Melihatmu terbaring tak bergerak
sedikitpun membuatku sangat terluka. Sudah dua hari aku tidak melihat senyummu,
sudah dua hari pula aku tak mendengar sapaan lembutmu setiap paginya. Wajahmu
tetap terlihat indah walaupun kau sedang koma akibat racun yang kau minum. Aku
sangat menyesal membiarkanmu meminum coklat hangat yang telah dibubuhi racun itu,
dan yang lebih parahnya lagi aku tidak tahu siapa yang telah memasukkan racun
tersebut. Andai saja aku tahu, aku tidak akan melepaskan orang tersebut. Akan
kuberikan racun yang paling mematikan untuk membalas perbuatannya yang telah
membuat bidadariku menjadi seperti ini.
“Apa dia belum sadar, Josh?” aku
menengok kearah asal suara itu.
“Belum. Aku tidak tahu sampai kapan
Jelia bisa bertahan.” Anya menarik kursi dan duduk disampingku. Tanganku tak
pernah lepas menggenggam tangan dingin Jelia.
“Aku tidak habis pikir pada orang yang
telah meracuni Jelia. Entah apa yang ia inginkan dari Jelia.” Aku mengusap
rambut hitam Jelia dan menyibak rambut pendek yang menutupi wajahnya.
“Mungkin orang itu menginginkan apa yang
dimiliki oleh Jelia.” Kata Anya.
“Apa maksudmu?” aku menatap Anya penuh tanda
tanya.
“Bukan apa-apa. Mungkin ada orang yang
tidak menyukai Jelia.” Anya mengubah pernyataannya.
“Mungkin saja. Padahal aku telah
memutuskan untuk melamarnya.” Aku mengeluarkan kotak kecil berwarna biru tua
dari saku celanaku. Sebuah cincin berhiaskan
permata berwarna biru tersimpan rapi dalam kotak tersebut. Aku memang berencana
melamarnya dua hari yang lalu. Namun gara-gara coklat hangat beracun itu,
gagallah rencana yang telah kususun jauh-jauh hari tersebut.
“Mungkin kau belum beruntung. Aku do’akan
Jelia cepat sadar dari komanya.” Anya menepuk pundakku dan bangkit dari kursi
yang ia duduki. Kesadaran Jelialah yang memang aku harapkan. Sejak mengenal
Jelia akhir tahun lalu, aku telah jatuh hati padanya. Dialah wanita yang
membuatku bisa melupakan Rachel, wanita dari masa laluku yang telah menghancurkan
hidupku.
“Jelia, bangunlah. Aku mohon. Aku tak
bisa tanpamu, Jelia. Melihatmu seperti ini, rasa sakit yang kurasakan melebihi rasa
sakit saat ratusan cambuk menyentuh
kulitku. Kumohon, Jelia, sadarlah. Aku sangat mencintaimu.” Bisikku. Namun
kata-kata itu tetap tidak menyadarkannya. Beberapa kali telah kubisikkan
kata-kata tersebut, namun Jelia tetap tak bergerak sedikitpun. Aku menyeka air
mataku, aku mengecup kening hitam Jelia.
Ia sangat senang saat aku mengecup keningnya. Hanya ini yang bisa kulakukan
sambil terus berharap Jelia akan sadar.
*****
Kini rasa dingin mulai menyerang, aku
masih setia menunggu Jelia sadar. Aku menarik selimut yang menutupi tubuh Jelia
agar dapat menutupi seluruh tubuhnya. Lagi-lagi aku terpaku melihat wajahnya
yang tampak semakin pucat. Aku kembali mengelus pipi putihnya, menyentuh
bibirnya, dan mengusap rambut hitamnya.
“Apa kau sudah makan, Josh?” seorang
wanita tua menyapaku. Dia adalah Ibu Jelia. Dia juga tak henti-henti berharap
sama sepertiku.
“Sudah, Bu. Apa Ibu juga sudah makan?”
tanyaku.
“Ibu sudah makan, Josh. Beristirahatlah,
kau pasti sangat lelah. Biar Ibu yang menemani Jelia.” Tangan renta Ibu Jelia
menyentuh bahuku.
“Tidak, Bu. Lebih baik Ibu yang
beristirahat.” Senyum tampak menghiasi wajah tuanya, walaupun aku sangat tahu,
hati kecilnya sedang menjerit karena anak kesayangannya tak kunjung sadar.
“Bagaimana dengan pekerjaanmu yang kau
tinggalkan, Josh?” tanya beliau.
“Tidak apa-apa, Bu. Aku telah meminta
cuti sampai Jelia sadar.”
“Ini pasti sangat merepotkanmu. Kau
belum berhak mengurus Jelia, Josh. Mengurus Jelia masih tanggung jawab Ibu.”
Wanita itu mulai mengajakku berdebat lagi.
“Bu, bukankah kemarin sudah kukatakan,
walaupun Jelia masih menjadi tanggung jawab Ibu, aku ingin ikut mengurusnya.
Jelia telah menjadi bagian hidupku, Bu. Aku tidak bisa meninggalkannya.”
Kataku.
“Terima kasih, Josh, untuk cintamu yang
luar biasa untuk Jelia.” Tiba-tiba saja detak jantung Jelia menurun, aku terus
memanggil-manggil Jelia, sedangkan Ibu keluar memanggil perawat dan dokter.
Dokter meminta kami menunggu diluar. Selama menunggu, aku terus mondar-mandir
didepan kamar, aku sangat cemas dengan keadaan Jelia. Sesekali aku mengintip lewat
kaca pintu melihat bagaimana keadaan Jelia.
“Bagaimana keadaan Jelia, Dok?” tanyaku
setelah Dokter keluar dari kamar.
“Mohon ma’af, pasien mengalami kritis.
Tetapi jika dia bisa bertahan malam ini, kemungkinan besar ia bisa bertahan
untuk seterusnya.” Kata Dokter.
Rasanya hatiku sangat hancur mendengar
pernyataan dokter tersebut. Aku menyandarkan kepalaku didinding, tangisku pecah
bersamaan dengan Ibu Jelia. Kakiku terasa lemah saat kulangkahkan menuju
ranjang Jelia. Aku mengecup kening Jelia, tangisku kembali pecah didepan Jelia
yang sedang kritis.
“Kumohon Jelia, sadarlah. Aku
benar-benar tidak bisa tanpamu.” Bisikku. Namun, Jelia hanya diam, tak pernah
membalas ucapanku sedikitpun.
Malam semakin larut, Aku terus memegang
tangan Jelia dan terus memandanginya. Dikepalaku, terbayang kembali kenangan
saat aku dan Jelia sedang bersama. Ia sering memanggilku dengan sebutan “Pria Culas” karena aku sering berbuat curang
saat bermain catur dengannya. Kuakui, dia sangat hebat dalam bermain catur. Dan
kini semua kenangan itu tinggallah kenangan. Dan untuk kesekian kalinya, air
mataku jatuh karena Jelia.
“Jelia, kumohon, bertahanlah. Kau harus
bangun, Jelia.” ucapku sambil terisak. Aku melihat ke layar yang ada
disampingku, detak jantung Jelia semakin menurun. Aku bergegas memanggil
dokter, tidak lama kemudian dokter dan dua orang perawat datang. Ibu
menghampiriku dan menanyakan keadaan Jelia. Kukatakan bahwa detak jantung Jelia
semakin menurun. Kini kami benar-benar sangat cemas dengan keadaan Jelia.
“Ma’af, kami sudah berusaha. Jelia tidak
bisa bertahan. Kami turut berduka cita.” kata dokter.
Aku menangis sejadi-jadinya dan berlari
kearah Jelia, aku memeluk tubuh dinginnya. Aku tidak menyangka harus
kehilangannya malam ini. Ibu mencium Jelia dan membelai rambutnya, tangispun menghiasi wajah Ibu.
“Jelia, Kau tetap wanita yang tak akan
tergantikan dihatiku. Walaupun sekarang kau sudah pergi, aku akan tetap
mencintaimu, Jelia.” Bisikku pada Jelia untuk terakhir kalinya.
***Selesai****
Tidak ada komentar:
Posting Komentar