“Fera…!” teriak sang tuan putri
memanggil dayangnya. Setelah kata itu mengudara, datanglah seorang perempuan
menghampiri tuan putri.
“Fera, gue udah bilang, lo nggak boleh
jauh-jauh dari gue. Nanti gue susah manggilnya. Sekarang, lo ambilin gue air
mineral, nggak pakai lama, cepatan!” perintah sang tuan putri. Sang dayang
hanya bisa menuruti perintah tuan putri, entah apa alasannya. Yang kutahu,
sejak SMA, Fera memang selalu berada dibelakang tuan putri Sheila. Dan tak ada bedanya
sampai sekarang, Sheila tetap menjadi tuan putri yang mempunyai hak penuh atas
Fera sebagai dayangnya.
“Key, tahu nggak, kemarin gue ngambek
sama mami, dan akhirnya gue dapet tas ini.” Tuan putri mengambil sebuah tas
dari sisinya dan menampilkan dengan bangga pada teman-temannya.
“Wah, ini tas mahal Shei, lo beruntung
banget bisa dikasih tas itu,” kata salah satu teman tuan putri.
“Iya, dong. Gue kan anak satu-satunya
Hendrawan Subakti, semua yang jadi mau gue, pasti dikabulin. Nggak ada yang
nggak bisa gue dapetin didunia ini.” Ucapnya dengan penuh rasa sombong. Aku
heran, entah terbentur apa kepala besarnya tersebut, hingga akhirrnya ia
menjadi anak yang manja dan sombong seperti itu.
Aku menyantap makan siang sederhanaku
yang hanya berupa nasi, ayam goreng, lauk oseng favoritku ditambah dengan air
mineral sebagai minumannya. Tapi, aku selalu bersyukur dengan apa yang bisa
masuk kedalam tubuhku, karena aku tahu, diluar sana ada orang yang lebih tidak
beruntung dari aku.
Dan untuk berada di universitas ini, aku
sangat beruntung karena mendapatkan beasiswa. Ya, beasiswa inilah yang
menyelamatkan derajatku. Jika bukan karena beasiswa ini, aku akan sama dengan
mereka yang harus mengubur impian besarnya karena himpitan ekonomi.
“Si Fera beli minuman aja lama banget,”
gerutu sang tuan putri. Jarakku yang hanya satu meja dengan meja tuan putri, membuatku
mendengar dengan jelas apa yang menjadi titahnya. Namun, tuan putri tidak
pernah mengetahui aku memperhatikannya. Tetapi, sebenarnya bukanlah tuan putri
yang kuperhatikan, melainkan dayangnya, Fera.
Aku menyukai Fera sejak pertama kali
melihatnya, waktu perkenalan didepan kelas saat pertama kali ia masuk di kelas
yang sama denganku. Mataku tak bisa lepas bahkan tak berkedip saat ia
mengucapkan kalimat demi kalimat tentang dirinya. Pada saat itu, ia menggunakan kacamata dan
rambutnya dikuncir. Ya, aku masih sangat ingat bagaimana penampilannya dulu.
Dan sekarangpun, penampilannya tidak jauh berbeda, ia masih menggunakan kacamatanya
dan selalu menguncir rambut hitamnya. Perbedaannya, sekarang ia telah
menaburkan hiasan diwajah bulatnya. Namun, ia hanya menggunakan hiasan natural,
tidak seperti tuan putrinya yang menggunakan hiasan wajah dengan tebal hampir 2
senti.
“Ini air mineralnya, Shei. Ma’af, tadi
antriannya panjang, jadi agak lama.” Fera menyodorkan botol air mineral yang
dibawanya.
“Lo beli dimana sih minumannya? Diluar
negeri?” ucapnya dengan kasar. Fera hanya tertunduk mendengar ucapan Sheila.
“Ma’af, Shei.” Kata Fera pelan.
“Pergi sana, lo ngerusak pemandangan gue
disini.” Usir Sheila. Fera menuruti apa yang dikatakan Sheila. Sangat ingin
rasanya aku menolong Fera. Tapi, bila aku berurusan dengan Fera, maka aku juga
akan berurusan dengan Sheila.
“Dan, gue bolehkan duduk disini?” suara
itu kudengar saat aku meneguk air mineralku.
“Iya, duduk aja,” sahutku.
“Lo mau minum?” aku menawarinya air
mineral yang kusimpan. Fera menggeleng.
“Ambil aja, nggak apa-apa kok, itu nggak
ada racunnya,” aku menyodorkan kembali botol air mineralku.
“Terima kasih.” Sahutnya sambil
mengambil botol itu dari tanganku. Aku mengangguk. Kulihat wajah lelahnya, aku
sangat yakin, menuruti semua perintah Sheila bukanlah hal yang mudah.
“Fer, lo udah makan?” tanyaku. Fera
menggeleng.
“Gue nggak nafsu makan, Dan.” Ia meneguk
air mineralnya. Hampir setengah botol ia habiskan dalam satu tegukan.
“Sorry, Dan. Gue haus banget,” kata
Fera.
“Iya, nggak apa-apa. Santai aja sama
gue.” Kataku. Fera tersenyum kepadaku. Wajah lelahnya tidak mampu menutup aura
cantiknya yang terselubung selama ini.
“Ngapain lo sama anak miskin ini? Kalian
pacaran?” tiba-tiba saja terdengar teriakan Sheila, kehadirannya benar-benar
menggangguku.
“Fera, sini, lo ikut gue.” Sheila
menarik paksa tangan Fera. Fera tampak meringis kesakitan.
“Fer, Fera!” panggilku. Aku sungguh
khawatir dengan Fera. Sementara Sheila terus menarik Fera keluar dari kafe.
*********
“Lo ngapain sama mahasiswa miskin itu?”
Sheila menatap Fera dengan tatapan yang menyeramkan. Aku sengaja mengikuti
mereka dan bersembunyi dibalik dinding, aku takut Fera akan dianiaya oleh
Sheila.
“Nggak, Shei. Tadi gue cuma numpang
duduk.” Jawab Fera
“Bohong tuh, Shei, gue lihat tadi mereka
senyum-senyum. Pasti mereka ada apa-apanya.” Kata Keyla. Tentu saja hal
tersebut membuat Sheila semakin emosi.
“Nggak, Shei. Gue nggak bohong. Gue
nggak ada hubungan apa-apa sama Ardan.” Fera membela diri. Namun, rasa marah
Sheila telah berada pada puncaknya. Ia melayangkan tangannya ke pipi Fera. Fera
memegang pipinya yang tampak memerah akibat tamparan Sheila.
“Lo dikasih hati minta jantung ya, udah
untung orang tua gue mau bayarin biaya kuliah lo, lo malah pacaran. Tugas lo itu
nemenin gue, memenuhi semua keinginan gue, bukannya pacaran!” bentak Sheila.
Air mata Fera jatuh mendengar ucapan Sheila. Aku benar-benar tidak tega dengan
Fera.
“Gue bakalan kasih tahu masalah ini sama papi dan
mami, biar lo dan orang tua lo dapat hukuman dari papi,” ancam Sheila.
“Jangan, Shei, gue janji, ini nggak akan
terulang lagi.” Fera meraih tangannya dan bersujud dikakinya. Sementara Sheila
tampak tersenyum penuh kemenangan.
“Ingat ya, Fer, lo cuma pesuruh, dan
selamanya akan tetap jadi pesuruh. Tugas lo adalah memenuhi semua kemauan gue.
Jadi, jangan coba-coba buat ngelakuin hal selain yang jadi tugas lo.” Kata
Sheila. Fera mengangguk, Sheila melepaskan tangan Fera dan pergi bersama
teman-temannya.
Setelah Sheila pergi, aku menghampiri Fera
yang masih duduk dan menangis. Aku menghapus aliran air yang jatuh dari
matanya.
“Ma’afin gue ya, Fer. Gue nggak tahu
semuanya bisa jadi kayak gini.”
“Ini bukan salah lo, kok. Lo nggak perlu
minta ma’af.” kata Fera. Ia berusaha untuk tetap tersenyum.
“Gue jadi nggak enak sama lo, Fer,” ucapku.
“Udah, nggak apa-apa. Gue pergi dulu ya,
Dan.” Fera meraih tanganku yang kuulurkan untuk membantunya berdiri. Ia
tersenyum sebelum pergi meninggalkanku. Senyumnya membuatku tidak bisa lagi
menahan perasaanku.
“Fer, gue suka sama lo.” Tubuhku
bergetar saat aku menyatakan perasaanku pada Fera. Langkahnya terhenti, namun
ia tidak menoleh atau menjawab pernyataan cintaku.
“Ma’af, tapi lo udah tahu sendiri kan tugas
gue?” ia melempar pertanyaan itu tanpa menoleh kearahku.
“Gue tahu Fer, tapi gue benar-benar
suka sama lo. Setidaknya lo tahu perasaan gue.” Ucapku pelan.
“Ma’af Dan, gue benar-benar minta ma’af.
Gue nggak bisa.” Fera melanjutkan langkahnya, sedangkan aku masih diam
ditempat. Ada rasa sakit yang terasa saat mendengar kalimat terakhir yang
diucapkan Fera. Ia menolakku.
Sekarang rasa sakit itu seperti
menyerang seluruh tubuhku, aku patah hati. Ya, aku patah hati karena orang yang
kusuka sejak 2 tahun yang lalu menolakku. Rasa sakit, kesal dan kecewa
menyerangku, andai saja Fera menerimaku, aku pasti akan menolongnya saat Sheila
memberinya sebuah masalah. Tetapi…. Pikiranku menjadi tidak karuan, ingin
rasanya aku marah, tetapi itu tidak mungkin. Aku tidak bisa marah pada Fera,
karena ia tidak bersalah. Aku yakin semua ini karena Sheila. Ya, pasti Sheila
yang menyebabkan ia menolakku. Pikiranku semakin tidak karuan, dan kepalaku semakin
sakit karenanya.
Bagaimanapun, aku tetap harus
menghormati keputusan Fera, aku memutuskan untuk pulang dan tidak mengikuti
mata kuliah selanjutnya. Ada bagian dari dalam tubuhku yang perlu penyegaran. Ya,
mungkin tidur dikamarku yang menenangkan dapat menghilangkan sedikit rasa
sakitku.
*****Selesai****
Tidak ada komentar:
Posting Komentar