
Terdengar suara hamdalah dari Firman dan Pamannya. Aku kembali menundukkan kepalaku
menutupi wajahku yang masih memerah karena malu. Aku mendengar suara Bapak
kembali berbicara dengan Firman.
“Nak Firman, semoga satu minggu ke depan
kita mendapatkan jawaban yang terbaik.”
“Iya, Pak. Saya juga berharap mendapatkan
jawaban yang terbaik.”
“Baiklah, Pak, kami permisi dulu,” kata
Paman Hadi. Paman Hadi dan Firman berdiri diiringi oleh Bapak. Mereka bersalaman
dan berpelukan. Aku hanya bisa bersalaman tanpa saling menyentuh dengan Firman
dan Paman Hadi. Lalu Bapak mengantar Firman dan Pamannya ke depan rumah.
***
Aku membaringkan badanku. Pasti sekarang
Bapak sudah menceritakan kedatangan Firman pada Ibu yang datang tidak lama
setelah Firman dan Pamannya pulang. Sepertinya mereka tidak ingin menggangguku
karena mereka tidak menyusulku ke kamar dan menanyaiku. Mungkin mereka berpikir
jika sekarang aku sedang memikirkan pinangan Firman.
*******
Aku bangun tepat pada jam tiga dini hari.
Aku bangun dan membersihkan diri. Tetapi setelah itu aku mengambil selembar
kertas dan mengguntingnya menjadi dua. Aku menuliskan kata pada kedua lembar
kertas tersebut. Lalu aku menggulungnya dan menaruhnya didekat sajadah yang
sudah aku gelar di samping ranjang. Lalu aku berwudhu dan melakukan sholat
tahajud. Setelah itu aku melakukan sholat taubat dan diteruskan dengan sholat istikharah.
Selesai sholat aku berdo’a agar diberi pilihan yang terbaik.
Aku mengambil salah satu gulungan
kertas. Dengan mata yang terpejam aku membuka gulungan tersebut. Setelah
terbuka aku mengintip tulisan yang ada di kertas. Aku begitu senang mengambil
kertas yang kupikir tepat. Namun aku tidak mau gegabah, aku kembali melakukan
sholat istikharah dan mengulanginya sebanyak tiga kali. Selesai sholat aku
kembali mengambil gulungan kertas mengikuti hatiku dan berharap memilih kertas
yang tepat.
Selama beberapa hari ini aku rutin
bangun jam tiga dini hari dan melakukan sholat istikharah. Aku benar-benar
tidak ingin memberi jawaban yang salah dan terus meminta agar diberi keputusan
yang terbaik. Hingga hari terakhir pun aku masih melakukannya. Aku masih
berharap jika Allah SWT memberikanku jawaban terbaik untukku dan masa depanku.
*******
Sesudah sholat Isya, Firman dan Paman Hadi
kembali datang. Di ruang tamu sudah ada Bapak, Ibu, Syarif, aku, Firman dan
Paman Hadi. Raut cemas dan penuh harap tampak diwajah mereka menunggu kata yang
akan kuucapkan. Dengan mengucap basmallah,
aku mulai memberikan jawabanku.
“Pak, Bu, Zara sudah memikirkannya
baik-baik. Zara juga sudah memohon dan berdo’a kepada Allah SWT agar memberi Zara
jawaban terbaik untuk kita semua. Sekarang Zara mau memberikan jawaban Zara.”
Aku menatap mereka yang tidak bersuara
sedikitpun. Bahkan Adikku juga ikut menampakkan raut tegang. Aku tidak berani
menatap wajah Firman. tetapi aku yakin ia pasti juga sedang harap-harap cemas
dengan jawabanku.
“Zara menerima pinangan Firman.”
Semua raut wajah mulai berubah saat aku
mengatakan jawabanku. Aku juga mendengar ucapan hamdalah dari Bapak, Ibu, Firman dan Paman Hadi. Ibu memelukku. Aku
melihat Firman memeluk Pamannya. Kemudian ia mencium tangan Bapak dan memeluk Bapak.
Tidak terkira begitu bahagianya aku melihat pemandangan indah ini. Rasanya
jawabanku tidak salah dan apa yang kupikirkan juga begitu. Bahwa kalau kita
memang berjodoh, kita pasti akan bersama.
*TAMAT*
***
Tulisan ini untuk Tantangan Hari Kedua Puluh Lima event #30DWCJilid5. Mohon kritik dan saran untuk setiap kekurangan.
Terima Kasih.