Lagi-lagi
dia hanya melewatiku, gumamku. Aku memang sudah sering hanya dilewati olehnya
tanpa pernah menoleh sedikitpun kearahku. Dia terlalu sibuk dengan benda-benda
di sekitarnya. Kertas-kertas yang berhamburan, buku-buku pekerjaannya,
handphone yang tak pernah jauh dari tubuhnya dan laptop yang tak pernah lepas
dari tangannya. Sedangkan aku, aku hanya ditaruhnya disudut lemarinya. Katanya,
aku akan aman di sana. Kecuali debu yang sudah sangat tebal menyelimutiku.
Dia
memang menyukaiku, namun ia jarang sekali menggunakan aku. Padahal aku sangat
berguna untuknya. Bagian dalam diriku yang akan menjadi ilmu dan pedoman
baginya. Namun, dia sudah terlalu sibuk dengan hal-hal yang menyenangkan
baginya.
Sudah
beberapa bulan ia tidak pernah menyentuhkan dan membiarkan debu menempel
dikulitku. Rasanya aku ingin sekali berteriak. “Baca aku satu halaman saja atau
setidaknya bersihkan debu ditubuhku!!!”. Aku ingin sekali ia mendengar
teriakanku ini. Namun, ia terlalu asyik mendengarkan semua lagu favoritnya
dengan headset. Ia sama sekali tidak pernah mendengarkanku.
Ingin
sekali rasanya hal ini kuadukan kepada Tuhan, dia sudah terlalu melupakan hal
yang seharusnya diingat. Dia terlalu asyik dengan dunianya. Tuhan, tolong
ingatkan dia, dia tidak hanya harus mengurus kehidupannya di dunia, melainkan
dia juga harus mempersiapkan bekalnya untuk kembali ke alam baka nanti, dan
akulah orangnya yang dapat memberinya bekal itu, do’aku kepada Tuhan.
Namun,
sepertinya Tuhan belum menjawab do’aku. Ia masih saja mengisi waktunya dengan
pekerjaan dunianya. Aku menangis. Disudut lemari ini aku menangis. Aku seperti
benda yang tidak ada gunanya. Padahal yang kuinginkan hanyalah dia juga
memperhatikanku. Mengusap debu ditubuhku dan membaca aku walaupun hanya satu
halaman. Aku sangat bermanfaat baginya.
Aku
merasakan sebuah tangan sedang mengangkatku. Dia mengangkatku dan membersihkan
debu ditubuhku. Ia melap tubuhku dengan kertas lembut berwarna putih. Betapa
senangnya aku saat ini. Aku merasakan sapuan demi sapuannya saat membersihkan
debu ditubuhku. Lalu ia membawaku dan membuka bagian depan tubuhku. Dia mulai
mengucapkan Ta’awudz dan Basmalah. Matanya mulai menatap setiap huruf yang ada
padaku dan membacanya dengan merdu meski tak semerdu seorang Qori atau Qoriah.
Aku meneteskan air mata, saat ia membaca ayat demi ayat yang tertulis padaku.
Terima kasih ya Allah, Kau telah mendengar do’aku. Ia kini lebih
memperhatikanku. Dan sekarang, aku telah menjadi bagian dari hidupnya seperti
yang selama ini aku inginkan.
Selesai
Tidak ada komentar:
Posting Komentar