Assalamu’alaikum….^^
Halo
guys, gimana kabarnya? udah lama banget gak posting tulisan di blog ini. Kangen
nih sama kalian.Kalian kangen gak sama aku? (*ngarepsetengahhidup).
Kali ini, aku mau posting cerpen yang terinspirasi dari cerita Ummu Sulaim dan Abu
Thalhah. Btw, kalau ada typo, ma’af yak… :)
Enjoy
guys, happy reading…. :)
Mahar
Terindah
Suara adzan yang berkumandang membuat
beberapa kaki berderap cepat menuju tempat ibadah. Adapula beberapa yang masih
tetap dikursi kerjanya tanpa perduli dengan suara suci yang mengalun merdu.
Adapula yang mendengar namun entah karena apa mereka enggan meninggalkan hal
yang sedang mereka kerjakan untuk berdo’a kepada sang Tuhan. Akhir-akhir ini,
suara merdu yang mengalun dari speaker mesjid itu membuat hatiku bergejolak.
Aku yang hanya bisa melihat dari luar mesjid selalu merasa kagum dengan setiap
gerakan yang merek lakukan saat sholat. Gerakan yang berirama dan serentak
menunjukkan betapa kuatnya persatuan antara mereka.
“Ma’af, apa yang sedang anda lakukan?
Apa anda tidak ikut sholat berjama’ah?” seorang wanita menyapaku. Untuk
beberapa detik, aku hanyut saat menatapnya. Busana yang menutupi tubuhnya tidak
dapat menutupi cantik yang memancar diwajahnya.
“Ma’af, anda sedang apa? Apa anda tidak
sholat?” tanya wanita itu kembali.
“Oh, ma’af. Tadi saya melamun. Saya
tidak sholat,” jawabku.
“Oh, begitu,” kata wanita itu.
“Apa anda mau sholat? Tapi bukankah
sholat sudah dimulai?” tanyaku pada wanita itu. Wanita itu tersenyum. Senyumnya
manis sekali.
“Ya, saya memang mau sholat. Tidak ikut
sholat berjama’ah memang membuat kita rugi, tetapi dalam beberapa keadaan,
tidak masalah jika tidak ikut sholat berjama’ah.” Kata wanita itu.
“Ma’af, saya mau sholat dulu,” pamit wanita
itu. Wanita itu pergi ke sebuah ruangan entah untuk melakukan apa. Tapi aku
yakin itu bukan ruangan toilet. Sepertinya wanita itu tahu banyak tentang apa
yang menjadi hal yang mengganjal dikepalaku. Aku memutuskan untuk menunggu
wanita itu untuk menanyakan beberapa hal.
Orang-orang tampak keluar dari mesjid, sepertinya
mereka sudah selesai beribadah. Seiring dengan keluarnya mereka, mataku gencar
mencari wanita yang menyapaku tadi, aku menatap satu persatu wanita yang keluar
dari pintu samping mesjid dan berharap menemukan wanita itu lagi. Hampir
seluruh orang yang ada di mesjid telah keluar, tetapi aku belum mendapati
wanita itu. Raut sedikit kecewa terpancar diwajahku. Saat aku berbalik menuju
parkiran, tanpa sengaja aku mendengar sebuah percakapan.
“Noura, kenapa kamu terlambat?” kata
seorang wanita.
“Aku tadi mendapat sedikit masalah.
Tapi, masalahnya sudah bisa kuatasi.” Jawab wanita satunya.
Mendengar suara itu, aku langsung
membalikkan badan. Dan benar saja, pemilik suara itu memang wanita yang aku
temui tadi. Tuhan, begitu indahnya rencana-Mu gumamku. Aku langsung menghampiri
wanita itu dan menyapanya.
“Oh, Hai,” sapaku pada wanita itu dengan
gugup.
“Hai. Ada apa?” tanya wanita itu.
“Sa…ya…,” kataku dengan terbata-bata.
“Ya, ada apa? Apa ada yang ingin anda
tanyakan lagi?” wanita itu sepertinya mengerti apa maksudku.
“Ya, ada beberapa hal yang ingin saya tanyakan,” jawabku sambil menggaruk kepala bagian belakang.
“Ma’af, kalau sekarang saya tidak bisa.
Tetapi jika anda mau, datanglah ke mesjid ini sore nanti,” kata wanita itu.
“Oh, begitu. Baiklah, nanti sore saya
kesini lagi,” jawabku.
“Ma’af, saya permisi dulu.” Pamit wanita
itu lengkap dengan senyum manisnya. Tanpa kusadari, aku juga membalas
senyumannya.
Wanita itu benar-benar menyita
perhatianku. Ia sungguh berbeda dari wanita yang pernah aku temui. Ia
benar-benar sosok wanita sempurna yang bagai bidadari. Kata-kata pujian untuk
wanita itu terus bergelayut dikepalaku menemaniku berjalan menuju mobil.
Astaga, ada apa denganku? Apa aku telah jatuh cinta pada wanita itu? Apa cinta
bisa datang secepat ini? Pikiranku menjadi tidak karuan, kepalaku mencoba
menahan semua yang kurasakan dihatiku. Tetapi, setiap aku mencoba, bayangan
wanita itu saat tersenyum terus menghampiriku. Keinginanku untuk belajar
tentang Islampun semakin kuat. Secara tidak sengaja, wanita itu menjadi
penyemangatku untuk mengetahui hal yang menarik perhatian. Islam dan wanita
itu, benar-benar membuatku tidak berkutik hari ini.
*********
Waktu menunjukkan pukul 16.00 WIB, aku bergegas menuju mesjid yang siang tadi kudatangi. Macetnya jalanan ibukota membuatku mengumpat kesal, kubunyikan klakson dengan keras agar kendaraan yang didepanku bisa berjalan dengan cepat. Namun, sekeras apapun bunyi klakson yang terdengar, itu takkan berpengaruh banyak. Hampir 20 menit berlalu, akhirnya aku bisa menembus kemacetan, aku berusaha agar bisa secepatnya sampai di mesjid. Sesampainya disana, aku langsung berlari ketempat dimana aku dan wanita tadi bertemu. Namun wanita itu tidak ada disana, tak ada seorangpun ditempat tersebut. Aku mengumpat kesal pada diriku sendiri. Raut kecewa tampak jelas diwajahku. Mungkin wanita itu telah pulang karena sudah terlalu lama menunggu gumamku. Aku memutuskan untuk duduk di teras mesjid. Aku baru menyadari ada sesuatu yang terdengar dari speaker mesjid yang berada tepat diatas kepalaku. Suara itu merdu sekali, dan sepertinya itu berasal dari dalam mesjid. Aku memberanikan diri untuk naik dan melihat lewat kaca pintu. Ternyata suara itu milik wanita tadi. Ya Tuhan, indah sekali suaranya teriak batinku. Entah apa yang sedang ia lakukan didalam, tetapi ia memiliki suara yang sangat merdu. Aku kembali ke teras mesjid dan menyandarkan tubuhku pada dinding dan mulai menikmati suara wanita itu. Aku terus tersenyum sembari menikmati suara wanita itu, akan lebih indah lagi jika suara merdunya itu digunakan untuk menyanyi gumamku.
Satu persatu
wanita-wanita yang berada dalam mesjid keluar, sepertinya mereka sudah selesai
dengan kegiatannya. Sekarang didalam mesjid hanya wanita itu dan temannya, aku
masuk kedalam mesjid itu untuk pertama kalinya. Aku tersenyum terlebih dahulu
pada wanita itu, dan wanita itupun membalasnya. Ia tampak sibuk membereskan
barang-barang, kemudian ia mempersilahkan aku duduk.
“Baiklah, apa yang
ingin anda tanyakan?” tanya wanita itu membuka pembicaraan. Ia duduk berdekatan
dengan temannya, sedangkan jaraknya denganku cukup jauh.
“Begini, saya non
muslim, tetapi akhir-akhir ini saya mulai tertarik dengan Islam. Bila mendengar
suara adzan, hati saya seperti terpanggil untuk datang ke mesjid dan saya
sangat mengagumi setiap gerakan sholat. Dan saya juga mengagumi dengan apa yang
anda lakukan tadi, suara anda terdengar merdu sekali.” Ceritaku panjang lebar.
“Subhanallah…,” kata
kedua wanita itu serentak sambil tersenyum. Entah apa ada yang aneh dengan
ceritaku tadi.
“Sungguh, Allah telah
mengetuk hati anda,” kata wanita itu.
“Tetapi, saya seperti
memiliki konflik batin akan hal ini, disatu sisi saya sangat bersemangat
belajar tentang Islam, disisi lain saya merasa bersalah dengan Tuhan saya. Ini
benar-benar membuat saya frustasi,” kataku.
“Percayalah, Islam
adalah agama yang indah, Allah telah mengetuk hati anda. Lakukanlah apa yang
menjadi suara hati anda. Jangan pedulikan hal lain yang membuat anda takut.
Ikutilah apa yang menjadi kata hati anda, Insya Allah anda akan menemukan jalan
yang benar,” kata wanita itu.
“Saya punya beberapa
teman yang juga tertarik dengan Islam, tetapi langkah mereka terhenti saat
mendengar banyak orang yang beragama Islam menjadi teroris. Apa saya bisa tahu
tentang kebenaran tersebut?” tanyaku.
“Saya tidak bisa
bicara banyak tentang hal itu, tapi percayalah Islam adalah agama yang
mencintai perdamaian, jika memang ada terjadi yang seperti yang anda katakan,
itu adalah perbuatan orang kafir yang mengatas namakan Islam.” Kata wanita itu.
“Lalu apa yang jadi
pedoman orang Islam?” tanyaku.
“Al-Qur'an dan Hadist.
Itu adalah pegangan kami dalam menjalani kehidupan. Didalam Al-Qur’an dan
Hadist telah dijelaskan bagaimana seharusnya kita menjalani hidup, Insya Allah
semua yang kita lakukan akan mendapat berkah.” Kata wanita itu.
“Lalu bagaimana bila
saya ingin menjadi bagian dari Islam?” tanyaku semakin mendetail.
“Anda cukup mengucap
dua kalimat syahadat, maka anda akan menjadi seorang muslim. Ada beberapa hal
lain yang juga dapat anda lakukan seperti mengganti nama, khitan, dan
lain-lain. Anda bisa memulai sedikit demi sedikit, tidak perlu melakukan
semuanya secara sekaligus. Anda bisa melakukannya sambil belajar, seperti
belajar sholat dan mengaji. Yang penting, jika anda sudah yakin, anda pasti
akan mendapat kemudahan dari Allah SWT.” Wanita itu benar-benar
luar biasa, ia mampu menjawab semua hal yang menjadi keraguan dalam hatiku.
“ Terima kasih, anda
sungguh baik sekali, nona…,” kataku.
“Panggil saja Noura,”
kata wanita itu.
“Sungguh nama yang
indah. Nama saya Hans. Kalau boleh tahu, anda tinggal dimana? Apa mau saya
antar?” tanyaku.
“Tidak perlu, saya
tinggal didekat mesjid ini,” kata wanita itu.
“Oh, begitu.Terima
kasih sudah membantu saya.” Kataku.
“Iya, Hans. Jika masih
ada yang ingin anda tanyakan, anda bisa datang ketempat ini dengan waktu yang
sama.” Kata wanita itu.
“Baiklah, saya pasti
akan datang lagi.” Kataku. Wanita itu berbicara dengan temannya yang sejak tadi
hanya diam. Sepertinya mereka ingin pulang karena waktu sudah menunjukkan pukul
hampir setengah enam sore.
“Jika memang tidak ada
lagi, saya mohon pamit.” Kata wanita itu.
“Iya, silahkan, terima
kasih atas bantuan anda hari ini.” Aku mengulurkan tanganku. Lagi-lagi ia
melakukan hal yang sama seperti siang tadi, hanya mengulurkan sedikit tangannya
tanpa menjabat tanganku.
“Noura, anda cantik
sekali.” Kataku tanpa sadar saat wanita itu pergi lebih dulu meninggalkan
mesjid. Langkah wanita itu terhenti dan menengok kearahku.
“Syukran yaa akhi.” Kata wanita itu dengan tersenyum. Ia kembali
berjalan keluar dari mesjid.
“Apa yang telah aku
katakan? Apa arti dari kata yang ia katakan? Apa dia marah dengan ucapanku
tadi?” gumamku sambil menepuk mulutku. Rasanya aku bodoh sekali telah
mengatakan hal itu.
Hari ini aku
benar-benar dibuat seperti orang yang linglung, wanita itu membuatku seperti
orang yang tidak waras. Aku terus membayangkan wanita itu sepanjang jalan
menuju rumah, wanita itu benar-benar membuatku tergila-gila padanya. Wanita itu
benar-benar wanita yang sempurna gumamku. Andai saja dia bisa menjadi milikku,
dia adalah sosok wanita yang selama ini kucari. Entah dari mana pikiran itu
mulai muncul dalam otakku. Tiba-tiba saja bayangan untuk menjadikan wanita itu
sebagai istri mulai muncul dibenakku. Ya, aku ingin ia menjadi istriku. Pasti
akan sangat bahagia bila mempunyai istri seperti wanita itu. Pikiran itu
semakin kuat bergelayut diotakku. Akan kukatakan padanya aku menginginkannya.
Ya, aku akan mengatakannya besok gumamku.
*********
“Noura, laki-laki itu sebenarnya siapa?” tanya Wanda diperjalanan pulang.
“Aku juga kurang
begitu kenal, tadi siang aku melihatnya sedang duduk dan memperhatikan jama’ah
yang sedang sholat. Aku sudah mengira kalau dia tertarik tentang Islam, jadi
aku mengajaknya untuk datang sore ini. Dan ternyata dia memang tertarik dengan
agama Islam.” Ceritaku.
“Oh, begitu. Lalu apa maksud dari ucapannya
tadi?” kata Wanda setengah meledek.
“Entahlah,” jawabku
dengan tersipu malu. Lelaki itu memang berhasil membuat wajahku merona malu
hari ini.
“Hei, kenapa kau
senyum-senyum sendiri? Apa kau memikirkan lelaki itu?” Wanda mengagetkanku.
“Ah, tidak. Aku sedang
memikirkan hal yang lain,” elakku.
“Kamu tidak berbakat
berbohong Noura, sepertinya kau sama dengan laki-laki itu. Sama-sama jatuh
cinta.” Kata Wanda.
“Tidak, Wanda. Semoga
saja tidak,” kataku.
“Kenapa tidak? Dia
tertarik dengan Islam, dia pasti mau berpindah agama demi menikah denganmu.”
Kata Wanda.
“Entahlah, tetapi aku
ingin yang menjadi alasannya untuk hijrah adalah karena Allah SWT, mungkin jika
memnag ditakdirkan seperti itu, aku tidak bisa menolaknya,” jawabku.
“Kau benar, Noura.
Tetapi jujurlah, kau memang menyukainya bukan?” tanya Wanda.
“Entahlah, tapi dia
berhasil membuat hatiku bergetar Wanda. Dan rasanya aku tidak pernah seperti
ini sebelumnya.” Jawabku lirih.
“Kau percayakan dengan
jodoh yang telah diatur oleh Allah? Semoga saja kau memang berjodoh dengannya.”
Kata Wanda.
“Iya, aamiin.” Kataku.
Wanda pamit menuju
rumahnya yang berada dibelakang rumahku. Sebelum masuk ke rumah, aku
menyempatkan duduk dikursi rotan yang ada di teras rumah. Aku mulai memikirkan
ucapan Wanda, jika memang berjodoh, halangan apapun pasti dapat dilalui. Ya,
aku yakin itu, jika Allah berkehendak, tidak ada yang bisa menghalangi kehendak-Nya.
*********
Entah kenapa, waktu terasa berlalu dengan lambat. Waktu masih menunjukkan jam 11.25 WIB, aku benar-benar tidak sabar agar jam bundar yang ada di dinding kantorku menunjukkan jam 15.30 sore. Aku memainkan pulpen yang ada dimeja kantorku untuk menghilangkan rasa bosan. Aku mulai membayangkan kembali wajah Noura, senyumku kembali mengembang saat aku membayangkan senyumannya. Ya Tuhan, aku benar-benar menyukai wanita itu dan sangat berharap sekali bisa memilikinya. Aku mulai merangkai kata-kata yang akan kuucapkan saat aku bertemu dengannya nanti. Tekatku sudah bulat, hari ini aku akan mengutarakan keinginanku. Apapun akan kulakukan agar dia mau menjadi kekasihku.
*********
“Hei, Noura, kenapa dari tadi kamu terus memperhatikan jam itu?” tanya Nita yang sepertinya sejak tadi memperhatikanku.
“Ah, tidak apa-apa,”
jawabku.
“Apa kau sedang
menunggu sesuatu?” tanya Nita.
“Tidak, aku hanya
merasa waktu berjalan dengan lambat hari ini.” Kataku.
“Memangnya ada apa? Tumben
kamu memperhatikan waktu?” tanya Nita lagi.
“Tidak apa-apa.
Sebentar lagi waktu sholat Dzuhur tiba, ayo kita bersiap,” ajakku sekalian
untuk mengalihkan perhatian Nita.
“Baiklah, ayo kita
bersiap.” Kata Nita.
Aku membereskan
berkas-berkas yang berserakan di meja kerjaku lalu pergi ke mesjid dekat kantor
untuk sholat Dzuhur bersama Nita. Suara adzan terdengar saat kami memasuki
depan mesjid, aku dan Nita bergegas pergi menuju tempat berwudhu dan masuk
kedalam mesjid untuk ikut sholat berjama’ah.
“Kenapa sejak dari
mesjid tadi kau hanya diam Noura?” tanya Nita saat perjalanan menuju kantor.
“Tidak apa-apa.
Entahlah, aku hanya sedang tidak berselera untuk banyak bicara,” jawabku.
“Apa kau sedang
sakit?” tanya Nita lagi.
“Tidak, Alhamdulillah
aku sehat,” jawabku
“Baiklah kalau begitu,
ayo kita bekerja lagi.” Ajak Nita. aku mengangguk, aku kembali mengambil
beberapa berkas dan menyelesaikannya untuk laporan pekerjaanku.
*********
“Permisi Pak Hans,” kata Julie sekretarisku.
“Ya, ada apa?”
tanyaku.
“Sore ini Bapak ada meeting dengan klien, pak,” kata Julie.
“Tolong kamu batalkan,
saya ada janji penting hari ini.” Kataku pada Julie.
"Tapi, Pak,” kata Julie.
“Batalkan!” kataku
dengan keras.
“Baiklah, saya akan
atur jadwal barunya Pak.” kata Julie setengah takut. Aku mengisyaratkan agar
Julie keluar dari ruanganku. Saat ini aku benar-benar tidak ingin diganggu.
Aku melirik pada jam
dinding yang baru menunjukkan pukul 14.30 WIB, andai bisa rasanya ingin sekali
aku mempercepat waktu. Aku mengambil jasku dan memasangnya, aku memutuskan
untuk pulang lebih awal hari ini. Lebih baik menunggu di mesjid daripada
disini, lagipula, nantinya aku akan terkena macet, jadi lebih baik aku pergi
lebih dulu kesana gumamku.
*********
Aku menengok jam yang melingkar ditangan kiriku, waktu menunjukkan pukul 15.15 WIB, tampak beberapa orang datang ke mesjid, sepertinya mereka bersiap untuk melakukan sholat. Aku memilih diam didalam mobil sampai mereka selesai beribadah. Aku mengambil laptopku dan membuka beberapa file sembari menunggu. Waktu menunjukkan 15.50 WIB, suara adzan telah dikumandangkan, sekarang semua orang dimesjid telah bersiap untuk sholat.
Tanpa sengaja aku
tertidur didalam mobil, saat aku bangun mesjid kembali sepi, tetapi segerombolan anak kecil
datang dari arah depan mesjid. Mereka menggunakan busana muslim dan membawa tas
yang entah berisi apa. Sepertinya mereka akan melakuan sesuatu, aku turun dari
mobil dan menghampiri mereka.
“Halo, dek. Apa yang
mau kalian lakukan?” tanyaku pada anak-anak itu.
“Kami mau belajar
mengaji, om.” Jawab anak itu serentak.
“Oh, begitu. siapa
yang mengajari kalian?” tanyaku lagi.
“Kak. Wanda dan Kak.
Noura, Om.” Mereka kembali menjawab dengan serentak.
“Apa Kak. Noura sudah
datang?” tanyaku.
“Belum, Om.” Jawab
salah satu dari mereka.
“Baiklah, kalau begitu.
Silahkan kalian masuk ke mesjid.” Anak-anak itu masuk kedalam mesjid. Aku duduk
di teras mesjid menunggu Noura.
5 menit kemudian,
akhirnya Noura datang bersama temannya. Dari jauh, aku sudah memasang wajah
yang penuh senyuman, Akhirnya, penantian panjangku hari ini berujung dengan pertemuanku dengan Noura.
“Halo Noura,” sapaku.
“Halo, Hans,” balas Noura.
“Noura, apa kita bisa
bicara sebentar?” tanyaku pada Noura.
“Tentu,” jawab Noura.
“Bolehkah aku
berbicara denganmu hanya berdua?” tanyaku lagi. Noura dan temannya saling
berpandangan.
“Memangnya apa yang
ingin anda bicarakan?” tanya Noura.
“Tentang hal pribadi.
Apa anda keberatan?” tanyaku.
“Tidak, tetapi wanita
tidak boleh berduaan dengan lelaki yang bukan mahramnya. Itu yang membuat saya
agak sedikit ragu,” jawab Noura.
“Percayalah, saya
tidak akan melakukan hal yang tidak-tidak. Lagipula kita berada ditempat
umum.” Kataku meyakinkan Noura.
“Baiklah, tetapi kita
bicara disini saja,” kata Noura.
“Baiklah, saya setuju.”
Noura kemudian berbicara pada temannya agar masuk ke dalam mesjid lebih dulu.
Lalu kami duduk di teras mesjid.
“Apa yang ingin ada
bicarakan?” tanya Noura.
“Saya tidak tahu harus
memulai dari mana, tetapi sejak saya bertemu dengan anda kemarin, ada yang
berubah dari diri saya. Anda seperti jawaban yang saya cari selama ini. Anda
terlihat sangat cantik dan baik hati, saya jatuh hati pada anda. Saya ingin
anda menjadi pasangan hidup yang akan menemani saya dalam senang maupun susah.
Maukah anda hidup dengan saya?” kataku dengan panjang lebar.
Kulihat Noura hanya
diam, matanya tampak seperti berkaca-kaca. Ia menunduk dan diam seribu bahasa,
namun kemudian ia tampak mengangkat wajahnya dan menatap kearahku.
“Sebagai wanita biasa,
saya juga terpikat oleh kharisma anda, sayapun jatuh hati pada sikap lembut
yang anda perlihatkan. Tetapi, saya tidak bisa menemani anda dengan keadaan
kita yang seperti ini. Anda dan saya berbeda, itu tidak mungkin dipaksakan.
Tetapi jika anda benar-benar serius, anda bisa ikut dengan saya. Tetapi anda
harus meninggalkan tentang kerohanian anda yang sekarang dan berganti menjadi
sama seperti saya.” kata Noura. Ucapannya itu membuatku berpikir keras. Aku
mengerti maksudnya yang memintaku menjadi seorang muslim.
Untuk sejenak aku
terdiam, perang batin terjadi dihatiku. disatu sisi, aku ingin bersama dengan
Noura, disisi lain menunjukkan betapa akan sulitnya aku meninggalkan hidupku
yang lama. Akan ada kata-kata yang tajam dari orang tua, keluarga dan
teman-temanku.
“Jika anda butuh
waktu, saya akan dengan senang hati menunggu. pikirkanlah baik-baik, ikutilah
apa yang menjadi kata hati anda. Saya percaya, anda bisa memilih yang terbaik
untuk hidup anda sendiri.” Kata Noura. Aku menatap dalam wajah Noura, mungkin
aku bisa menemukan jawaban dalam matanya yang teduh.
“Baiklah, saya permisi
dulu,” Noura beranjak dari duduknya. Saat kakinya mulai melangkah, aku menahan
tangannya.
“Dengan nama Tuhan, saya memilih anda dan agama anda, dan saya
akan meninggalkan keyakinan saya dan mengikuti keyakinan anda.” Kataku dengan
lantang. Mata Noura tampak berkaca-kaca. Ia menangis haru atas ucapanku tadi.
Akupun merasa sangat lega saat bisa mengatakannya, seperti beban yang tidak
terlihat hilang untuk selamanya.
“Lalu apa yang
sekarang harus saya lakukan?” tanyaku pada Noura.
“Anda bisa secepatnya
mengucapkan dua kalimat syahadat didepan ustadz dan saksi-saksi, saya akan
bantu anda mengurusnya.” Kata Noura. Aku mengangguk, mengiyakan perkataannya.
“Lalu bagaimana dengan
pernikahan kita?” godaku. Noura tampak tersenyum malu mendengar pertanyaanku.
“Seharusnya saya yang
bertanya, kapan anda datang dan meminta langsung kepada orang tua saya?” balas
Noura.
“Baiklah, hari ini
juga bisa,” aku tidak mau kalah.
“Kalau begitu, pulang
dari mesjid, kita pergi kerumah saya.” Kata Noura. Aku mengangguk. Kemudian
Noura mengajakku masuk ke dalam mesjid dan ikut belajar dengan anak-anak yang
lain.
Setelah selesai
belajar, Noura memintaku menunggu. Ia mengatakan bahwa Ustadz akan datang ke
msjid sebentar lagi. Setelah beberapa waktu menunggu, Ustadz yang dimaksud
Noura datang, ia datang bersama beberapa orang lainnya. Aku mengutarakan
keinginanku, dan Ustadz itu mengabulkan permintaanku. Beliau menjabat tanganku
dan memintaku mengikuti dua kalimat syahadat yang diucapkannya. Setelah
selesai, akupun resmi menjadi seorang muslim. Aku menatap kearah Noura yang
terseyum haru. Aku mengatakan pada Ustadz akan niatku untuk menikahi Noura dan
menceritakan bahwa hal yang membuatku yakin memeluk Islam adalah karena aku
ingin menikahinya. Ustadz itu mengatakan bahwa aku harus di khitan terlebih
dahulu, dan akupun menyetujuinya. Disamping itu, akupun mendapat nama baru,
Muhammad Yusuf Thalhah. Nama tersebut dimiliki oleh orang-orang yang memiliki
cerita luar biasa dalam Islam. Aku meminta agar Ustadz tersebut mau menjadi
pembimbingku, dan beliau menyetujuinya. Dan sekarang, aku benar-benar hijrah
dari dunia yang gelap menuju dunia yang penuh cahaya terang benderang.
Setelah selesai, aku
menepati janjiku pada Noura untuk datang kerumahnya. Awalnya aku sempat merasa
khawatir dengan respon kedua orang tuanya, Tetapi Allah benar-benar meridhoi
rencanaku. Mereka tak keberatan putri solehah mereka dipersunting olehku yang
baru saja menjadi muallaf. Kuceritakan juga bahwa aku bersedia memeluk Islam
agar dapat menikah dengan Noura. Mereka mengatakan bahwa hal ini mirip dengan
cerita di zaman Nabi Muhammad dimana seorang lelaki kafir yang menyukai seorang
wanita muslim rela memeluk agama Islam hanya untuk menikah dengan wanita
tersebut, dan mahar yang diberikan bukanlah emas atau perak, melainkan
ke-Islamannyalah yang menjadi mahar nikah mereka. Rasanya lengkaplah sudah
kebahagianku, hidupku benar-benar terasa sempurna.
*********
Hari ini, hari pernikahanku dengan Hans. Perasaanku menjadi tak karuan, senang, bahagia dan juga sedih menyatu dihatiku. Wanda mengatakan bahwa Hans sudah datang, Wanda mengatakan Hans terlihat gagah dengan busana pengantin putih yang ia kenakan. Wanda juga memujiku, ia mengatakan bahwa aku juga terlihat sangat cantik dengan gaun pengantinku. Aku menunggu dalam kamar, Ibuku mengatakan bahwa ijab qabul akan segera dilaksanakan. Jantungku semakin berdetak kencang. Kudengar beberapa orang mengatakan “sah”, Wanda memelukku, ia mengucapkan selamat kepadaku. Lalu aku dibawa keluar untuk menemui suamiku. Aku tidak bisa menutupi senang dan haru yang muncul. Aku mencium tangan Hans yang sekarang telah resmi menjadi suamiku lalu duduk disampingnya. Kami menandatangani beberapa dokumen. Lalu kami saling memasangkan cincin, riuh sorak dan tepuk tangan terdengar saat Hans mengecup keningku untuk pertama kalinya. Sungguh hari yang benar-benar membahagiakan.
“Kenapa kau terus
memandangiku?” tanyaku pada Hans.
“Entahlah, rasanya aku
tidak mau berpaling sedikitpun dari wajah cantikmu.” Kata Hans setengah merayu.
Aku tertunduk malu, ia tersenyum melihat reaksiku.
“Noura, jadilah
istriku yang setia dan terus damping aku dalam senang maupun susah. Ajari aku
bagaimana menjadi muslim, suami dan ayah yang baik untuk keluarga kecil kita
nanti,” kata Hans. Ucapan Hans benar-benar membuatku terharu, aku hampir
meneteskan air mata karenanya.
“Iya, Hans. Aku
berjanji. Dan aku mohon, jadilah suami yang bisa menjadi imam bagiku dan
anak-anak kita nanti.” Pesanku pada Hans.
“Iya, istriku.” Hans
meraih tanganku dan menciumnya lalu memelukku. Nyaman sekali rasanya berada
dipelukan Hans.
Ibu memanggil kami
untuk keluar dan bersalaman dengan para tamu undangan. Aku menggenggam erat
tangan Hans dan berjalan menuju pelaminan. Kami bersalaman dengan para tamu.
Sungguh, ini adalah hari yang menggembirakan. Semoga saja cinta dan kebahagiaan
ini akan terus terjaga selamanya.
*****selesai****
Tidak ada komentar:
Posting Komentar