Minggu, 19 April 2015

Tantangan #KampusFiksi: #FiksiRacun - Don't Leave Me, Please....



Melihatmu terbaring tak bergerak sedikitpun membuatku sangat terluka. Sudah dua hari aku tidak melihat senyummu, sudah dua hari pula aku tak mendengar sapaan lembutmu setiap paginya. Wajahmu tetap terlihat indah walaupun kau sedang koma akibat racun yang kau minum. Aku sangat menyesal membiarkanmu meminum coklat hangat yang telah dibubuhi racun itu, dan yang lebih parahnya lagi aku tidak tahu siapa yang telah memasukkan racun tersebut. Andai saja aku tahu, aku tidak akan melepaskan orang tersebut. Akan kuberikan racun yang paling mematikan untuk membalas perbuatannya yang telah membuat bidadariku menjadi seperti ini.

“Apa dia belum sadar, Josh?” aku menengok kearah asal suara itu.
“Belum. Aku tidak tahu sampai kapan Jelia bisa bertahan.” Anya menarik kursi dan duduk disampingku. Tanganku tak pernah lepas menggenggam tangan dingin Jelia.
“Aku tidak habis pikir pada orang yang telah meracuni Jelia. Entah apa yang ia inginkan dari Jelia.” Aku mengusap rambut hitam Jelia dan menyibak rambut pendek yang menutupi wajahnya.
“Mungkin orang itu menginginkan apa yang dimiliki oleh Jelia.” Kata Anya.
“Apa maksudmu?” aku menatap Anya penuh tanda tanya.
“Bukan apa-apa. Mungkin ada orang yang tidak menyukai Jelia.” Anya mengubah pernyataannya.
“Mungkin saja. Padahal aku telah memutuskan untuk melamarnya.” Aku mengeluarkan kotak kecil berwarna biru tua dari saku celanaku. Sebuah cincin berhiaskan permata berwarna biru tersimpan rapi dalam kotak tersebut. Aku memang berencana melamarnya dua hari yang lalu. Namun gara-gara coklat hangat beracun itu, gagallah rencana yang telah kususun jauh-jauh hari tersebut.
“Mungkin kau belum beruntung. Aku do’akan Jelia cepat sadar dari komanya.” Anya menepuk pundakku dan bangkit dari kursi yang ia duduki. Kesadaran Jelialah yang memang aku harapkan. Sejak mengenal Jelia akhir tahun lalu, aku telah jatuh hati padanya. Dialah wanita yang membuatku bisa melupakan Rachel, wanita dari masa laluku yang telah menghancurkan hidupku.

“Jelia, bangunlah. Aku mohon. Aku tak bisa tanpamu, Jelia. Melihatmu seperti ini, rasa sakit yang kurasakan melebihi rasa sakit saat ratusan cambuk menyentuh kulitku. Kumohon, Jelia, sadarlah. Aku sangat mencintaimu.” Bisikku. Namun kata-kata itu tetap tidak menyadarkannya. Beberapa kali telah kubisikkan kata-kata tersebut, namun Jelia tetap tak bergerak sedikitpun. Aku menyeka air mataku,  aku mengecup kening hitam Jelia. Ia sangat senang saat aku mengecup keningnya. Hanya ini yang bisa kulakukan sambil terus berharap Jelia akan sadar.

*****

Kini rasa dingin mulai menyerang, aku masih setia menunggu Jelia sadar. Aku menarik selimut yang menutupi tubuh Jelia agar dapat menutupi seluruh tubuhnya. Lagi-lagi aku terpaku melihat wajahnya yang tampak semakin pucat. Aku kembali mengelus pipi putihnya, menyentuh bibirnya, dan mengusap rambut hitamnya.
“Apa kau sudah makan, Josh?” seorang wanita tua menyapaku. Dia adalah Ibu Jelia. Dia juga tak henti-henti berharap sama sepertiku.
“Sudah, Bu. Apa Ibu juga sudah makan?” tanyaku.
“Ibu sudah makan, Josh. Beristirahatlah, kau pasti sangat lelah. Biar Ibu yang menemani Jelia.” Tangan renta Ibu Jelia menyentuh bahuku.
“Tidak, Bu. Lebih baik Ibu yang beristirahat.” Senyum tampak menghiasi wajah tuanya, walaupun aku sangat tahu, hati kecilnya sedang menjerit karena anak kesayangannya tak kunjung sadar.
“Bagaimana dengan pekerjaanmu yang kau tinggalkan, Josh?” tanya beliau.
“Tidak apa-apa, Bu. Aku telah meminta cuti sampai Jelia sadar.”
“Ini pasti sangat merepotkanmu. Kau belum berhak mengurus Jelia, Josh. Mengurus Jelia masih tanggung jawab Ibu.” Wanita itu mulai mengajakku berdebat lagi.
“Bu, bukankah kemarin sudah kukatakan, walaupun Jelia masih menjadi tanggung jawab Ibu, aku ingin ikut mengurusnya. Jelia telah menjadi bagian hidupku, Bu. Aku tidak bisa meninggalkannya.” Kataku.
“Terima kasih, Josh, untuk cintamu yang luar biasa untuk Jelia.” Tiba-tiba saja detak jantung Jelia menurun, aku terus memanggil-manggil Jelia, sedangkan Ibu keluar memanggil perawat dan dokter. Dokter meminta kami menunggu diluar. Selama menunggu, aku terus mondar-mandir didepan kamar, aku sangat cemas dengan keadaan Jelia. Sesekali aku mengintip lewat kaca pintu melihat bagaimana keadaan Jelia.

“Bagaimana keadaan Jelia, Dok?” tanyaku setelah Dokter keluar dari kamar.
“Mohon ma’af, pasien mengalami kritis. Tetapi jika dia bisa bertahan malam ini, kemungkinan besar ia bisa bertahan untuk seterusnya.” Kata Dokter.

Rasanya hatiku sangat hancur mendengar pernyataan dokter tersebut. Aku menyandarkan kepalaku didinding, tangisku pecah bersamaan dengan Ibu Jelia. Kakiku terasa lemah saat kulangkahkan menuju ranjang Jelia. Aku mengecup kening Jelia, tangisku kembali pecah didepan Jelia yang sedang kritis.

“Kumohon Jelia, sadarlah. Aku benar-benar tidak bisa tanpamu.” Bisikku. Namun, Jelia hanya diam, tak pernah membalas ucapanku sedikitpun.

Malam semakin larut, Aku terus memegang tangan Jelia dan terus memandanginya. Dikepalaku, terbayang kembali kenangan saat aku dan Jelia sedang bersama. Ia sering memanggilku dengan sebutan “Pria Culas” karena aku sering berbuat curang saat bermain catur dengannya. Kuakui, dia sangat hebat dalam bermain catur. Dan kini semua kenangan itu tinggallah kenangan. Dan untuk kesekian kalinya, air mataku jatuh karena Jelia.

“Jelia, kumohon, bertahanlah. Kau harus bangun, Jelia.” ucapku sambil terisak. Aku melihat ke layar yang ada disampingku, detak jantung Jelia semakin menurun. Aku bergegas memanggil dokter, tidak lama kemudian dokter dan dua orang perawat datang. Ibu menghampiriku dan menanyakan keadaan Jelia. Kukatakan bahwa detak jantung Jelia semakin menurun. Kini kami benar-benar sangat cemas dengan keadaan Jelia.

“Ma’af, kami sudah berusaha. Jelia tidak bisa bertahan. Kami turut berduka cita.” kata dokter.
Aku menangis sejadi-jadinya dan berlari kearah Jelia, aku memeluk tubuh dinginnya. Aku tidak menyangka harus kehilangannya malam ini. Ibu mencium Jelia dan membelai rambutnya,  tangispun menghiasi wajah Ibu.

“Jelia, Kau tetap wanita yang tak akan tergantikan dihatiku. Walaupun sekarang kau sudah pergi, aku akan tetap mencintaimu, Jelia.” Bisikku pada Jelia untuk terakhir kalinya.

***Selesai****

Tidak ada komentar:

Posting Komentar