Minggu, 29 Juni 2014

Tantangan @KampusFiksi #NarasiSemesta: Suara Hati Mushaf Suci



Lagi-lagi dia hanya melewatiku, gumamku. Aku memang sudah sering hanya dilewati olehnya tanpa pernah menoleh sedikitpun kearahku. Dia terlalu sibuk dengan benda-benda di sekitarnya. Kertas-kertas yang berhamburan, buku-buku pekerjaannya, handphone yang tak pernah jauh dari tubuhnya dan laptop yang tak pernah lepas dari tangannya. Sedangkan aku, aku hanya ditaruhnya disudut lemarinya. Katanya, aku akan aman di sana. Kecuali debu yang sudah sangat tebal menyelimutiku.


Dia memang menyukaiku, namun ia jarang sekali menggunakan aku. Padahal aku sangat berguna untuknya. Bagian dalam diriku yang akan menjadi ilmu dan pedoman baginya. Namun, dia sudah terlalu sibuk dengan hal-hal yang menyenangkan baginya.
Sudah beberapa bulan ia tidak pernah menyentuhkan dan membiarkan debu menempel dikulitku. Rasanya aku ingin sekali berteriak. “Baca aku satu halaman saja atau setidaknya bersihkan debu ditubuhku!!!”. Aku ingin sekali ia mendengar teriakanku ini. Namun, ia terlalu asyik mendengarkan semua lagu favoritnya dengan headset. Ia sama sekali tidak pernah mendengarkanku.
Ingin sekali rasanya hal ini kuadukan kepada Tuhan, dia sudah terlalu melupakan hal yang seharusnya diingat. Dia terlalu asyik dengan dunianya. Tuhan, tolong ingatkan dia, dia tidak hanya harus mengurus kehidupannya di dunia, melainkan dia juga harus mempersiapkan bekalnya untuk kembali ke alam baka nanti, dan akulah orangnya yang dapat memberinya bekal itu, do’aku kepada Tuhan.
Namun, sepertinya Tuhan belum menjawab do’aku. Ia masih saja mengisi waktunya dengan pekerjaan dunianya. Aku menangis. Disudut lemari ini aku menangis. Aku seperti benda yang tidak ada gunanya. Padahal yang kuinginkan hanyalah dia juga memperhatikanku. Mengusap debu ditubuhku dan membaca aku walaupun hanya satu halaman. Aku sangat bermanfaat baginya.

Aku merasakan sebuah tangan sedang mengangkatku. Dia mengangkatku dan membersihkan debu ditubuhku. Ia melap tubuhku dengan kertas lembut berwarna putih. Betapa senangnya aku saat ini. Aku merasakan sapuan demi sapuannya saat membersihkan debu ditubuhku. Lalu ia membawaku dan membuka bagian depan tubuhku. Dia mulai mengucapkan Ta’awudz dan Basmalah. Matanya mulai menatap setiap huruf yang ada padaku dan membacanya dengan merdu meski tak semerdu seorang Qori atau Qoriah. Aku meneteskan air mata, saat ia membaca ayat demi ayat yang tertulis padaku. Terima kasih ya Allah, Kau telah mendengar do’aku. Ia kini lebih memperhatikanku. Dan sekarang, aku telah menjadi bagian dari hidupnya seperti yang selama ini aku inginkan.

Selesai

Tidak ada komentar:

Posting Komentar