Rabu, 23 Desember 2015

#NulisBarengAlumni - Cerpen: Detak jantung



Detak Jantung

Semua orang memiliki bunyi favoritnya masing-masing.
Kau bisa mendeskripsikan bunyi favoritmu sendiri.
Tetapi jika kau bertanya apa bunyi favoritku, maka bunyi yang paling indah menurutku adalah suara detak jantungnya.
Tak ada yang lebih indah dari detak jantungnya yang berdegup dengan kencang dalam pelukanku.


***

Aku dapat mendengar dengan jelas suara detak jantungnya yang berada diatas tubuhku. Tubuh kurusnya menempel seperti kertas yang diberi lem. Tangannya memelukku dengan erat. Aku masih bisa merasakan detak jantungnya yang kencang, melambat dan menjadi normal. Deru nafasnya memelan dan lebih teratur. Tanganku terulur untuk membelai rambut cokelat sebahunya. Kubelai rambut beraroma wangi sampo merek ternama tersebut. Kualihkan anak rambut yang menutupi wajah cantiknya yang sendu. Kunaikkan selimut hangat yang tertarik kebawah untuk menutupi tubuh polos kami.
 “Rasya.” Panggilnya dengan pelan. Kuusap pipinya tirusnya. Mata cokelatnya masih terpejam dan menampakkan bulu matanya yang tebal, panjang dan lentik. Hidungnya yang tidak terlalu mancung memerah akibat kecupanku. Bibirnya tampak bengkak akibat gigitan-gigitan kecil yang kulakukan. Melihat bibir merah itu membuatku menaikkan tubuhnya agar aku bisa menikmati kembali rasa manisnya. Rasanya tidak pernah berubah walaupun tak terhitung lagi berapa kali aku telah menyentuhnya.
I’m here, baby.” Bisikku. Bahkan hanya karena gerakan kecil dari tubuhnya yang ada diatasku. Aku ingin kembali mengulang kegiatan kami satu jam yang lalu.
“Aku capek.” Rengeknya yang membuatku tertawa pelan. Aku mengecup puncak kepalanya dan memeluknya dengan erat. Kupandangi wajah cantiknya tersebut, kuusap punggungnya yang berlapiskan selimut berwarna abu-abu yang senada dengan sprei yang menjadi alas tidur kami.
“Tidurlah, sayang.” Bisikku kembali. Kualihkan tubuhnya dari atas tubuhku dan kubaringkan dalam pelukanku. Aku tidak ingin berada jauh darinya. Aku ingin selalu dekat dengannya, dekat dengan detak jantungnya yang berbunyi, yang menandakan kalau ia masih disisiku.

***

Dering suara jam alarm terdengar ditelingaku. Deringan dari jam alarm tersebut membuatku mengerjapkan mata. Dengan setengah sadar kutekan tombol untuk mematikan suara yang mengganggu itu. Didepan mataku, wanita yang sangat kucintai masih memejamkan matanya. Kulihat wajahnya yang tampak pucat, kuelus kulit pipinya yang lembut. Kudekatkan tubuhnya pada tubuhku, tangannya membalas dengan memelukku erat. Kuletakkan dahiku pada dahinya, deru nafasnya dapat kurasakan diwajahku. Dengan jarak sedekat ini, kupandangi lagi wajah cantiknya. Sesekali kulihat matanya menutup dengan erat dan nafasnya berhembus dengan berat seperti menahan sakit. Kekhawatiran dan ketakutan menyelimutiku seketika. Kuelus kembali pipinya yang membuat mata cokelatnya terbuka.
“Kau baik-baik saja?” ia mengangguk dengan pelan. Tubuhnya mendekat padaku, ia menyandarkan kepalanya didadaku. Kuusap punggungnya, ketakutanku bertambah saat ia memelukku dengan erat.
“Kau yakin baik-baik saja?” kuraih tangannya. Kuletakkan ibu jariku ditempat urat nadinya berada. Kutekan ibu jariku agar aku bisa merasakan denyut nadinya. Denyutnya terasa sangat lemah. Kulepaskan pelukannya, kudekatkan telingaku pada dadanya. Bunyi indah itu juga terdengar lemah.
“Detak jantungmu hampir tak terdengar, Sya.” Aku menelan salivaku. Bayangan terburuk tentang keadaannya melintas dikepalaku.
“Aku baik-baik saja.” Suaranya terdengar sangat pelan, hampir tak terdengar.
“Ma’afkan aku, seharusnya aku bisa menahan diriku dan kita tidak melakukannya tadi malam.” Ia menggeleng, wanitaku kembali mendekatkan tubuhnya padaku. Memelukku seakan-akan tidak menginginkanku untuk pergi. Walaupun kenyataannya, mungkin ialah yang akan pergi.
“Aku senang melakukannya denganmu.” Kata-katanya membuat sedikit ketakutanku menghilang dan berganti dengan rasa bahagia. Kami melakukannya karena kami saling mencintai, bahkan sangat mencintai.
“Istirahatlah. Aku akan memasak untuk sarapan kita.” Ia mengangguk. Dengan enggan kulepaskan tubuhku dari tubuhnya. Kukecup keningnya dan kubiarkan selimut yang menggantikan tugasku menghangatkannya.
Aku meraih celana pendekku dan memasangnya, mataku masih tertuju pada wanita yang berbaring diatas ranjangku. Aku berjalan keluar dari kamar menuju dapur. Mengambil beberapa bahan untuk membuat nasi goreng dari kulkas. Aku mengeluarkan sosis, sawi dan kol lalu memotongnya.
Selesai memotong sosis, sawi dan kol, aku menyalakan kompor. Kuletakkan wajan diatas kompor, kumasukkan sedikit margarin kedalam wajan. Setelah meleleh, kumasukkan potongan sosis, sawi dan kol kedalam wajan yang berisi margarin tersebut. 2 menit kemudian kumasukkan nasi kedalam wajan dan mulai mengaduknya agar menyatu dengan sosis, sawi dan kol. Lalu kumasukkan bumbu nasi goreng instan yang selalu tersedia didapurku untuk memudahkanku setiap kali memasak nasi goreng. Kuaduk dengan pelan nasi tersebut, hingga akhirnya nasi goreng buatanku telah matang. Kuambil sebuah piring berbentuk segiempat, kualihkan nasi goreng dari wajan keatas piring tersebut. Aku memang lebih senang sepiring berdua dengannya. Kuambil pula 2 buah gelas, mengisinya dengan air putih dari pitcher. Kuambil nampan berwarna biru muda berukuran besar, kuletakkan piring dan gelas keatas nampan. Kubawa nampan itu ke kamarku.
Kuusap pipi wanitaku, matanya masih terpejam. Wajahnya selalu terlihat cantik dimataku dalam keadaan apapun. Bahunya mulai bergerak, mungkin ia merasa terganggu dengan sentuhanku. Aku tersenyum melihatnya yang mulai membuka mata. Dengan tipis, ia membalas senyumanku. Kuhadiahi bibirnya sebuah kecupan singkat. Kudekatkan telingaku kedadanya, detak jantungnya mengalun dengan pelan. Namun bunyinya terdengar lebih kuat daripada sebelumnya.
“Sya, aku mau duduk.” Aku mengangguk. Aku membantunya untuk bangun dan menyandarkannya di headboard. Ia menarik selimut untuk menutupi dada polosnya. Kuraih kaos polos milikku yang tergeletak diujung ranjang, kupasangkan kaos tersebut ditubuhnya. Kuraih nampan yang kuletakkan diatas meja dekat ranjang. Kuambil piring yang berisi nasi goreng dan kuletakkan dipangkuanku.
“Makan dulu ya, sayang. Baru minum obat.” Ia mengangguk. Kuraih sendok yang berisi nasi goreng, dan kuarahkan kemulutnya. Mulutnya menyambut sendok yang kuarahkan tersebut, kudorong dengan pelan dan kutarik kembali setelah nasi goreng yang berada disendok beralih kedalam mulutnya. Ia mulai mengunyah nasi goreng tersebut dengan pelan.
Setelah menelan kurang dari 10 suapan, ia menolak saat suapan berikutnya. Kuletakkan piring nasi goreng tersebut diatas meja. Kuraih gelas berisi air putih, kusodorkan kedepan bibirnya. Sedikit kudorong keatas gelas tersebut untuk memudahkannya minum. Setelah beberapa tegukan, aku menarik gelasnya dan meletakkan diatas meja. Kubuka laci lemari, kuraih bungkusan yang berisi beberapa bahan kimia yang membuat detak jantungnya dapat bertahan. Kubuka satu persatu bungkus obat tersebut. Ada 5 jenis obat berbentuk lingkaran dengan ukuran yang berbeda. 2 obat dengan ukuran kecil, 1 obat dengan ukuran sedang dan 2 obat dengan ukuran besar. Aku tidak bisa menerka bagaimana rasanya meminum obat-obatan ini setiap harinya.
Kuraih kembali gelas berisi air yang kuletakkan tadi, kudekatkan tangan kiriku yang berisi 5 butir obat padanya. Ia meraih dua obat berukuran kecil dan meminumnya sekaligus. Kuserahkan gelas yang ada ditanganku padanya, ia mengambil gelas tersebut dan bergegas meminumnya. Kulihat wajahnya meringis, mungkin karena obat tersebut pahit. Ia kembali meraih obat dengan ukuran sedang dan meminumnya. Dan yang terakhir. ia meraih satu persatu obat dengan ukuran besar lalu meminumnya. Ia meneguk air hingga gelasnya kosong. Ada aliran air disudut bibirnya. Kuhapus aliran air tersebut dengan ibu jariku.
Detik berikutnya, aku dapat melihat dengan jelas dadanya yang naik turun. Ia memejamkan matanya, tangannya berada di dada, dimana ada organ penting didalamnya. Kepanikan langsung menyerangku, kudekati tubuhnya. Tanganku menggenggam jemarinya yang berada didadanya, ringisan terlihat jelas diwajahnya. Demi apapaun, hilangkan sakit itu darinya, Tuhan.
“Sayang, kau baik-baik saja?” tak ada jawaban darinya. Tangan kananku menggenggam tangannya, sedangkan tangan kiriku mengelus wajahnya yang semakin memucat.
“Sayang, kumohon. Kau akan baik-baik saja.” Syaraf dikepalaku memberi perintah agar aku menghubungi dokter. Kuraih telepon genggamku dan langsung membuka riwayat panggilan. Ada nama Dokter Anita paling atas, kutekan tombol untuk menghubungkanku dengan dokter Anita.
“Dokter, tolong datang kerumah sekarang. Cepat Dokter, istri saya membutuhkan Anda.” Kuucapkan kalimat tersebut saat teleponku tersambung. Tanpa basa-basi kututup sambungan teleponnya. Kuletakkan kembali teleponku keatas meja. Pandanganku beralih pada wanita yang ada didepanku dengan wajah yang semakin pucat.
“Bertahanlah, sayang. Kumohon. Demi aku, bertahanlah.” Bisikku. Kudekap erat tubuhnya yang mulai gemetar.
 Kupandangi wajahnya, air mata mulai mengalir dipipinya. Kuhapus aliran air tersebut, kukecup keningnya. Kuletakkan tanganku didadanya, dapat kurasakan jantungnya berdetak dengan cepat namun terasa mulai melemah. Tubuhnya kudekap dengan erat. Aku benar-benar tidak ingin kehilangannya hari ini.
“Sya, aku mencintaimu.” Ucapnya dengan pelan.  Aku memejamkan mataku. Ini bukan pertama kali ia mengatakannya, namun tetap saja hatiku merasa melayang setiap mendengar ia mengatakan kata sakral tersebut.
I know, love. And I love you more.” Mataku tidak pernah lepas dari wajahnya dan tanganku menggenggam erat tangannya yang sedang memegang dadanya. Aku melihat kalau ia tersenyum tipis. Mata coklatnya terbuka dan menatapku dengan sendu.
I know it, baby. Tetapi kau harus tetap berbahagia tanpa aku.” Aku menggeleng. Kutangkup wajahnya, kutatap mata cokelatnya yang berkaca-kaca.
My happiness is you, love. Tak ada yang bisa membuatku bahagia selain kamu.” Ia menggeleng dengan pelan. Matanya membalas tatapanku.
“Aku tidak ingin membuatmu menderita karena kepergianku, Sya. Bahagiamu adalah bahagiaku.” Aku menggeleng. Bagiku, tidak ada kebahagiaan lain selain dirinya.
“Nggak, sayang. Kamulah kebahagianku. Nggak akan ada kebahagiaan yang lain, selamanya.” Ia tidak lagi membalas ucapanku. Ringisan diwajahnya semakin tampak dengan jelas. Tangannya mencengkram erat dadanya. Kepanikanku bertambah saat bibirnya mulai berteriak kesakitan.
“Sayang? Reisya? Bertahanlah, sayang. Aku mohon.” Air mataku mulai mengalir. Setiap teriakan kesakitan yang keluar dari bibirnya membuat air mataku semakin menetes. Aku menyumpahi Dokter Anita yang tak kunjung datang. Bibirku terus mengucapkan kata ‘bertahan’ untuknya.
Semuanya terasa kosong saat bibirnya terkatup dan berhenti mengeluarkan suara. Mata cokelatnya menutup dan memperlihatkan bulu matanya yang lentik. Dan tangannya, tangannya melemah dan jatuh dalam genggamanku. Kudekatkan telingaku pada dadanya, jantungku berdetak dengan kencang saat aku tidak bisa lagi mendengar bunyi indah tersebut. Aku tidak dapat lagi mendengar detak jantungnya. Bersamaan dengan air mataku yang mulai turun, kulihat pintu kamar mulai terbuka dan Dokter Anita masuk bersama pengurus rumah tanggaku. Aku tidak dapat lagi bersuara. Sedangkan dokter Anita mulai mengeluarkan stetoskopnya, meletakkan bagian berbentuk bulat didada wanitaku dan memasangkan sisi lainnya ditelinganya. Setelah selesai memeriksa, Dokter Anita menatapku dengan wajah sedih, aku tahu kalimat yang akan dikatakannya. Kalimat yang menghantuiku selama 3 bulan ini. Kalimat yang paling tidak ingin kudengar.
“Tidak. Dia tidak pergi, dia masih disini.” Aku memeluk tubuhnya dengan erat. Tidak perduli dengan suara-suara lain yang mulai terdengar ditelingaku. Tetapi, telingaku masih bisa mendengar ucapan Dokter Anita yang memukulku begitu dalam.
“Ma’af, Pak. Rasya. Bu Reisya tidak terselamatkan.”

***

Reisya Amanda, wanita berparas cantik yang memiliki nama hampir sama denganku.
Cinta pertama dan terakhirku.
Cinta yang bermula saat aku mendengar detak jantungnya yang berbeda diumurku yang ke-15, yang membawaku pada sebuah kenyataan menyakitkan 7 tahun kemudian.
Reisya mengidap kelainan jantung dan tidak akan bertahan lama.
Kedatangannya setelah pergi selama 7 tahun, membuatku mengikatnya tanpa memperdulikan keadaannya. Aku tidak ingin kehilangannya lagi.
Dan hari ini, hari dimana mimpi burukku menjadi kenyataan. Hari dimana bunyi favoritku tidak dapat lagi kudengar. Hari dimana detak jantungnya berhenti dipelukanku.
Dan aku akan segera menyusulnya.
See you soon in heaven, love.

***SELESAI***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar