Minggu, 22 Juni 2014

Tantangan @KampusFiksi #Fiksi Bangun Tidur: Pengganti yang Sempurna.


Pengganti yang Sempurna


Dalam keadaan setengah tidak sadar kurasakan badanku berguncang. Astaga, aku tertidur semalaman di sini. Terasa olehku sisa air mata semalam di sekitar mataku. Dengan keadaan yang belum sadar sepenuhnya aku menatap orang yang telah membangunkanku.
“Mba ketiduran di sini ya?” tanyanya.
“Iya, mungkin karena kelelahan.” Aku mengusap wajahku dan mendapati orang yang telah membangunkanku adalah seoarang lelaki.


“Sepertinya Mba habis menangis.” Kata lelaki itu. Aku mengangguk.
“Ini makam siapa Mba? Wah, mba berani sekali tidur semalaman di pemakaman. Saya saja yang laki-laki takut lho, Mba.” Kata lelaki itu. Aku tersenyum mendengar ucapan lelaki itu. Mungkin jika saja aku sadar, aku juga akan sangat takut untuk tidur di tengah pemakaman seperti tadi.
“Saya ketiduran mas, dan saya baru sadar setelah mas bangunkan tadi. Makam ini makam orang yang sangat saya sayangi. Saya masih belum bisa menerima kepergiannya.” Ceritaku pada lelaki itu.
“Oh, gitu. Ya, namanya juga hidup, Mba. Ada yang datang, ada juga yang pergi. mungkin sekarang mba kehilangan, tapi nanti pasti di ganti sama Allah, Mba. Digantinya sama yang lebih baik lagi.” Kata lelaki itu. Aku tidak menyangka dia bisa sedewasa itu, kulihat raut wajahnya sepertinya ia masih muda, bahkan tampaknya lebih muda dariku.
“Iya, mas. Ngomong-ngomong, kita dari tadi ngomong tapi belum kenalan. Saya Gina Qurrata, kalau nama mas siapa?” tanyaku.
“Saya Andi Mba, Andi Abdillah.”.
“Terima kasih mas Andi, sudah mau menemani saya. Saya pamit dulu” pamitku ketika telah sampai di gerbang pemakaman,
“Iya, Mba Gina. Saya juga senang bisa menghibur Mba hari ini.”. kata Andi dengan wajah yang tersenyum. Aku memanggil mobil taksi yang kebetulan lewat di depan pemakaman ini.
“Assalamu’alaikum, Mas.” Salamku sebelum masuk ke dalam taksi.
“Wa’alaikum salam warahmatullahi wabarakatuh.” Jawab Andi.
Dan  kesepian kembali melandaku. Kembali menyeruak kenanganku bersama Hafi yang telah tiada. Kecelakaan hebat yang telah merenggutya dariku saat ia pulang bekerja. Aku mengutuk orang yeng telah membuat Hafi kehilangan nyawanya dan membuatku kehilangan Hafi. Padahal, hari ini adalah hari lamaran kami. Namun, Hafi telah pergi dan tak akan kembali. Hal inilah yang membuatku menangis sampai tertidur di pemakaman.
Sesampainya dirumah, tampak beberapa orang sedang mondar-mandir dan gelisah di rumahku. Mungkin mereka sedang kebingungan mencariku yang pergi semalaman. Aku membuka pintu dan mereka semua menatap ke arahku.
“Assalamu’alaikum, ma’af saya pergi tanpa pamit.” Ucapku sadar aku telah membuat keluargaku panik.
“Wa’alaikum salam. Gina, kamu pergi kemana? Umi dan yang lain hawatir sama kamu.” Umi memelukku. Umilah yang paling khawatir dengan keadaanku setelah kepergian Hafi.
“Gina pergi ke makam Hafi, Umi. Gina ketiduran disana.” Jawabku.
“Lain kali jangan seperti ini lagi ya, nak. Umi, Abi dan saudara  kamu nyariin kamu.” Pesan Umi
“Iya, Umi. Ma’afin Gina. Gina janji ini tidak akan terulang lagi.” Kataku.
“Ya sudah, kamu mandi dulu. Bersihin badan kamu.”. Aku mengangguk.

Disaat sendiri, aku kembali teringat dengan Hafi, mungkin yang kubutuhkan sekarang adalah seorang teman yang mau menemaniku melewati masa-masa menyakitkan ini. Namun, siapa orangnya? Teman-temanku sedang sibuk dengan pekerjaan mereka masing-masing, sahabat terdekatku pun begitu. Mereka mungkin tak ada waktu untuk menemaniku walaupun Cuma sebentar. Mungkin aku harus menyibukkan diriku dengan kegiatan-kegiatan. Tapi kegiatan apa yang dapat membuatku melupakan Hafi? Sedangkan dulu kegiatan yang kulakukan selalu dengan Hafi. Aku menggumam sendiri dan akhirnya air mataku tumpah lagi. Mengingat bahwa dulu Hafi lah yang selalu menemaniku apapun yang ku lakukan. Aku tidak punya siapa-siapa selain Hafi. Dan saat Hafi pergi, aku seperti kehilangan separuh dari semangatku. Aku mengusap air mataku. Aku teringat kembali dengan perbincanganku dengan Andi tadi pagi. Aku berusaha mengingat setiap percakapan kami. Ya, dia membuatku sedikit melupakan rasa kehilanganku. Dan dia juga lelaki pertama yang mau mendengarkan ceritaku walaupun kami baru saja bertemu. Aku berharap dapat bertemu lagi dengannya. Mungkin dia bisa jadi temanku untuk bercerita.
Keesokan paginya, setelah sholat Subuh, aku bergegas menuju pemakaman berharap dapat bertemu dengan Andi disana. Namun, aku tidak melupakan Hafi. Aku membawa sebungkus bunga untuk kutaburkan diatas makam Hafi. Sesampainya di makam, kutaburkan dengan perlahan bunga yang kubawa untuk Hafi. Aku mengusap nisan yang bertuliskan nama Hafi dan menciumnya, aku kembali larut dalam kesedihan. Namun sebuah tangan yang menyentuh bahuku mengagetkanku, aku menengok ke arah pemilik tangan tersebut. Dan ternayata tangan itu adalah tangan orang yang ingin ku temui di tempat ini.
“Mba masih nggak ikhlas?” tanya Andi yang juga ikut duduk di samping makam.
“Rasanya sulit sekali untuk mengikhlaskannya, Mas. Hafi terlanjur menjadi bagian dalam diri saya.”. ceritaku.
“Sebaiknya Mba ikhlaskan kepergian Mas Hafi. Biar Mas Hafi tenang. Pasti disana Mas Hafi sedih melihat Mba yang terus menangis.” Hibur Andi. Aku tersenyum mendengar ucapannya, ucapan sederhananya membuatku lebih tenang untuk saat ini.
“Memangnya, Mas Hafi itu siapanya Mba?” tanya Andi tiba-tiba.
“Dia calon suami saya. Hafi meninggal karena kecelakaan saat ia pulang bekerja. Dan akhirnya, disinilah ia sekarang.” Aku menyandarkan kepalaku ke nisan Hafi.
“Tragis sekali ya, Mba. Tapi, dibalik semua itu pasti Allah sudah menyiapkan hal yang lebih indah lagi dari ini Mba. Mba harus sabar dan ikhlas agar Allah menggantinya dengan yang lebih baik lagi.”. Aku kembali hanya bisa tersenyum mendengar ucapan Andi. Dia benar-benar memiliki pemikiran yang sangat dewasa.
“Terima kasih ya, Mas. Saya benar-benar menjadi lebih tenang sekarang. Jujur, alasan saya ke sini bukan hanya uintuk mengunjungi makam Hafi, tapi juga untuk bertemu Mas Andi.” Kataku dengan wajah yang tersipu.
“Lho, kok gitu, Mba?” tanya Andi.
“Saya juga nggak tahu, tapi saya benar-benar seperti mempunyai harapan lagi untuk hidup saat mendengar ucapan-ucapan Mas Andi.”. Andi tersipu mendengar ucapanku.
“Mas, mau kan jadi teman saya? Setidaknya, saya punya teman untuk bercerita?” pintaku.
“Tentu saja mau,Mba. Saya mau sekali jadi teman Mba.” Jawab Andi.
“Syukurlah, kalau begitu.” Ucapku dengan wajah yang senang. Andi pun tersenyum. Kami akhirnya pergi meninggalkan makam Hafi, Andi mengajakku untuk sarapan bersama untuk merayakan pertemanan kami, aku menyetujuinya dan kami mencari tempat terdekat untuk sarapan.

Pagi ini, rasanya aku kembali bersemangat. Aku merasa Hafi telah kembali bersamaku melalui Andi. Hari ini kami berencana untuk mengunjungi makam Hafi, 3 hari yang lalu Andi berniat ingin melamarku, dan ia ingin meminta restu pada Hafi agar kami bisa menikah akhir bulan nanti.
SELESAI

Tidak ada komentar:

Posting Komentar