Detak Jantung
Semua orang memiliki bunyi favoritnya
masing-masing.
Kau bisa mendeskripsikan bunyi favoritmu
sendiri.
Tetapi jika kau bertanya apa bunyi
favoritku, maka bunyi yang paling indah menurutku adalah suara detak
jantungnya.
Tak ada yang lebih indah dari detak
jantungnya yang berdegup dengan kencang dalam pelukanku.
***
Aku dapat mendengar dengan jelas suara
detak jantungnya yang berada diatas tubuhku. Tubuh kurusnya menempel seperti
kertas yang diberi lem. Tangannya memelukku dengan erat. Aku masih bisa
merasakan detak jantungnya yang kencang, melambat dan menjadi normal. Deru
nafasnya memelan dan lebih teratur. Tanganku terulur untuk membelai rambut
cokelat sebahunya. Kubelai rambut beraroma wangi sampo merek ternama tersebut.
Kualihkan anak rambut yang menutupi wajah cantiknya yang sendu. Kunaikkan selimut
hangat yang tertarik kebawah untuk menutupi tubuh polos kami.
“Rasya.” Panggilnya dengan pelan. Kuusap
pipinya tirusnya. Mata cokelatnya masih terpejam dan menampakkan bulu matanya
yang tebal, panjang dan lentik. Hidungnya yang tidak terlalu mancung memerah
akibat kecupanku. Bibirnya tampak bengkak akibat gigitan-gigitan kecil yang
kulakukan. Melihat bibir merah itu membuatku menaikkan tubuhnya agar aku bisa
menikmati kembali rasa manisnya. Rasanya tidak pernah berubah walaupun tak
terhitung lagi berapa kali aku telah menyentuhnya.
“I’m
here, baby.” Bisikku. Bahkan hanya karena gerakan kecil dari tubuhnya yang
ada diatasku. Aku ingin kembali mengulang kegiatan kami satu jam yang lalu.
“Aku capek.” Rengeknya yang membuatku
tertawa pelan. Aku mengecup puncak kepalanya dan memeluknya dengan erat.
Kupandangi wajah cantiknya tersebut, kuusap punggungnya yang berlapiskan
selimut berwarna abu-abu yang senada dengan sprei yang menjadi alas tidur kami.
“Tidurlah, sayang.” Bisikku kembali.
Kualihkan tubuhnya dari atas tubuhku dan kubaringkan dalam pelukanku. Aku tidak
ingin berada jauh darinya. Aku ingin selalu dekat dengannya, dekat dengan detak
jantungnya yang berbunyi, yang menandakan kalau ia masih disisiku.
***
Dering suara jam alarm terdengar
ditelingaku. Deringan dari jam alarm tersebut membuatku mengerjapkan mata. Dengan
setengah sadar kutekan tombol untuk mematikan suara yang mengganggu itu.
Didepan mataku, wanita yang sangat kucintai masih memejamkan matanya. Kulihat
wajahnya yang tampak pucat, kuelus kulit pipinya yang lembut. Kudekatkan
tubuhnya pada tubuhku, tangannya membalas dengan memelukku erat. Kuletakkan
dahiku pada dahinya, deru nafasnya dapat kurasakan diwajahku. Dengan jarak
sedekat ini, kupandangi lagi wajah cantiknya. Sesekali kulihat matanya menutup
dengan erat dan nafasnya berhembus dengan berat seperti menahan sakit. Kekhawatiran
dan ketakutan menyelimutiku seketika. Kuelus kembali pipinya yang membuat mata
cokelatnya terbuka.
“Kau baik-baik saja?” ia mengangguk
dengan pelan. Tubuhnya mendekat padaku, ia menyandarkan kepalanya didadaku.
Kuusap punggungnya, ketakutanku bertambah saat ia memelukku dengan erat.
“Kau yakin baik-baik saja?” kuraih
tangannya. Kuletakkan ibu jariku ditempat urat nadinya berada. Kutekan ibu
jariku agar aku bisa merasakan denyut nadinya. Denyutnya terasa sangat lemah.
Kulepaskan pelukannya, kudekatkan telingaku pada dadanya. Bunyi indah itu juga terdengar
lemah.
“Detak jantungmu hampir tak terdengar,
Sya.” Aku menelan salivaku. Bayangan terburuk tentang keadaannya melintas
dikepalaku.
“Aku baik-baik saja.” Suaranya terdengar
sangat pelan, hampir tak terdengar.
“Ma’afkan aku, seharusnya aku bisa
menahan diriku dan kita tidak melakukannya tadi malam.” Ia menggeleng, wanitaku
kembali mendekatkan tubuhnya padaku. Memelukku seakan-akan tidak menginginkanku
untuk pergi. Walaupun kenyataannya, mungkin ialah yang akan pergi.
“Aku senang melakukannya denganmu.”
Kata-katanya membuat sedikit ketakutanku menghilang dan berganti dengan rasa
bahagia. Kami melakukannya karena kami saling mencintai, bahkan sangat
mencintai.
“Istirahatlah. Aku akan memasak untuk
sarapan kita.” Ia mengangguk. Dengan enggan kulepaskan tubuhku dari tubuhnya.
Kukecup keningnya dan kubiarkan selimut yang menggantikan tugasku
menghangatkannya.
Aku meraih celana pendekku dan
memasangnya, mataku masih tertuju pada wanita yang berbaring diatas ranjangku. Aku
berjalan keluar dari kamar menuju dapur. Mengambil beberapa bahan untuk membuat
nasi goreng dari kulkas. Aku mengeluarkan sosis, sawi dan kol lalu memotongnya.
Selesai memotong sosis, sawi dan kol,
aku menyalakan kompor. Kuletakkan wajan diatas kompor, kumasukkan sedikit
margarin kedalam wajan. Setelah meleleh, kumasukkan potongan sosis, sawi dan
kol kedalam wajan yang berisi margarin tersebut. 2 menit kemudian kumasukkan
nasi kedalam wajan dan mulai mengaduknya agar menyatu dengan sosis, sawi dan
kol. Lalu kumasukkan bumbu nasi goreng instan yang selalu tersedia didapurku
untuk memudahkanku setiap kali memasak nasi goreng. Kuaduk dengan pelan nasi
tersebut, hingga akhirnya nasi goreng buatanku telah matang. Kuambil sebuah
piring berbentuk segiempat, kualihkan nasi goreng dari wajan keatas piring
tersebut. Aku memang lebih senang sepiring berdua dengannya. Kuambil pula 2
buah gelas, mengisinya dengan air putih dari pitcher. Kuambil nampan berwarna biru muda berukuran besar,
kuletakkan piring dan gelas keatas nampan. Kubawa nampan itu ke kamarku.
Kuusap pipi wanitaku, matanya masih
terpejam. Wajahnya selalu terlihat cantik dimataku dalam keadaan apapun.
Bahunya mulai bergerak, mungkin ia merasa terganggu dengan sentuhanku. Aku
tersenyum melihatnya yang mulai membuka mata. Dengan tipis, ia membalas
senyumanku. Kuhadiahi bibirnya sebuah kecupan singkat. Kudekatkan telingaku
kedadanya, detak jantungnya mengalun dengan pelan. Namun bunyinya terdengar
lebih kuat daripada sebelumnya.
“Sya, aku mau duduk.” Aku mengangguk.
Aku membantunya untuk bangun dan menyandarkannya di headboard. Ia menarik selimut untuk menutupi dada polosnya. Kuraih
kaos polos milikku yang tergeletak diujung ranjang, kupasangkan kaos tersebut ditubuhnya.
Kuraih nampan yang kuletakkan diatas meja dekat ranjang. Kuambil piring yang
berisi nasi goreng dan kuletakkan dipangkuanku.
“Makan dulu ya, sayang. Baru minum
obat.” Ia mengangguk. Kuraih sendok yang berisi nasi goreng, dan kuarahkan
kemulutnya. Mulutnya menyambut sendok yang kuarahkan tersebut, kudorong dengan
pelan dan kutarik kembali setelah nasi goreng yang berada disendok beralih
kedalam mulutnya. Ia mulai mengunyah nasi goreng tersebut dengan pelan.
Setelah menelan kurang dari 10 suapan,
ia menolak saat suapan berikutnya. Kuletakkan piring nasi goreng tersebut
diatas meja. Kuraih gelas berisi air putih, kusodorkan kedepan bibirnya.
Sedikit kudorong keatas gelas tersebut untuk memudahkannya minum. Setelah
beberapa tegukan, aku menarik gelasnya dan meletakkan diatas meja. Kubuka laci
lemari, kuraih bungkusan yang berisi beberapa bahan kimia yang membuat detak
jantungnya dapat bertahan. Kubuka satu persatu bungkus obat tersebut. Ada 5
jenis obat berbentuk lingkaran dengan ukuran yang berbeda. 2 obat dengan ukuran
kecil, 1 obat dengan ukuran sedang dan 2 obat dengan ukuran besar. Aku tidak
bisa menerka bagaimana rasanya meminum obat-obatan ini setiap harinya.
Kuraih kembali gelas berisi air yang
kuletakkan tadi, kudekatkan tangan kiriku yang berisi 5 butir obat padanya. Ia
meraih dua obat berukuran kecil dan meminumnya sekaligus. Kuserahkan gelas yang
ada ditanganku padanya, ia mengambil gelas tersebut dan bergegas meminumnya.
Kulihat wajahnya meringis, mungkin karena obat tersebut pahit. Ia kembali
meraih obat dengan ukuran sedang dan meminumnya. Dan yang terakhir. ia meraih
satu persatu obat dengan ukuran besar lalu meminumnya. Ia meneguk air hingga
gelasnya kosong. Ada aliran air disudut bibirnya. Kuhapus aliran air tersebut
dengan ibu jariku.
Detik berikutnya, aku dapat melihat
dengan jelas dadanya yang naik turun. Ia memejamkan matanya, tangannya berada
di dada, dimana ada organ penting didalamnya. Kepanikan langsung menyerangku,
kudekati tubuhnya. Tanganku menggenggam jemarinya yang berada didadanya, ringisan
terlihat jelas diwajahnya. Demi apapaun, hilangkan sakit itu darinya, Tuhan.
“Sayang, kau baik-baik saja?” tak ada
jawaban darinya. Tangan kananku menggenggam tangannya, sedangkan tangan kiriku
mengelus wajahnya yang semakin memucat.
“Sayang, kumohon. Kau akan baik-baik
saja.” Syaraf dikepalaku memberi perintah agar aku menghubungi dokter. Kuraih
telepon genggamku dan langsung membuka riwayat panggilan. Ada nama Dokter Anita
paling atas, kutekan tombol untuk menghubungkanku dengan dokter Anita.
“Dokter, tolong datang kerumah sekarang.
Cepat Dokter, istri saya membutuhkan Anda.” Kuucapkan kalimat tersebut saat
teleponku tersambung. Tanpa basa-basi kututup sambungan teleponnya. Kuletakkan
kembali teleponku keatas meja. Pandanganku beralih pada wanita yang ada
didepanku dengan wajah yang semakin pucat.
“Bertahanlah, sayang. Kumohon. Demi aku,
bertahanlah.” Bisikku. Kudekap erat tubuhnya yang mulai gemetar.
Kupandangi wajahnya, air mata mulai mengalir
dipipinya. Kuhapus aliran air tersebut, kukecup keningnya. Kuletakkan tanganku
didadanya, dapat kurasakan jantungnya berdetak dengan cepat namun terasa mulai
melemah. Tubuhnya kudekap dengan erat. Aku benar-benar tidak ingin
kehilangannya hari ini.
“Sya, aku mencintaimu.” Ucapnya dengan
pelan. Aku memejamkan mataku. Ini bukan
pertama kali ia mengatakannya, namun tetap saja hatiku merasa melayang setiap
mendengar ia mengatakan kata sakral tersebut.
“I
know, love. And I love you more.” Mataku tidak pernah lepas dari wajahnya
dan tanganku menggenggam erat tangannya yang sedang memegang dadanya. Aku
melihat kalau ia tersenyum tipis. Mata coklatnya terbuka dan menatapku dengan
sendu.
“I
know it, baby. Tetapi kau harus tetap berbahagia tanpa aku.” Aku
menggeleng. Kutangkup wajahnya, kutatap mata cokelatnya yang berkaca-kaca.
“My
happiness is you, love. Tak ada yang bisa membuatku bahagia selain kamu.”
Ia menggeleng dengan pelan. Matanya membalas tatapanku.
“Aku tidak ingin membuatmu menderita
karena kepergianku, Sya. Bahagiamu adalah bahagiaku.” Aku menggeleng. Bagiku, tidak
ada kebahagiaan lain selain dirinya.
“Nggak, sayang. Kamulah kebahagianku.
Nggak akan ada kebahagiaan yang lain, selamanya.” Ia tidak lagi membalas
ucapanku. Ringisan diwajahnya semakin tampak dengan jelas. Tangannya
mencengkram erat dadanya. Kepanikanku bertambah saat bibirnya mulai berteriak
kesakitan.
“Sayang? Reisya? Bertahanlah, sayang.
Aku mohon.” Air mataku mulai mengalir. Setiap teriakan kesakitan yang keluar
dari bibirnya membuat air mataku semakin menetes. Aku menyumpahi Dokter Anita
yang tak kunjung datang. Bibirku terus mengucapkan kata ‘bertahan’ untuknya.
Semuanya terasa kosong saat bibirnya
terkatup dan berhenti mengeluarkan suara. Mata cokelatnya menutup dan
memperlihatkan bulu matanya yang lentik. Dan tangannya, tangannya melemah dan
jatuh dalam genggamanku. Kudekatkan telingaku pada dadanya, jantungku berdetak
dengan kencang saat aku tidak bisa lagi mendengar bunyi indah tersebut. Aku
tidak dapat lagi mendengar detak jantungnya. Bersamaan dengan air mataku yang
mulai turun, kulihat pintu kamar mulai terbuka dan Dokter Anita masuk bersama
pengurus rumah tanggaku. Aku tidak dapat lagi bersuara. Sedangkan dokter Anita
mulai mengeluarkan stetoskopnya, meletakkan bagian berbentuk bulat didada
wanitaku dan memasangkan sisi lainnya ditelinganya. Setelah selesai memeriksa, Dokter
Anita menatapku dengan wajah sedih, aku tahu kalimat yang akan dikatakannya.
Kalimat yang menghantuiku selama 3 bulan ini. Kalimat yang paling tidak ingin
kudengar.
“Tidak. Dia tidak pergi, dia masih
disini.” Aku memeluk tubuhnya dengan erat. Tidak perduli dengan suara-suara
lain yang mulai terdengar ditelingaku. Tetapi, telingaku masih bisa mendengar
ucapan Dokter Anita yang memukulku begitu dalam.
“Ma’af, Pak. Rasya. Bu Reisya tidak
terselamatkan.”
***
Reisya Amanda, wanita berparas cantik
yang memiliki nama hampir sama denganku.
Cinta pertama dan terakhirku.
Cinta yang bermula saat aku mendengar
detak jantungnya yang berbeda diumurku yang ke-15, yang membawaku pada sebuah
kenyataan menyakitkan 7 tahun kemudian.
Reisya mengidap kelainan jantung dan
tidak akan bertahan lama.
Kedatangannya setelah pergi selama 7
tahun, membuatku mengikatnya tanpa memperdulikan keadaannya. Aku tidak ingin kehilangannya lagi.
Dan hari ini, hari dimana mimpi burukku
menjadi kenyataan. Hari dimana bunyi favoritku tidak dapat lagi kudengar. Hari dimana
detak jantungnya berhenti dipelukanku.
Dan aku akan segera menyusulnya.
“See
you soon in heaven, love.”
***SELESAI***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar