Sabtu, 28 Maret 2015

Special: Cerpen #MaharTerindah (Inspired by Ummu Sulaim & Abu Thalhah)

Assalamu’alaikum….^^
Halo guys, gimana kabarnya? udah lama banget gak posting tulisan di blog ini. Kangen nih sama kalian.Kalian kangen gak sama aku? (*ngarepsetengahhidup).
 Kali ini, aku mau posting cerpen  yang terinspirasi dari cerita Ummu Sulaim dan Abu Thalhah. Btw, kalau ada typo, ma’af yak… :)
 Enjoy guys, happy reading…. :)



Mahar Terindah


Suara adzan yang berkumandang membuat beberapa kaki berderap cepat menuju tempat ibadah. Adapula beberapa yang masih tetap dikursi kerjanya tanpa perduli dengan suara suci yang mengalun merdu. Adapula yang mendengar namun entah karena apa mereka enggan meninggalkan hal yang sedang mereka kerjakan untuk berdo’a kepada sang Tuhan. Akhir-akhir ini, suara merdu yang mengalun dari speaker mesjid itu membuat hatiku bergejolak. Aku yang hanya bisa melihat dari luar mesjid selalu merasa kagum dengan setiap gerakan yang merek lakukan saat sholat. Gerakan yang berirama dan serentak menunjukkan betapa kuatnya persatuan antara mereka.


“Ma’af, apa yang sedang anda lakukan? Apa anda tidak ikut sholat berjama’ah?” seorang wanita menyapaku. Untuk beberapa detik, aku hanyut saat menatapnya. Busana yang menutupi tubuhnya tidak dapat menutupi cantik yang memancar diwajahnya.
“Ma’af, anda sedang apa? Apa anda tidak sholat?” tanya wanita itu kembali.
“Oh, ma’af. Tadi saya melamun. Saya tidak sholat,” jawabku.
“Oh, begitu,” kata wanita itu.
“Apa anda mau sholat? Tapi bukankah sholat sudah dimulai?” tanyaku pada wanita itu. Wanita itu tersenyum. Senyumnya manis sekali.
“Ya, saya memang mau sholat. Tidak ikut sholat berjama’ah memang membuat kita rugi, tetapi dalam beberapa keadaan, tidak masalah jika tidak ikut sholat berjama’ah.” Kata wanita itu.
“Ma’af, saya mau sholat dulu,” pamit wanita itu. Wanita itu pergi ke sebuah ruangan entah untuk melakukan apa. Tapi aku yakin itu bukan ruangan toilet. Sepertinya wanita itu tahu banyak tentang apa yang menjadi hal yang mengganjal dikepalaku. Aku memutuskan untuk menunggu wanita itu untuk menanyakan beberapa hal.
Orang-orang tampak keluar dari mesjid, sepertinya mereka sudah selesai beribadah. Seiring dengan keluarnya mereka, mataku gencar mencari wanita yang menyapaku tadi, aku menatap satu persatu wanita yang keluar dari pintu samping mesjid dan berharap menemukan wanita itu lagi. Hampir seluruh orang yang ada di mesjid telah keluar, tetapi aku belum mendapati wanita itu. Raut sedikit kecewa terpancar diwajahku. Saat aku berbalik menuju parkiran, tanpa sengaja aku mendengar sebuah percakapan.
“Noura, kenapa kamu terlambat?” kata seorang wanita.
“Aku tadi mendapat sedikit masalah. Tapi, masalahnya sudah bisa kuatasi.” Jawab wanita satunya.
Mendengar suara itu, aku langsung membalikkan badan. Dan benar saja, pemilik suara itu memang wanita yang aku temui tadi. Tuhan, begitu indahnya rencana-Mu gumamku. Aku langsung menghampiri wanita itu dan menyapanya.
“Oh, Hai,” sapaku pada wanita itu dengan gugup.
“Hai. Ada apa?” tanya wanita itu.
“Sa…ya…,” kataku dengan terbata-bata.
“Ya, ada apa? Apa ada yang ingin anda tanyakan lagi?” wanita itu sepertinya mengerti apa maksudku.
“Ya, ada beberapa hal yang ingin saya tanyakan,” jawabku sambil menggaruk kepala bagian belakang.
“Ma’af, kalau sekarang saya tidak bisa. Tetapi jika anda mau, datanglah ke mesjid ini sore nanti,” kata wanita itu.
“Oh, begitu. Baiklah, nanti sore saya kesini lagi,” jawabku.
“Ma’af, saya permisi dulu.” Pamit wanita itu lengkap dengan senyum manisnya. Tanpa kusadari, aku juga membalas senyumannya.
Wanita itu benar-benar menyita perhatianku. Ia sungguh berbeda dari wanita yang pernah aku temui. Ia benar-benar sosok wanita sempurna yang bagai bidadari. Kata-kata pujian untuk wanita itu terus bergelayut dikepalaku menemaniku berjalan menuju mobil. Astaga, ada apa denganku? Apa aku telah jatuh cinta pada wanita itu? Apa cinta bisa datang secepat ini? Pikiranku menjadi tidak karuan, kepalaku mencoba menahan semua yang kurasakan dihatiku. Tetapi, setiap aku mencoba, bayangan wanita itu saat tersenyum terus menghampiriku. Keinginanku untuk belajar tentang Islampun semakin kuat. Secara tidak sengaja, wanita itu menjadi penyemangatku untuk mengetahui hal yang menarik perhatian. Islam dan wanita itu, benar-benar membuatku tidak berkutik hari ini.

*********



Waktu menunjukkan pukul 16.00 WIB, aku bergegas menuju mesjid yang siang tadi kudatangi. Macetnya jalanan ibukota membuatku mengumpat kesal, kubunyikan klakson dengan keras agar kendaraan yang didepanku bisa berjalan dengan cepat. Namun, sekeras apapun bunyi klakson yang terdengar, itu takkan berpengaruh banyak. Hampir 20 menit berlalu, akhirnya aku bisa menembus kemacetan, aku berusaha agar bisa secepatnya sampai di mesjid. Sesampainya disana, aku langsung berlari ketempat dimana aku dan wanita tadi bertemu. Namun wanita itu tidak ada disana, tak ada seorangpun ditempat tersebut. Aku mengumpat kesal pada diriku sendiri. Raut kecewa tampak jelas diwajahku. Mungkin wanita itu telah pulang karena sudah terlalu lama menunggu  gumamku. Aku memutuskan untuk duduk di teras mesjid. Aku baru menyadari ada sesuatu yang terdengar dari speaker mesjid yang berada tepat diatas kepalaku. Suara itu merdu sekali, dan sepertinya itu berasal dari dalam mesjid. Aku memberanikan diri untuk naik dan melihat lewat kaca pintu. Ternyata suara itu milik wanita tadi. Ya Tuhan, indah sekali suaranya teriak batinku. Entah apa yang sedang ia lakukan didalam, tetapi ia memiliki suara yang sangat merdu. Aku kembali ke teras mesjid dan menyandarkan tubuhku pada dinding dan mulai menikmati suara wanita itu. Aku terus tersenyum sembari menikmati suara wanita itu, akan lebih indah lagi jika suara merdunya itu digunakan untuk menyanyi gumamku.
Satu persatu wanita-wanita yang berada dalam mesjid keluar, sepertinya mereka sudah selesai dengan kegiatannya. Sekarang didalam mesjid hanya wanita itu dan temannya, aku masuk kedalam mesjid itu untuk pertama kalinya. Aku tersenyum terlebih dahulu pada wanita itu, dan wanita itupun membalasnya. Ia tampak sibuk membereskan barang-barang, kemudian ia mempersilahkan aku duduk.
“Baiklah, apa yang ingin anda tanyakan?” tanya wanita itu membuka pembicaraan. Ia duduk berdekatan dengan temannya, sedangkan jaraknya denganku cukup jauh.
“Begini, saya non muslim, tetapi akhir-akhir ini saya mulai tertarik dengan Islam. Bila mendengar suara adzan, hati saya seperti terpanggil untuk datang ke mesjid dan saya sangat mengagumi setiap gerakan sholat. Dan saya juga mengagumi dengan apa yang anda lakukan tadi, suara anda terdengar merdu sekali.” Ceritaku panjang lebar.
“Subhanallah…,” kata kedua wanita itu serentak sambil tersenyum. Entah apa ada yang aneh dengan ceritaku tadi.
“Sungguh, Allah telah mengetuk hati anda,” kata wanita itu.
“Tetapi, saya seperti memiliki konflik batin akan hal ini, disatu sisi saya sangat bersemangat belajar tentang Islam, disisi lain saya merasa bersalah dengan Tuhan saya. Ini benar-benar membuat saya frustasi,” kataku.
“Percayalah, Islam adalah agama yang indah, Allah telah mengetuk hati anda. Lakukanlah apa yang menjadi suara hati anda. Jangan pedulikan hal lain yang membuat anda takut. Ikutilah apa yang menjadi kata hati anda, Insya Allah anda akan menemukan jalan yang benar,” kata wanita itu.
“Saya punya beberapa teman yang juga tertarik dengan Islam, tetapi langkah mereka terhenti saat mendengar banyak orang yang beragama Islam menjadi teroris. Apa saya bisa tahu tentang kebenaran tersebut?” tanyaku.
“Saya tidak bisa bicara banyak tentang hal itu, tapi percayalah Islam adalah agama yang mencintai perdamaian, jika memang ada terjadi yang seperti yang anda katakan, itu adalah perbuatan orang kafir yang mengatas namakan Islam.” Kata wanita itu.
“Lalu apa yang jadi pedoman orang Islam?” tanyaku.
“Al-Qur'an dan Hadist. Itu adalah pegangan kami dalam menjalani kehidupan. Didalam Al-Qur’an dan Hadist telah dijelaskan bagaimana seharusnya kita menjalani hidup, Insya Allah semua yang kita lakukan akan mendapat berkah.” Kata wanita itu.
“Lalu bagaimana bila saya ingin menjadi bagian dari Islam?” tanyaku semakin mendetail.
“Anda cukup mengucap dua kalimat syahadat, maka anda akan menjadi seorang muslim. Ada beberapa hal lain yang juga dapat anda lakukan seperti mengganti nama, khitan, dan lain-lain. Anda bisa memulai sedikit demi sedikit, tidak perlu melakukan semuanya secara sekaligus. Anda bisa melakukannya sambil belajar, seperti belajar sholat dan mengaji. Yang penting, jika anda sudah yakin, anda pasti akan mendapat kemudahan dari Allah SWT.” Wanita itu benar-benar luar biasa, ia mampu menjawab semua hal yang menjadi keraguan dalam hatiku.
“ Terima kasih, anda sungguh baik sekali, nona…,” kataku.
“Panggil saja Noura,” kata wanita itu.
“Sungguh nama yang indah. Nama saya Hans. Kalau boleh tahu, anda tinggal dimana? Apa mau saya antar?” tanyaku.
“Tidak perlu, saya tinggal didekat mesjid ini,” kata wanita itu.
“Oh, begitu.Terima kasih sudah membantu saya.” Kataku.
“Iya, Hans. Jika masih ada yang ingin anda tanyakan, anda bisa datang ketempat ini dengan waktu yang sama.” Kata wanita itu.
“Baiklah, saya pasti akan datang lagi.” Kataku. Wanita itu berbicara dengan temannya yang sejak tadi hanya diam. Sepertinya mereka ingin pulang karena waktu sudah menunjukkan pukul hampir setengah enam sore.
“Jika memang tidak ada lagi, saya mohon pamit.” Kata wanita itu.
“Iya, silahkan, terima kasih atas bantuan anda hari ini.” Aku mengulurkan tanganku. Lagi-lagi ia melakukan hal yang sama seperti siang tadi, hanya mengulurkan sedikit tangannya tanpa menjabat tanganku.
“Noura, anda cantik sekali.” Kataku tanpa sadar saat wanita itu pergi lebih dulu meninggalkan mesjid. Langkah wanita itu terhenti dan menengok kearahku.
Syukran yaa akhi.” Kata wanita itu dengan tersenyum. Ia kembali berjalan keluar dari mesjid.
“Apa yang telah aku katakan? Apa arti dari kata yang ia katakan? Apa dia marah dengan ucapanku tadi?” gumamku sambil menepuk mulutku. Rasanya aku bodoh sekali telah mengatakan hal itu.
Hari ini aku benar-benar dibuat seperti orang yang linglung, wanita itu membuatku seperti orang yang tidak waras. Aku terus membayangkan wanita itu sepanjang jalan menuju rumah, wanita itu benar-benar membuatku tergila-gila padanya. Wanita itu benar-benar wanita yang sempurna gumamku. Andai saja dia bisa menjadi milikku, dia adalah sosok wanita yang selama ini kucari. Entah dari mana pikiran itu mulai muncul dalam otakku. Tiba-tiba saja bayangan untuk menjadikan wanita itu sebagai istri mulai muncul dibenakku. Ya, aku ingin ia menjadi istriku. Pasti akan sangat bahagia bila mempunyai istri seperti wanita itu. Pikiran itu semakin kuat bergelayut diotakku. Akan kukatakan padanya aku menginginkannya. Ya, aku akan mengatakannya besok gumamku.

*********

“Noura, laki-laki itu sebenarnya siapa?” tanya Wanda diperjalanan pulang.
“Aku juga kurang begitu kenal, tadi siang aku melihatnya sedang duduk dan memperhatikan jama’ah yang sedang sholat. Aku sudah mengira kalau dia tertarik tentang Islam, jadi aku mengajaknya untuk datang sore ini. Dan ternyata dia memang tertarik dengan agama Islam.” Ceritaku.
 “Oh, begitu. Lalu apa maksud dari ucapannya tadi?” kata Wanda setengah meledek.
“Entahlah,” jawabku dengan tersipu malu. Lelaki itu memang berhasil membuat wajahku merona malu hari ini.
“Hei, kenapa kau senyum-senyum sendiri? Apa kau memikirkan lelaki itu?” Wanda mengagetkanku.
“Ah, tidak. Aku sedang memikirkan hal yang lain,” elakku.
“Kamu tidak berbakat berbohong Noura, sepertinya kau sama dengan laki-laki itu. Sama-sama jatuh cinta.” Kata Wanda.
“Tidak, Wanda. Semoga saja tidak,” kataku.
“Kenapa tidak? Dia tertarik dengan Islam, dia pasti mau berpindah agama demi menikah denganmu.” Kata Wanda.
“Entahlah, tetapi aku ingin yang menjadi alasannya untuk hijrah adalah karena Allah SWT, mungkin jika memnag ditakdirkan seperti itu, aku tidak bisa menolaknya,” jawabku.
“Kau benar, Noura. Tetapi jujurlah, kau memang menyukainya bukan?” tanya Wanda.
“Entahlah, tapi dia berhasil membuat hatiku bergetar Wanda. Dan rasanya aku tidak pernah seperti ini sebelumnya.” Jawabku lirih.
“Kau percayakan dengan jodoh yang telah diatur oleh Allah? Semoga saja kau memang berjodoh dengannya.” Kata Wanda.
“Iya, aamiin.” Kataku.
Wanda pamit menuju rumahnya yang berada dibelakang rumahku. Sebelum masuk ke rumah, aku menyempatkan duduk dikursi rotan yang ada di teras rumah. Aku mulai memikirkan ucapan Wanda, jika memang berjodoh, halangan apapun pasti dapat dilalui. Ya, aku yakin itu, jika Allah berkehendak, tidak ada yang bisa menghalangi kehendak-Nya.


*********

Entah kenapa, waktu terasa berlalu dengan lambat. Waktu masih menunjukkan jam 11.25 WIB, aku benar-benar tidak sabar agar jam bundar yang ada di  dinding kantorku menunjukkan jam 15.30 sore. Aku memainkan pulpen yang ada dimeja kantorku untuk menghilangkan rasa bosan. Aku mulai membayangkan kembali wajah Noura, senyumku kembali mengembang saat aku membayangkan senyumannya. Ya Tuhan, aku benar-benar menyukai wanita itu dan sangat berharap sekali bisa memilikinya. Aku mulai merangkai kata-kata yang akan kuucapkan saat aku bertemu dengannya nanti. Tekatku sudah bulat, hari ini aku akan mengutarakan keinginanku. Apapun akan kulakukan agar dia mau menjadi kekasihku.

*********

“Hei, Noura, kenapa dari tadi kamu terus memperhatikan jam itu?” tanya Nita yang sepertinya sejak tadi memperhatikanku.
“Ah, tidak apa-apa,” jawabku.
“Apa kau sedang menunggu sesuatu?” tanya Nita.
“Tidak, aku hanya merasa waktu berjalan dengan lambat hari ini.” Kataku.
“Memangnya ada apa? Tumben kamu memperhatikan waktu?” tanya Nita lagi.
“Tidak apa-apa. Sebentar lagi waktu sholat Dzuhur tiba, ayo kita bersiap,” ajakku sekalian untuk mengalihkan perhatian Nita.
“Baiklah, ayo kita bersiap.” Kata Nita.
Aku membereskan berkas-berkas yang berserakan di meja kerjaku lalu pergi ke mesjid dekat kantor untuk sholat Dzuhur bersama Nita. Suara adzan terdengar saat kami memasuki depan mesjid, aku dan Nita bergegas pergi menuju tempat berwudhu dan masuk kedalam mesjid untuk ikut sholat berjama’ah.
“Kenapa sejak dari mesjid tadi kau hanya diam Noura?” tanya Nita saat perjalanan menuju kantor.
“Tidak apa-apa. Entahlah, aku hanya sedang tidak berselera untuk banyak bicara,” jawabku.
“Apa kau sedang sakit?” tanya Nita lagi.
“Tidak, Alhamdulillah aku sehat,” jawabku
“Baiklah kalau begitu, ayo kita bekerja lagi.” Ajak Nita. aku mengangguk, aku kembali mengambil beberapa berkas dan menyelesaikannya untuk laporan pekerjaanku.

*********

“Permisi Pak Hans,” kata Julie sekretarisku.
“Ya, ada apa?” tanyaku.
“Sore ini Bapak ada meeting dengan klien, pak,” kata Julie.
“Tolong kamu batalkan, saya ada janji penting hari ini.” Kataku pada Julie.
"Tapi, Pak,” kata Julie.
“Batalkan!” kataku dengan keras.
“Baiklah, saya akan atur jadwal barunya Pak.” kata Julie setengah takut. Aku mengisyaratkan agar Julie keluar dari ruanganku. Saat ini aku benar-benar tidak ingin diganggu.
Aku melirik pada jam dinding yang baru menunjukkan pukul 14.30 WIB, andai bisa rasanya ingin sekali aku mempercepat waktu. Aku mengambil jasku dan memasangnya, aku memutuskan untuk pulang lebih awal hari ini. Lebih baik menunggu di mesjid daripada disini, lagipula, nantinya aku akan terkena macet, jadi lebih baik aku pergi lebih dulu kesana gumamku.

*********

Aku menengok jam yang melingkar ditangan kiriku, waktu menunjukkan pukul 15.15 WIB, tampak beberapa orang datang ke mesjid, sepertinya mereka bersiap untuk melakukan sholat. Aku memilih diam didalam mobil sampai mereka selesai beribadah. Aku mengambil laptopku dan membuka beberapa file sembari menunggu. Waktu menunjukkan 15.50 WIB, suara adzan telah dikumandangkan, sekarang semua orang dimesjid telah bersiap untuk sholat.
Tanpa sengaja aku tertidur didalam mobil, saat aku bangun mesjid kembali sepi, tetapi segerombolan anak kecil datang dari arah depan mesjid. Mereka menggunakan busana muslim dan membawa tas yang entah berisi apa. Sepertinya mereka akan melakuan sesuatu, aku turun dari mobil dan menghampiri mereka.
“Halo, dek. Apa yang mau kalian lakukan?” tanyaku pada anak-anak itu.
“Kami mau belajar mengaji, om.” Jawab anak itu serentak.
“Oh, begitu. siapa yang mengajari kalian?” tanyaku lagi.
“Kak. Wanda dan Kak. Noura, Om.” Mereka kembali menjawab dengan serentak.
“Apa Kak. Noura sudah datang?” tanyaku.
“Belum, Om.” Jawab salah satu dari mereka.
“Baiklah, kalau begitu. Silahkan kalian masuk ke mesjid.” Anak-anak itu masuk kedalam mesjid. Aku duduk di teras mesjid menunggu Noura.
5 menit kemudian, akhirnya Noura datang bersama temannya. Dari jauh, aku sudah memasang wajah yang penuh senyuman, Akhirnya, penantian panjangku hari ini berujung dengan pertemuanku dengan Noura.
“Halo Noura,” sapaku.
“Halo, Hans,” balas Noura.
“Noura, apa kita bisa bicara sebentar?” tanyaku pada Noura.
“Tentu,” jawab Noura.
“Bolehkah aku berbicara denganmu hanya berdua?” tanyaku lagi. Noura dan temannya saling berpandangan.
“Memangnya apa yang ingin anda bicarakan?” tanya Noura.
“Tentang hal pribadi. Apa anda keberatan?” tanyaku.
“Tidak, tetapi wanita tidak boleh berduaan dengan lelaki yang bukan mahramnya. Itu yang membuat saya agak sedikit ragu,” jawab Noura.
“Percayalah, saya tidak akan melakukan hal yang tidak-tidak. Lagipula kita berada ditempat umum.” Kataku meyakinkan Noura.
“Baiklah, tetapi kita bicara disini saja,” kata Noura.
“Baiklah, saya setuju.” Noura kemudian berbicara pada temannya agar masuk ke dalam mesjid lebih dulu. Lalu kami duduk di teras mesjid.
“Apa yang ingin ada bicarakan?” tanya Noura.
“Saya tidak tahu harus memulai dari mana, tetapi sejak saya bertemu dengan anda kemarin, ada yang berubah dari diri saya. Anda seperti jawaban yang saya cari selama ini. Anda terlihat sangat cantik dan baik hati, saya jatuh hati pada anda. Saya ingin anda menjadi pasangan hidup yang akan menemani saya dalam senang maupun susah. Maukah anda hidup dengan saya?” kataku dengan panjang lebar.
Kulihat Noura hanya diam, matanya tampak seperti berkaca-kaca. Ia menunduk dan diam seribu bahasa, namun kemudian ia tampak mengangkat wajahnya dan menatap kearahku.
“Sebagai wanita biasa, saya juga terpikat oleh kharisma anda, sayapun jatuh hati pada sikap lembut yang anda perlihatkan. Tetapi, saya tidak bisa menemani anda dengan keadaan kita yang seperti ini. Anda dan saya berbeda, itu tidak mungkin dipaksakan. Tetapi jika anda benar-benar serius, anda bisa ikut dengan saya. Tetapi anda harus meninggalkan tentang kerohanian anda yang sekarang dan berganti menjadi sama seperti saya.” kata Noura. Ucapannya itu membuatku berpikir keras. Aku mengerti maksudnya yang memintaku menjadi seorang muslim.
Untuk sejenak aku terdiam, perang batin terjadi dihatiku. disatu sisi, aku ingin bersama dengan Noura, disisi lain menunjukkan betapa akan sulitnya aku meninggalkan hidupku yang lama. Akan ada kata-kata yang tajam dari orang tua, keluarga dan teman-temanku.
“Jika anda butuh waktu, saya akan dengan senang hati menunggu. pikirkanlah baik-baik, ikutilah apa yang menjadi kata hati anda. Saya percaya, anda bisa memilih yang terbaik untuk hidup anda sendiri.” Kata Noura. Aku menatap dalam wajah Noura, mungkin aku bisa menemukan jawaban dalam matanya yang teduh.
“Baiklah, saya permisi dulu,” Noura beranjak dari duduknya. Saat kakinya mulai melangkah, aku menahan tangannya.
“Dengan nama Tuhan, saya memilih anda dan agama anda, dan saya akan meninggalkan keyakinan saya dan mengikuti keyakinan anda.” Kataku dengan lantang. Mata Noura tampak berkaca-kaca. Ia menangis haru atas ucapanku tadi. Akupun merasa sangat lega saat bisa mengatakannya, seperti beban yang tidak terlihat hilang untuk selamanya.
“Lalu apa yang sekarang harus saya lakukan?” tanyaku pada Noura.
“Anda bisa secepatnya mengucapkan dua kalimat syahadat didepan ustadz dan saksi-saksi, saya akan bantu anda mengurusnya.” Kata Noura. Aku mengangguk, mengiyakan perkataannya.
“Lalu bagaimana dengan pernikahan kita?” godaku. Noura tampak tersenyum malu mendengar pertanyaanku.
“Seharusnya saya yang bertanya, kapan anda datang dan meminta langsung kepada orang tua saya?” balas Noura.
“Baiklah, hari ini juga bisa,” aku tidak mau kalah.
“Kalau begitu, pulang dari mesjid, kita pergi kerumah saya.” Kata Noura. Aku mengangguk. Kemudian Noura mengajakku masuk ke dalam mesjid dan ikut belajar dengan anak-anak yang lain.
Setelah selesai belajar, Noura memintaku menunggu. Ia mengatakan bahwa Ustadz akan datang ke msjid sebentar lagi. Setelah beberapa waktu menunggu, Ustadz yang dimaksud Noura datang, ia datang bersama beberapa orang lainnya. Aku mengutarakan keinginanku, dan Ustadz itu mengabulkan permintaanku. Beliau menjabat tanganku dan memintaku mengikuti dua kalimat syahadat yang diucapkannya. Setelah selesai, akupun resmi menjadi seorang muslim. Aku menatap kearah Noura yang terseyum haru. Aku mengatakan pada Ustadz akan niatku untuk menikahi Noura dan menceritakan bahwa hal yang membuatku yakin memeluk Islam adalah karena aku ingin menikahinya. Ustadz itu mengatakan bahwa aku harus di khitan terlebih dahulu, dan akupun menyetujuinya. Disamping itu, akupun mendapat nama baru, Muhammad Yusuf Thalhah. Nama tersebut dimiliki oleh orang-orang yang memiliki cerita luar biasa dalam Islam. Aku meminta agar Ustadz tersebut mau menjadi pembimbingku, dan beliau menyetujuinya. Dan sekarang, aku benar-benar hijrah dari dunia yang gelap menuju dunia yang penuh cahaya terang benderang.
Setelah selesai, aku menepati janjiku pada Noura untuk datang kerumahnya. Awalnya aku sempat merasa khawatir dengan respon kedua orang tuanya, Tetapi Allah benar-benar meridhoi rencanaku. Mereka tak keberatan putri solehah mereka dipersunting olehku yang baru saja menjadi muallaf. Kuceritakan juga bahwa aku bersedia memeluk Islam agar dapat menikah dengan Noura. Mereka mengatakan bahwa hal ini mirip dengan cerita di zaman Nabi Muhammad dimana seorang lelaki kafir yang menyukai seorang wanita muslim rela memeluk agama Islam hanya untuk menikah dengan wanita tersebut, dan mahar yang diberikan bukanlah emas atau perak, melainkan ke-Islamannyalah yang menjadi mahar nikah mereka. Rasanya lengkaplah sudah kebahagianku, hidupku benar-benar terasa sempurna.

*********

Hari ini, hari pernikahanku dengan Hans. Perasaanku menjadi tak karuan, senang, bahagia dan juga sedih menyatu dihatiku. Wanda mengatakan bahwa Hans sudah datang, Wanda mengatakan Hans terlihat gagah dengan busana pengantin putih yang ia kenakan. Wanda juga memujiku, ia mengatakan bahwa aku juga terlihat sangat cantik dengan gaun pengantinku. Aku menunggu dalam kamar, Ibuku mengatakan bahwa ijab qabul akan segera dilaksanakan. Jantungku semakin berdetak kencang. Kudengar beberapa orang mengatakan “sah”, Wanda memelukku, ia mengucapkan selamat kepadaku. Lalu aku dibawa keluar untuk menemui suamiku. Aku tidak bisa menutupi senang dan haru yang muncul. Aku mencium tangan Hans yang sekarang telah resmi menjadi suamiku lalu duduk disampingnya. Kami menandatangani beberapa dokumen. Lalu kami saling memasangkan cincin, riuh sorak dan tepuk tangan terdengar saat Hans mengecup keningku untuk pertama kalinya. Sungguh hari yang benar-benar membahagiakan.
“Kenapa kau terus memandangiku?” tanyaku pada Hans.
“Entahlah, rasanya aku tidak mau berpaling sedikitpun dari wajah cantikmu.” Kata Hans setengah merayu. Aku tertunduk malu, ia tersenyum melihat reaksiku.
“Noura, jadilah istriku yang setia dan terus damping aku dalam senang maupun susah. Ajari aku bagaimana menjadi muslim, suami dan ayah yang baik untuk keluarga kecil kita nanti,” kata Hans. Ucapan Hans benar-benar membuatku terharu, aku hampir meneteskan air mata karenanya.
“Iya, Hans. Aku berjanji. Dan aku mohon, jadilah suami yang bisa menjadi imam bagiku dan anak-anak kita nanti.” Pesanku pada Hans.
“Iya, istriku.” Hans meraih tanganku dan menciumnya lalu memelukku. Nyaman sekali rasanya berada dipelukan Hans.
Ibu memanggil kami untuk keluar dan bersalaman dengan para tamu undangan. Aku menggenggam erat tangan Hans dan berjalan menuju pelaminan. Kami bersalaman dengan para tamu. Sungguh, ini adalah hari yang menggembirakan. Semoga saja cinta dan kebahagiaan ini akan terus terjaga selamanya.




*****selesai****

Tidak ada komentar:

Posting Komentar