Jumat, 28 Januari 2022

Hati-Ketakutan Kehilangan-Otak

 Pada akhirnya saya sampai pada satu definisi.

Bersamanya sakit, tapi tanpanya tidak bisa.


Saya tahu, banyak kenyataan yang saya abaikan hanya demi kata hati dan perasaan yang hanya saya sendiri merasakannya

Yang akhirnya kembali membuat saya terjebak dalam pada kubangan luka


Bodoh!

Tidak apa-apa

Saya memang bodoh untuk urusan hati

Asalkan ia tetap ada. Tidak apa-apa saya jadi manusia paling bodoh sekalipun

Asalkan ia tidak meninggalkan saya dan membuat saya harus kembali merasakan luka dalam dada seperti dulu


Bersamanya memang sakit, karena saya tahu dengan jelas bagaimana perasaannya

Sekalipun segala cara telah saya coba untuk dapat meluluhkannya, tetapi pada akhirnya hatinya tetap tak tertaut pada saya.


Tapi untuk tanpanya, tidak. Tidak bisa. Saya tidak bisa lagi merasakan luka itu lagi. Luka yang membuat saya terjebak pada ketakutan ini



Dan Tuhan, untuk kali ini saya benar-benar memohon dengan semua kerendahan saya

Izinkan kali ini saya menang dalam hal cinta

Rabu, 10 Mei 2017

Dia yang Ditunggu (#30DWCJILID5)



Aku mempercepat langkah kakiku saat ruangan yang kutuju sudah didepan mata. Tanganku memegang bungkus plastik berwarna putih berisi buah apel. Didepan ruangan, tampak seorang wanita yang menggunakan kerudung lebar berwarna biru muda dan gamis hijau sedang berbicara dengan seorang lelaki yang memakai baju kaos berwarna putih dan celana hitam. Mereka menoleh kearahku dan tersenyum.
Assalamu’alaikum,” sapaku sambil mencium tangan pasangan tersebut.


Selasa, 09 Mei 2017

Tentang Cinta (Sembilan) (30DWCJILID5)


Sejak kejadian dua hari yang lalu, Reina sudah kembali bekerja. Ia sempat was-was jika Abimanyu masih nekat menemuinya. Namun ketakutannya tidak terjadi. Abimanyu tidak lagi mendatanginya.
Reina merasa sangat lega. Ketakutannya akan Abimanyu perlahan memudar dan ia sudah bisa kembali beraktivitas dengan ceria. Walaupun rasa rindunya pada Rizky masih terus berlanjut, Reina cukup berbahagia dan bersabar menunggu Rizky pulang.


Senin, 08 Mei 2017

Randi dan Yasmin (Sembilan) (#30DWCJILID5)



Sejak lima hari yang lalu Yasmin lebih senang menyendiri. Ia lebih senang berdiam diri di gazebo ataupun kolam renang. Yasmin dilanda dilema antara tetap pergi atau membantah Mamanya untuk pertama kalinya. Ia sudah mengungkapkan rasa berat dihatinya karena harus ke New York bersama Hans. Namun Mamanya mengatakan kalau ia tidak punya pilihan lain selain menerima keputusan Pamannya, Christian.


Minggu, 07 Mei 2017

Kita Berbeda (#30DWCJILID5)



Aku dan dia bagai berada di tengah persimpangan jalan.
Langkah kami terhenti karena hal penting yang menjadi hakikat kami sejak lahir.
Kami tidak bisa maju ataupun mundur.
Kami berada di tengah cinta dengan keyakinan yang berbeda.


Sabtu, 06 Mei 2017

Tentang Cinta (Delapan) (#30DWCJILID5)



Reina membuka matanya saat ia merasakan elusan di kepalanya. Reina merasa tubuhnya dihimpit oleh seseorang. Perlahan Reina membuka matanya. Senyumnya langsung mengembang saat matanya menangkap sosok yang sempat ia cari saat terjaga tengah malam tadi.


Jumat, 05 Mei 2017

Kalau jodoh, Kita Pasti.... (Delapan) (#30DWCJILID5)



Aku sungguh tidak menyangka. Jalan yang dituliskan oleh Allah SWT untukku sungguh luar biasa. Allah SWT membuktikan kalau semua rencana-Nya memang tertulis dengan begitu indahnya.
Aku tidak menyangka pertemuanku dengan Firman beberapa hari yang lalu membawaku ke sebuah hal baru. Berbulan-bulan menghilang, kedatangan Firman begitu mengagetkanku. Tetapi yang lebih mengagetkan saat Firman menanyakan alamat rumahku. Dan dua jam yang lalu setelah sholat Isya, Firman datang ke rumahku bersama seorang lelaki yang ia kenalkan  sebagai Pamannya, Paman Hadi. Ia datang menggunakan baju koko warna putih dan celana hitam yang sama seperti Paman Hadi. Kedatangannya cukup mengagetkanku dan Bapak. Kami hanya berdua karena Ibu dan Adikku, Syarif sedang pergi keluar. Namun yang lebih mengagetkan lagi adalah hal yang diucapkannya kepada Bapak.


***
“Saya berniat untuk meminta restu Bapak agar saya bisa bersama dengan Putri Bapak.”
Aku yang berada dibalik dinding antara ruang tamu dan ruang makan tidak bisa bergerak sedikitpun. Ucapan Firman membuat seluruh tubuhku membeku dan jantungku berdegup kencang. Aku bahkan harus memegangi dadaku karena rasanya jantungku hampir terlepas dari rongganya.
“Apa maksud, Nak Firman?” aku mendengar Ayah menyebutkan pertanyaan tersebut. Aku masih memegangi dadaku dengan erat seakan takut jantungku akan jatuh jika tanganku kulepas.
“Begini, Pak. Keponakan saya berniat melamar Putri Bapak, Zara Annisa Humairah.”
Aku tidak bisa menahan air mataku saat Paman Hadi mengatakan kalimat tersebut. Degup jantung bahagia mulai mengisi dadaku menemani euforia lamaran yang baru pertama kali terjadi. Bahkan aku tidak menyangka jika aku sedang dilamar.
Selanjutnya aku mendengar Bapak kembali berbicara. Tampak Bapak menanyakan keseriusan maksud Firman. Entah mengapa aku menjadi tertarik mendengar pembicaraan Bapak dan Firman. Walaupun aku mendengar nada keraguan dari suara Bapak terhadap Firman.
“Bapak menghargai niat baik atas kedatangan Nak Firman, tapi apa Nak Firman sudah memikirkan keputusan Nak Firman baik-baik? Menikah itu tidak mudah, Nak Firman, menikah itu perlu kesiapan yang matang baik fisik, mental dan materi.”
“Bapak tidak bermaksud meremehkan, Nak Firman. Tetapi jika nanti kalian menikah, maka tanggung jawab serta semua kebutuhan Zara Nak Firman yang menanggungnya. Apa Nak Firman mampu menjaga dan memenuhi kebutuhan Zara?”
“Saya memang masih belum menemukan pekerjaan, Pak. Tapi saya sudah mulai mencari dan melamar pekerjaan dibeberapa tempat. Saya yakin pintu rezeki akan terbuka setelah kami menikah nanti. Entah pintu rezeki untuk saya atau untuk Zara.”
Aku mengucap tasbih mendengar jawaban Firman yang sarat akan kedewasaan. Aku tidak menyangka jika ia bisa menjawab pertanyaan Bapak dengan bijak. Ia juga terdengar tidak gugup sama sekali. Semua ucapannya terdengar mantap.
“Kamu masih kuliah?”
“Masih, Pak. Satu universitas dengan Zara. Tetapi kami berbeda jurusan.”
“Zara mempunyai mimpi ingin meraih gelar sarjana dan bekerja membantu orang tuanya, Nak. Maklum, Bapak hanya guru biasa dengan gaji yang tidak berlebih. Kami juga bukan orang berada. Bapak juga menggantungkan harapan pada Zara agar ia bisa membantu memenuhi ekonomi keluarga kami. Kalau kalian menikah, bagaimana dengan kuliah dan pekerjaan Zara, Nak Firman?”
“Saya tidak akan melarang Zara untuk melanjutkan mimpinya setelah menikah nanti, Pak. Asalkan Zara tidak melalaikan tugasnya sebagai istri, saya tidak akan mengekang Zara dan membolehkan Zara melakukan apapun yang diinginkannya.”
Lagi-lagi jawaban Firman membuatku terpesona. Ia terlihat begitu dewasa dengan jawabannya. Aku tidak menyangka jika selama ini Firman memiliki pemikiran yang terbuka. Bibirku tidak henti-hentinya tersenyum mendengar semua jawaban yang dilontarkan Firman untuk menjawab pertanyaan Firman.
“Apa yang membuat Nak Firman yakin menjadikan Zara sebagai istri? Bapak rasa Zara bukanlah perempuan yang memiliki fisik yang sempurna dan Bapak yakin diluar sana ada banyak perempuan yang lebih dari Zara. Zara juga bukan anak dari keluarga yang berada, kami hanya keluarga kecil yang menumpang hidup di kota besar ini, Nak Firman. Kami bukan siapa-siapa.”
Pertanyaan itu membuatku menjadi was-was. Entah mengapa aku merasa ini seperti pertanyaan pamungkas Bapak yang sengaja disiapkan diakhir. Lamanya jeda waktu pertanyaan Bapak dan jawaban Firman membuatku kembali merasa berdebar kencang. Tetapi sekitar tiga menit kemudian, jawaban Firman kembali membuatku mengucap tasbih dan tersenyum bahagia.
“Karena saya sudah jatuh hati dengan Zara, Pak. Saya pernah mengutarakan isi hati saya pada Zara, tetapi Zara menolak. Saya sempat sangat kecewa karena saya berpikir Zara juga merasakan hal yang sama. Lalu saya pergi untuk menenangkan diri. Tetapi ucapan Zara pada waktu itu menyadarkan saya kalau Zara berbeda dari perempuan lainnya. Saya sadar Zara tidak menginginkan lelaki yang hanya bermain-main. Dan saya kemari untuk membuktikan bahwa saya serius dengan Zara. Saya serius dengan perasaan saya pada Zara.”
Aku tidak lagi mendengarkan pembicaraan Bapak dan Firman selanjutnya. Aku terlalu larut dalam rasa senang yang menyeruak di hatiku. Aku sunggh tidak menyangka seorang Muhammad Firman Adipati bisa seserius ini. Dan terlebih lagi, ia benar-benar membuktikan keseriusannya malam ini.
“Keputusan tetap ada di tangan Zara, Nak Firman. Bapak akan menerima apapun keputusan Zara nanti. Tetapi Bapak harap kamu juga bisa menerima keputusan Zara nantinya.”
“Iya, Pak. Saya akan menerima apapun keputusan Zara.”
“Sebentar Nak Firman, saya mau bicara dulu dengan Zara.”
Aku yang berdiri dibalik dinding bergegas menuju kursi dan duduk di kursi tersebut. Aku bertingkah seakan-akan tidak mendengar apapun pembicaraan Bapak dan Firman. Untung saja di rumah ini hanya aku dan Bapak yang ada. Ibu dan Syarif sedang keluar mencari barang keperluan Syarif untuk sekolah besok.
“Zara, Bapak mau bicara sama kamu.” Aku menoleh kearah kanan dimana Bapak sedang berjalan ke arahku. Bapak duduk di kursi yang ada disampingku.
“Bapak yakin kamu sudah mendengar pembicaraan Bapak, Zara. Sekarang Bapak mau menanyakan bagaimana jawaban kamu.” Aku kembali terdiam. Walaupun aku senang dengan kedatangan Firman, tetapi aku juga masih belum yakin dengan jawabanku. Aku masih ragu harus menjawab pinangan Firman sekalipun sebenarnya aku juga jatuh hati pada Firman dan merasakan hal yang sama seperti Firman.
“Zara masih belum yakin, Pak. Sepertinya Zara perlu waktu.”
Aku mendengar helaan nafas Bapak. Aku terus menundukkan kepalaku enggan menatap Bapak. Aku merasa malu, gugup dan sedikit takut. Aku takut jika memberi jawaban yang salah nantinya.
“Ya sudah, sekarang kamu ikut Bapak ke depan. Kamu ngomong langsung dengan Firman.”
Aku mengikuti Bapak berdiri dan berjalan sambil menunduk mengikuti Bapak menuju ruang tamu. Aku merasa malu untuk memperlihatkan wajahku didepan Firman. Tetapi suara Bapak mempersilahkanku untuk duduk di sebelah Bapak membuat wajahku terangkat. Saat itu wajah Firman tepat didepanku. Ia tersenyum dengan senyuman yang mampu membuatku terpana. Tidak sadar aku terlarut dalam pandangan tersebut hingga akhirnya kudengar dehaman dari Bapak yang membuatku merasa malu.
Assalamu’alaikumu, Ra.” Kepalaku terangkat mendengar salam yang diucapkan Firman. Dengan cepat aku menjawab salam Firman.
Wa’alaikumus salam, Firman.”
“Kenalkan, ini Paman Hadi, Pamannya Firman, Ra.” Aku menyalami tanpa menyentuh tangan Paman Hadi. Setelah itu aku kembali duduk dan mendengarkan Bapak berbicara.
“Nak Firman datang kesini untuk meminang kamu, Ra. Sekarang Bapak mau mendengar jawaban kamu. Bapak akan menerima apapun jawaban kamu nantinya.”
Rasa gugup mulai menyerangku. Sejak tadi aku juga belum yakin dengan jawabanku. Aku menatap Bapak, Firman dan Pamannya. Mereka tampak harap-harap cemas dengan jawabanku. Perasaanku semakin gugup. Aku takut jika aku memberi jawaban yang salah dan merugikan banyak orang serta diriku sendiri.
“Maaf, Pak, Firman, Paman, Zara masih belum bisa memberi jawaban. Zara rasa, Zara harus memikirkannya matang-matang karena ini demi masa depan Zara.” Aku tidak yakin suaraku dapat didengar oleh ketiga lelaki tersebut. Aku terus menundukkan kepalaku tidak berani menatap semuanya. Tetapi suara lembut Firman membuat kepalaku terangkat.
“Tidak apa-apa, Ra. Kamu memang harus memikirkannya dengan baik.”
Aku menatap Firman kembali tersenyum. Ia tampak begitu tenang dengan jawabanku yang menggantung pinangannya. Ia tampak menerima dan sungguh berbeda dengan Firman saat menembakku dulu.
“Kapan kamu akan memberi jawaban, Ra?” tanya Bapak yang mengalihkan tatapanku ke arah Bapak.
“Secepatnya, Pak. Mungkin minggu depan.”
Terdengar suara hamdalah dari Firman dan Pamannya. Aku kembali menundukkan kepalaku menutupi wajahku yang masih memerah karena malu. Aku mendengar suara Bapak kembali berbicara dengan Firman.
“Nak Firman, semoga satu minggu ke depan kita mendapatkan jawaban yang terbaik.”
“Iya, Pak. Saya juga berharap mendapatkan jawaban yang terbaik.”
“Baiklah, Pak, kami permisi dulu,” kata Paman Hadi. Paman Hadi dan Firman berdiri diiringi oleh Bapak. Mereka bersalaman dan berpelukan. Aku hanya bisa bersalaman tanpa saling menyentuh dengan Firman dan Paman Hadi. Lalu Bapak mengantar Firman dan Pamannya ke depan rumah.

***


Aku membaringkan badanku. Pasti sekarang Bapak sudah menceritakan kedatangan Firman pada Ibu yang datang tidak lama setelah Firman dan Pamannya pulang. Sepertinya mereka tidak ingin menggangguku karena mereka tidak menyusulku ke kamar dan menanyaiku. Mungkin mereka berpikir jika sekarang aku sedang memikirkan pinangan Firman.

*******

Aku bangun tepat pada jam tiga dini hari. Aku bangun dan membersihkan diri. Tetapi setelah itu aku mengambil selembar kertas dan mengguntingnya menjadi dua. Aku menuliskan kata pada kedua lembar kertas tersebut. Lalu aku menggulungnya dan menaruhnya didekat sajadah yang sudah aku gelar di samping ranjang. Lalu aku berwudhu dan melakukan sholat tahajud. Setelah itu aku melakukan sholat taubat dan diteruskan dengan sholat istikharah. Selesai sholat aku berdo’a agar diberi pilihan yang terbaik.
Aku mengambil salah satu gulungan kertas. Dengan mata yang terpejam aku membuka gulungan tersebut. Setelah terbuka aku mengintip tulisan yang ada di kertas. Aku begitu senang mengambil kertas yang kupikir tepat. Namun aku tidak mau gegabah, aku kembali melakukan sholat istikharah dan mengulanginya sebanyak tiga kali. Selesai sholat aku kembali mengambil gulungan kertas mengikuti hatiku dan berharap memilih kertas yang tepat.
Selama beberapa hari ini aku rutin bangun jam tiga dini hari dan melakukan sholat istikharah. Aku benar-benar tidak ingin memberi jawaban yang salah dan terus meminta agar diberi keputusan yang terbaik. Hingga hari terakhir pun aku masih melakukannya. Aku masih berharap jika Allah SWT memberikanku jawaban terbaik untukku dan masa depanku.

*******

Sesudah sholat Isya, Firman dan Paman Hadi kembali datang. Di ruang tamu sudah ada Bapak, Ibu, Syarif, aku, Firman dan Paman Hadi. Raut cemas dan penuh harap tampak diwajah mereka menunggu kata yang akan kuucapkan. Dengan mengucap basmallah, aku mulai memberikan jawabanku.
“Pak, Bu, Zara sudah memikirkannya baik-baik. Zara juga sudah memohon dan berdo’a kepada Allah SWT agar memberi Zara jawaban terbaik untuk kita semua. Sekarang Zara mau memberikan jawaban Zara.”
Aku menatap mereka yang tidak bersuara sedikitpun. Bahkan Adikku juga ikut menampakkan raut tegang. Aku tidak berani menatap wajah Firman. tetapi aku yakin ia pasti juga sedang harap-harap cemas dengan jawabanku.
“Zara menerima pinangan Firman.”
Semua raut wajah mulai berubah saat aku mengatakan jawabanku. Aku juga mendengar ucapan hamdalah dari Bapak, Ibu, Firman dan Paman Hadi. Ibu memelukku. Aku melihat Firman memeluk Pamannya. Kemudian ia mencium tangan Bapak dan memeluk Bapak. Tidak terkira begitu bahagianya aku melihat pemandangan indah ini. Rasanya jawabanku tidak salah dan apa yang kupikirkan juga begitu. Bahwa kalau kita memang berjodoh, kita pasti akan bersama.


*TAMAT*


***
Tulisan ini untuk Tantangan Hari Kedua Puluh Lima event #30DWCJilid5. Mohon kritik dan saran untuk setiap kekurangan. Terima Kasih.