Minggu, 03 Mei 2015

Tantangan @Kampusiksi: #PrincessSyndrome: Aku, Dayang tercinta dan Sang Tuan Putri



“Fera…!” teriak sang tuan putri memanggil dayangnya. Setelah kata itu mengudara, datanglah seorang perempuan menghampiri tuan putri.

“Fera, gue udah bilang, lo nggak boleh jauh-jauh dari gue. Nanti gue susah manggilnya. Sekarang, lo ambilin gue air mineral, nggak pakai lama, cepatan!” perintah sang tuan putri. Sang dayang hanya bisa menuruti perintah tuan putri, entah apa alasannya. Yang kutahu, sejak SMA, Fera memang selalu berada dibelakang tuan putri Sheila. Dan tak ada bedanya sampai sekarang, Sheila tetap menjadi tuan putri yang mempunyai hak penuh atas Fera sebagai dayangnya.

“Key, tahu nggak, kemarin gue ngambek sama mami, dan akhirnya gue dapet tas ini.” Tuan putri mengambil sebuah tas dari sisinya dan menampilkan dengan bangga pada teman-temannya.

“Wah, ini tas mahal Shei, lo beruntung banget bisa dikasih tas itu,” kata salah satu teman tuan putri.


“Iya, dong. Gue kan anak satu-satunya Hendrawan Subakti, semua yang jadi mau gue, pasti dikabulin. Nggak ada yang nggak bisa gue dapetin didunia ini.” Ucapnya dengan penuh rasa sombong. Aku heran, entah terbentur apa kepala besarnya tersebut, hingga akhirrnya ia menjadi anak yang manja dan sombong seperti itu.

Aku menyantap makan siang sederhanaku yang hanya berupa nasi, ayam goreng, lauk oseng favoritku ditambah dengan air mineral sebagai minumannya. Tapi, aku selalu bersyukur dengan apa yang bisa masuk kedalam tubuhku, karena aku tahu, diluar sana ada orang yang lebih tidak beruntung dari aku.

Dan untuk berada di universitas ini, aku sangat beruntung karena mendapatkan beasiswa. Ya, beasiswa inilah yang menyelamatkan derajatku. Jika bukan karena beasiswa ini, aku akan sama dengan mereka yang harus mengubur impian besarnya karena himpitan ekonomi.

“Si Fera beli minuman aja lama banget,” gerutu sang tuan putri. Jarakku yang hanya satu meja dengan meja tuan putri, membuatku mendengar dengan jelas apa yang menjadi titahnya. Namun, tuan putri tidak pernah mengetahui aku memperhatikannya. Tetapi, sebenarnya bukanlah tuan putri yang kuperhatikan, melainkan dayangnya, Fera.

Aku menyukai Fera sejak pertama kali melihatnya, waktu perkenalan didepan kelas saat pertama kali ia masuk di kelas yang sama denganku. Mataku tak bisa lepas bahkan tak berkedip saat ia mengucapkan kalimat demi kalimat tentang dirinya.  Pada saat itu, ia menggunakan kacamata dan rambutnya dikuncir. Ya, aku masih sangat ingat bagaimana penampilannya dulu. Dan sekarangpun, penampilannya tidak jauh berbeda, ia masih menggunakan kacamatanya dan selalu menguncir rambut hitamnya. Perbedaannya, sekarang ia telah menaburkan hiasan diwajah bulatnya. Namun, ia hanya menggunakan hiasan natural, tidak seperti tuan putrinya yang menggunakan hiasan wajah dengan tebal hampir 2 senti.

“Ini air mineralnya, Shei. Ma’af, tadi antriannya panjang, jadi agak lama.” Fera menyodorkan botol air mineral yang dibawanya.

“Lo beli dimana sih minumannya? Diluar negeri?” ucapnya dengan kasar. Fera hanya tertunduk mendengar ucapan Sheila.
“Ma’af, Shei.” Kata Fera pelan.

“Pergi sana, lo ngerusak pemandangan gue disini.” Usir Sheila. Fera menuruti apa yang dikatakan Sheila. Sangat ingin rasanya aku menolong Fera. Tapi, bila aku berurusan dengan Fera, maka aku juga akan berurusan dengan Sheila.


“Dan, gue bolehkan duduk disini?” suara itu kudengar saat aku meneguk air mineralku.
“Iya, duduk aja,” sahutku.
“Lo mau minum?” aku menawarinya air mineral yang kusimpan. Fera menggeleng.
“Ambil aja, nggak apa-apa kok, itu nggak ada racunnya,” aku menyodorkan kembali botol air mineralku.
“Terima kasih.” Sahutnya sambil mengambil botol itu dari tanganku. Aku mengangguk. Kulihat wajah lelahnya, aku sangat yakin, menuruti semua perintah Sheila bukanlah hal yang mudah.
“Fer, lo udah makan?” tanyaku. Fera menggeleng.
“Gue nggak nafsu makan, Dan.” Ia meneguk air mineralnya. Hampir setengah botol ia habiskan dalam satu tegukan.
“Sorry, Dan. Gue haus banget,” kata Fera.
“Iya, nggak apa-apa. Santai aja sama gue.” Kataku. Fera tersenyum kepadaku. Wajah lelahnya tidak mampu menutup aura cantiknya yang terselubung selama ini.


“Ngapain lo sama anak miskin ini? Kalian pacaran?” tiba-tiba saja terdengar teriakan Sheila, kehadirannya benar-benar menggangguku.
“Fera, sini, lo ikut gue.” Sheila menarik paksa tangan Fera. Fera tampak meringis kesakitan.
“Fer, Fera!” panggilku. Aku sungguh khawatir dengan Fera. Sementara Sheila terus menarik Fera keluar dari kafe.

*********

“Lo ngapain sama mahasiswa miskin itu?” Sheila menatap Fera dengan tatapan yang menyeramkan. Aku sengaja mengikuti mereka dan bersembunyi dibalik dinding, aku takut Fera akan dianiaya oleh Sheila.
“Nggak, Shei. Tadi gue cuma numpang duduk.” Jawab Fera
“Bohong tuh, Shei, gue lihat tadi mereka senyum-senyum. Pasti mereka ada apa-apanya.” Kata Keyla. Tentu saja hal tersebut membuat Sheila semakin  emosi.
“Nggak, Shei. Gue nggak bohong. Gue nggak ada hubungan apa-apa sama Ardan.” Fera membela diri. Namun, rasa marah Sheila telah berada pada puncaknya. Ia melayangkan tangannya ke pipi Fera. Fera memegang pipinya yang tampak memerah akibat tamparan Sheila.
“Lo dikasih hati minta jantung ya, udah untung orang tua gue mau bayarin biaya kuliah lo, lo malah pacaran. Tugas lo itu nemenin gue, memenuhi semua keinginan gue, bukannya pacaran!” bentak Sheila. Air mata Fera jatuh mendengar ucapan Sheila. Aku benar-benar tidak tega dengan Fera.
“Gue bakalan kasih tahu masalah ini sama papi dan mami, biar lo dan orang tua lo dapat hukuman dari papi,” ancam Sheila.
“Jangan, Shei, gue janji, ini nggak akan terulang lagi.” Fera meraih tangannya dan bersujud dikakinya. Sementara Sheila tampak tersenyum penuh kemenangan.
“Ingat ya, Fer, lo cuma pesuruh, dan selamanya akan tetap jadi pesuruh. Tugas lo adalah memenuhi semua kemauan gue. Jadi, jangan coba-coba buat ngelakuin hal selain yang jadi tugas lo.” Kata Sheila. Fera mengangguk, Sheila melepaskan tangan Fera dan pergi bersama teman-temannya.

Setelah Sheila pergi, aku menghampiri Fera yang masih duduk dan menangis. Aku menghapus aliran air yang jatuh dari matanya.
“Ma’afin gue ya, Fer. Gue nggak tahu semuanya bisa jadi kayak gini.”
“Ini bukan salah lo, kok. Lo nggak perlu minta ma’af.” kata Fera. Ia berusaha untuk tetap tersenyum.
“Gue jadi nggak enak sama lo, Fer,” ucapku.
“Udah, nggak apa-apa. Gue pergi dulu ya, Dan.” Fera meraih tanganku yang kuulurkan untuk membantunya berdiri. Ia tersenyum sebelum pergi meninggalkanku. Senyumnya membuatku tidak bisa lagi menahan perasaanku.
“Fer, gue suka sama lo.” Tubuhku bergetar saat aku menyatakan perasaanku pada Fera. Langkahnya terhenti, namun ia tidak menoleh atau menjawab pernyataan cintaku.
“Ma’af, tapi lo udah tahu sendiri kan tugas gue?” ia melempar pertanyaan itu tanpa menoleh kearahku.
“Gue tahu Fer, tapi gue benar-benar suka sama lo. Setidaknya lo tahu perasaan gue.” Ucapku pelan.
“Ma’af Dan, gue benar-benar minta ma’af. Gue nggak bisa.” Fera melanjutkan langkahnya, sedangkan aku masih diam ditempat. Ada rasa sakit yang terasa saat mendengar kalimat terakhir yang diucapkan Fera. Ia menolakku.

Sekarang rasa sakit itu seperti menyerang seluruh tubuhku, aku patah hati. Ya, aku patah hati karena orang yang kusuka sejak 2 tahun yang lalu menolakku. Rasa sakit, kesal dan kecewa menyerangku, andai saja Fera menerimaku, aku pasti akan menolongnya saat Sheila memberinya sebuah masalah. Tetapi…. Pikiranku menjadi tidak karuan, ingin rasanya aku marah, tetapi itu tidak mungkin. Aku tidak bisa marah pada Fera, karena ia tidak bersalah. Aku yakin semua ini karena Sheila. Ya, pasti Sheila yang menyebabkan ia menolakku. Pikiranku semakin tidak karuan, dan kepalaku semakin sakit karenanya.

Bagaimanapun, aku tetap harus menghormati keputusan Fera, aku memutuskan untuk pulang dan tidak mengikuti mata kuliah selanjutnya. Ada bagian dari dalam tubuhku yang perlu penyegaran. Ya, mungkin tidur dikamarku yang menenangkan dapat menghilangkan sedikit rasa sakitku.

*****Selesai****

Tidak ada komentar:

Posting Komentar