Pengganti yang Sempurna
Dalam
keadaan setengah tidak sadar kurasakan badanku berguncang. Astaga, aku tertidur
semalaman di sini. Terasa olehku sisa air mata semalam di sekitar mataku. Dengan
keadaan yang belum sadar sepenuhnya aku menatap orang yang telah
membangunkanku.
“Mba
ketiduran di sini ya?” tanyanya.
“Iya,
mungkin karena kelelahan.” Aku mengusap wajahku dan mendapati orang yang telah
membangunkanku adalah seoarang lelaki.
“Sepertinya
Mba habis menangis.” Kata lelaki itu. Aku mengangguk.
“Ini
makam siapa Mba? Wah, mba berani sekali tidur semalaman di pemakaman. Saya saja
yang laki-laki takut lho, Mba.” Kata lelaki itu. Aku tersenyum mendengar ucapan
lelaki itu. Mungkin jika saja aku sadar, aku juga akan sangat takut untuk tidur
di tengah pemakaman seperti tadi.
“Saya
ketiduran mas, dan saya baru sadar setelah mas bangunkan tadi. Makam ini makam
orang yang sangat saya sayangi. Saya masih belum bisa menerima kepergiannya.”
Ceritaku pada lelaki itu.
“Oh,
gitu. Ya, namanya juga hidup, Mba. Ada yang datang, ada juga yang pergi.
mungkin sekarang mba kehilangan, tapi nanti pasti di ganti sama Allah, Mba.
Digantinya sama yang lebih baik lagi.” Kata lelaki itu. Aku tidak menyangka dia
bisa sedewasa itu, kulihat raut wajahnya sepertinya ia masih muda, bahkan
tampaknya lebih muda dariku.
“Iya,
mas. Ngomong-ngomong, kita dari tadi ngomong tapi belum kenalan. Saya Gina
Qurrata, kalau nama mas siapa?” tanyaku.
“Saya
Andi Mba, Andi Abdillah.”.
“Terima
kasih mas Andi, sudah mau menemani saya. Saya pamit dulu” pamitku ketika telah
sampai di gerbang pemakaman,
“Iya,
Mba Gina. Saya juga senang bisa menghibur Mba hari ini.”. kata Andi dengan
wajah yang tersenyum. Aku memanggil mobil taksi yang kebetulan lewat di depan
pemakaman ini.
“Assalamu’alaikum,
Mas.” Salamku sebelum masuk ke dalam taksi.
“Wa’alaikum
salam warahmatullahi wabarakatuh.” Jawab Andi.
Dan kesepian kembali melandaku. Kembali menyeruak
kenanganku bersama Hafi yang telah tiada. Kecelakaan hebat yang telah merenggutya
dariku saat ia pulang bekerja. Aku mengutuk orang yeng telah membuat Hafi
kehilangan nyawanya dan membuatku kehilangan Hafi. Padahal, hari ini adalah
hari lamaran kami. Namun, Hafi telah pergi dan tak akan kembali. Hal inilah
yang membuatku menangis sampai tertidur di pemakaman.
Sesampainya
dirumah, tampak beberapa orang sedang mondar-mandir dan gelisah di rumahku.
Mungkin mereka sedang kebingungan mencariku yang pergi semalaman. Aku membuka
pintu dan mereka semua menatap ke arahku.
“Assalamu’alaikum,
ma’af saya pergi tanpa pamit.” Ucapku sadar aku telah membuat keluargaku panik.
“Wa’alaikum
salam. Gina, kamu pergi kemana? Umi dan yang lain hawatir sama kamu.” Umi
memelukku. Umilah yang paling khawatir dengan keadaanku setelah kepergian Hafi.
“Gina
pergi ke makam Hafi, Umi. Gina ketiduran disana.” Jawabku.
“Lain
kali jangan seperti ini lagi ya, nak. Umi, Abi dan saudara kamu nyariin kamu.” Pesan Umi
“Iya,
Umi. Ma’afin Gina. Gina janji ini tidak akan terulang lagi.” Kataku.
“Ya
sudah, kamu mandi dulu. Bersihin badan kamu.”. Aku mengangguk.
Disaat
sendiri, aku kembali teringat dengan Hafi, mungkin yang kubutuhkan sekarang
adalah seorang teman yang mau menemaniku melewati masa-masa menyakitkan ini.
Namun, siapa orangnya? Teman-temanku sedang sibuk dengan pekerjaan mereka
masing-masing, sahabat terdekatku pun begitu. Mereka mungkin tak ada waktu
untuk menemaniku walaupun Cuma sebentar. Mungkin aku harus menyibukkan diriku
dengan kegiatan-kegiatan. Tapi kegiatan apa yang dapat membuatku melupakan
Hafi? Sedangkan dulu kegiatan yang kulakukan selalu dengan Hafi. Aku menggumam
sendiri dan akhirnya air mataku tumpah lagi. Mengingat bahwa dulu Hafi lah yang
selalu menemaniku apapun yang ku lakukan. Aku tidak punya siapa-siapa selain
Hafi. Dan saat Hafi pergi, aku seperti kehilangan separuh dari semangatku. Aku
mengusap air mataku. Aku teringat kembali dengan perbincanganku dengan Andi
tadi pagi. Aku berusaha mengingat setiap percakapan kami. Ya, dia membuatku
sedikit melupakan rasa kehilanganku. Dan dia juga lelaki pertama yang mau
mendengarkan ceritaku walaupun kami baru saja bertemu. Aku berharap dapat
bertemu lagi dengannya. Mungkin dia bisa jadi temanku untuk bercerita.
Keesokan
paginya, setelah sholat Subuh, aku bergegas menuju pemakaman berharap dapat
bertemu dengan Andi disana. Namun, aku tidak melupakan Hafi. Aku membawa
sebungkus bunga untuk kutaburkan diatas makam Hafi. Sesampainya di makam,
kutaburkan dengan perlahan bunga yang kubawa untuk Hafi. Aku mengusap nisan
yang bertuliskan nama Hafi dan menciumnya, aku kembali larut dalam kesedihan.
Namun sebuah tangan yang menyentuh bahuku mengagetkanku, aku menengok ke arah pemilik
tangan tersebut. Dan ternayata tangan itu adalah tangan orang yang ingin ku
temui di tempat ini.
“Mba
masih nggak ikhlas?” tanya Andi yang juga ikut duduk di samping makam.
“Rasanya
sulit sekali untuk mengikhlaskannya, Mas. Hafi terlanjur menjadi bagian dalam
diri saya.”. ceritaku.
“Sebaiknya
Mba ikhlaskan kepergian Mas Hafi. Biar Mas Hafi tenang. Pasti disana Mas Hafi
sedih melihat Mba yang terus menangis.” Hibur Andi. Aku tersenyum mendengar
ucapannya, ucapan sederhananya membuatku lebih tenang untuk saat ini.
“Memangnya,
Mas Hafi itu siapanya Mba?” tanya Andi tiba-tiba.
“Dia
calon suami saya. Hafi meninggal karena kecelakaan saat ia pulang bekerja. Dan akhirnya,
disinilah ia sekarang.” Aku menyandarkan kepalaku ke nisan Hafi.
“Tragis
sekali ya, Mba. Tapi, dibalik semua itu pasti Allah sudah menyiapkan hal yang
lebih indah lagi dari ini Mba. Mba harus sabar dan ikhlas agar Allah
menggantinya dengan yang lebih baik lagi.”. Aku kembali hanya bisa tersenyum
mendengar ucapan Andi. Dia benar-benar memiliki pemikiran yang sangat dewasa.
“Terima
kasih ya, Mas. Saya benar-benar menjadi lebih tenang sekarang. Jujur, alasan
saya ke sini bukan hanya uintuk mengunjungi makam Hafi, tapi juga untuk bertemu
Mas Andi.” Kataku dengan wajah yang tersipu.
“Lho,
kok gitu, Mba?” tanya Andi.
“Saya
juga nggak tahu, tapi saya benar-benar seperti mempunyai harapan lagi untuk
hidup saat mendengar ucapan-ucapan Mas Andi.”. Andi tersipu mendengar ucapanku.
“Mas,
mau kan jadi teman saya? Setidaknya, saya punya teman untuk bercerita?”
pintaku.
“Tentu
saja mau,Mba. Saya mau sekali jadi teman Mba.” Jawab Andi.
“Syukurlah,
kalau begitu.” Ucapku dengan wajah yang senang. Andi pun tersenyum. Kami akhirnya
pergi meninggalkan makam Hafi, Andi mengajakku untuk sarapan bersama untuk
merayakan pertemanan kami, aku menyetujuinya dan kami mencari tempat terdekat
untuk sarapan.
Pagi
ini, rasanya aku kembali bersemangat. Aku merasa Hafi telah kembali bersamaku
melalui Andi. Hari ini kami berencana untuk mengunjungi makam Hafi, 3 hari yang
lalu Andi berniat ingin melamarku, dan ia ingin meminta restu pada Hafi agar
kami bisa menikah akhir bulan nanti.
SELESAI
Tidak ada komentar:
Posting Komentar