Minggu, 11 Mei 2014

Tantangan @KampusFiksi: #CintaDuaCara : Cinta Kamu Selamanya....



 Cinta Kamu Selamanya….

“Lian, gue mau ngomong sama lo.” Aku berusaha menyembunyikan kegugupanku.
“Mau ngomong apa Met?” tanya Lian. Aku menarik nafas dalam-dalam.
“Lian, gue…” ucapanku terputus seketika saat seorang lelaki memanggil Lian.
“Lian, loe dicariin Nina, tuh.” Panggil Deni.
“Oke, nanti gue kesana.” Sahut Lian.
“Gue pergi dulu ya, Met. Gue ada urusan.” Pamit Lian, ia menepuk pundakku dan pergi. Dengan berat hati aku membiarkannya pergi.
“Padahalkan, gue cuman mau bilang gue suka sama lo, Lian.” Ucapku tertunduk lesu. Air hampir menetes dari pelupuk mataku, aku berusaha sekuat tenagaku menahannya.


“Darr… ngapain Met, disini sendirian?” tanya Maudi yang sukses membuatku kaget.
“Ngga pa-pa kok.” Jawabku bohong.
“Lo tahu ngga, kebohongan yang paling banyak diucapin sama orang-orang menurut survey?” tanya Maudi.
“Ya, enggaklah. Emangnya gue pernah survey yang kayak gituan.”.
“Ihh, makanya socmed jangan buat curhat doang, kan banyak  tuh akun isinya tentang informasi atau pengetahuan.” Kata Maudi.
“Iya, bawel banget sih!” gerutuku.
“Oh, ya, lo tahu nggak jawabannya?” tanyanya lagi.
“Gue gak tahu.” Jawabku singkat.
“Oke, jadi menurut tweet yang pernah gue baca, katanya kebohongan yang paling sering dibuat adalah saat mereka bilang baik-baik aja padahal sebaliknya.” Kata Maudi.
“Jadi, loe pengen bilang kalo gue bohong gitu?” Kataku kesal.
“Siapa yang ngomong kayak gitu? Gue cuman pengen kasih tahu lo doang.” Kata Maudi. Aku menggerutu dan mendengus kesal.
“Lo mau kemana, Met?” tanya Maudi setengah berteriak karena kutinggalkan.
“Kantin!” jawabku setengah berteriak pula.

“Lian, loe kemana sih? Gue pengen ngomong.” Gumamku. Aku berjalan di lorong sekolah berharap dapat menemukan Lian. Aku ingin mengungkapkan apa yang sejak lama kupendam sebelum aku kehilangan kesempatan. Dalam pencarianku, mataku terhenti pada bangku taman sekolah. Disana tampak seorang lelaki dan perempuan yang bercanda mesra. Lelaki itu, lelaki yang kusukai sejak lama sedang bermesraan dengan wanita lain. Air mataku menetes tanpa kusadari, aku menutupi wajahku dengan tangan dan berlari meninggalkan tempat itu.
Di tempat lain di sekolah, aku menangis tersedu. Rasanya hatiku hancur tak terkira melihat Lian dengan Nina. Aku memang sudah curiga dengan hubungan mereka, tapi aku tak menyangka hubungan mereka akan secepat ini. Aku mengusap air mataku yang menetes dan mencoba menyudahi tangisanku, namun setiap bayangan mesra Lian dan Nina menyeruak, aku tidak dapat menahan rasa sakit yang kurasakan.
Sejak saat itu, aku mencoba untuk melupakan Lian. Aku mencoba menghapus perasaanku, namun aku tidak bisa membohongi diriku sendiri, aku tidak bisa melihat orang yang kusuka bersama orang lain. Mungkin, Maudi benar. Kebohongan yang paling sering diucapkan adalah mengatakan bahwa ia baik-baik saja padahal ia sedang terluka. Dan seperti itulah aku sekarang, tersenyum walaupun sebenarnya hatiku sakit. Karena, aku tak ingin orang lain mengetahui apa yang sedang kurasakan.
Waktu terus berjalan,  mereka yang mengenalku mengeluh dengan perubahan sikapku. Aku yang tidak seceria dulu, senang menyendiri, kadang-kadang menangis tanpa alasan yang jelas dan segala hal yang mereka rasakan berbeda dengan aku yang lima bulan yang lalu.
Sebenarnya, aku tidak ingin mengubah sikapku. Tapi, Lian dan Nina membuatku tidak punya pilihan. Aku memang tidak bisa lagi bersikap seperti dulu karena memang keadaannya sudah berbeda. Aku tidak bisa lagi dekat dengan Lian, karena sikapnya yang sedikit berubah menjauhi wanita selain Nina. Aku tahu, dia hanya ingin menjaga hatinya untuk Nina, namun itu menyakitkanku. Lian tidak tahu, betapa senangnya aku saat ia menyapaku walaupun hanya saat ia membutuhkan bantuanku. Ya, aku hanya menjadi bonekanya, namun aku tidak pernah menganggap itu sebagai masalah. Karena sekarang, rasa sukaku telah berubah tidak hanya sekedar suka, tetapi mungkin aku telah mencintainya. Kadang-kadang aku mengumpat kesal pada diriku sendiri, mengapa aku bisa mencintai orang yang tak pernah menganggapku ada. Tapi, setiap aku menatap diam-diam wajah Lian, aku semakin mencintainya dan kehilangan alasan mengapa aku harus membencinya.
“Aku nggak suka sama sikap protektif kamu!” terdengar suara seseorang yang setengah berteriak.
“Aku ngelakuin itu karena aku sayang sama kamu.” Kemudian terdengar suara seorang lelaki yang ku kenal. Ku intip mereka dari balik dinding, Lian dan Nina sedang bertengkar.
“Tapi, sikap kamu keterlaluan, Lian!”  Nina kembali membentak Lian. Kulihat Lian hanya diam, aku tidak menyangka Lian tidak bersuara sedikitpun saat dibentak oleh Nina.
“Sebegitu besarkah rasa sayang lo ke Nina, Lian? Hingga lo ngga berkutik saat Nina ngebentak lo, padahal lo ngga paling suka dibentak.” Gumamku.
Dikelas, aku meilhat Lian sedang termenung. Aku ingin sekali menegurnya. Aku mendekatinya yang sedang duduk di belakang.
“Lo kenapa, Lian?” tanyaku berpura-pura tidak tahu.
“Gue nggak pa-pa.” jawabnya singkat.
“Muka lo kenapa ditekuk gitu?” tanyaku lagi. Lian hanya diam, menatap kosong kearah pintu kelas.
“Sorry, kalo gue banyak tanya.”.
“Beberapa waktu yang lalu, lo pengen bilang sesuatu sama gue. lo mau ngomong apa?” tiba-tiba Lian menanyakan kembali momen 5 bulan yang lalu.
“Em…. Bukan apa-apa kok, itu ngga penting. Gue juga udah lupa mau bilang apa.” Jawabku bohong. Aku menunduk menghindari tatapan mata Lian.
“Ooh, gitu.” Sahut Lian singkat.
“Sorry, gue udah bohong sama lo, Lian. Gue ngga pengen ngerusak hubungan pertemanan kita, walaupun gue pengen kita ngga Cuma temen. Mungkin ini cara gue jatuh cinta dan mencintai lo, Lian.” Gumamku sembari menatap wajahnya.
3 tahun waktu yang telah berlalu, sekarang aku sedang fokus dengan kuliahku. Namun, sabtu kemarin membuka kembali memoriku tentang dia. Dia yang selama ini bayangannya mulai menghilang, hadir kembali dalam ingatanku dan juga membuka kembali rasa sakit beberapa tahun yang lalu.
Ponselku yang berada disaku tas bagian depan berbunyi. Aku meraih ponsel tersebut. Sebuah telepon dari nomor tak dikenal masuk.
“Halo…” sahutku.
“Halo, ini Metha, kan?” tanya penelpon.
“Iya, ini Metha. Siapa ya?” tanyaku kepada penelpon tersebut.
“Ini gue, Lian. Masa lo lupa sama suara gue.” sahut penelpon.
“Oh, lo, Lian.  Kenapa? Tumben lo nelpon gue.” tanyaku.
“Ngga pa-pa sih. Gue cuman pengen nanya, nanti besok malam lo ada acara ngga?” tanya Lian.
“Ngga, gue ngga ada acara besok malam.” Jawabku.
“Syukur deh, gue pengen ketemuan sama lo, lo bisa kan?” tanya Lian.
“Bisa kok.” Jawabku tanpa pikir panjang.
“Kita ketemuannya di kafe Chocolate jam 19.30 malam.”kata Lian.
“Oke. Sampai jumpa besok malam, ya.”.
“Sampa jumpa besok malam, Met.”. Lian menutup teleponnya.
Sejak hari Sabtu yang lalu, aku kembali merasa bersemangat walaupun kadang-kadang rasa sakit itu masih terasa. Dan menurut berita yang ku dengar, Lian sudah putus dengan Nina beberapa bulan yang lalu. Mungkin ini saatnya aku mengutarakan perasaanku yang tertunda 3 tahun yang lalu gumamku.
Keesokan harinya, waktu menunjukkan jam 19.00 malam. Aku telah siap dengan penampilanku yang berbeda. Gaun hitam yang kupakai membuatku terlihat feminim. Aku berangkat menggunakan taksi karena tak ingin penampilan spesialku rusak.
Di kafe, Lian sudah menungguku di meja 8. Ia tersenyum kearahku, aku membalas senyumannya. Ia menarik kursi dan mempersilahkan aku duduk. Tidak banyak yang kami bicarakan, namun bukan karena tidak ada yang dapat dibicarakan, tetapi karena aku sedang mempersiapkan diriku untuk mengutarakan perasaanku.
“3 tahun yang lalu, gue pernah bilang  kalo gue pengen bilang sesuatu. Sekarang, gue pengen bilang hal itu sama lo.” Ucapku dengan suara yang gugup.
“Lo mau bilang apa, sampe gugup banget kayak gitu?” tanya Lian.
“Gue pengen bilang, kalo gue…, gue suka sama loe sejak SMA, Lian.” Ucapku dengan wajah yang tertunduk.
“Gue juga suka sama lo, Met.” Lian mengangkat kepalaku yang tertunduk.
“Apa Lian? Lo ngomong apa?” tanyaku setengah tidak percaya.
“Sekarang lo budek ya. Gue bilang, gue juga suka sama lo.” Kata Lian dengan keras. Aku menampakkan ekspresi bahagiaku. Kulihat Lian tak henti tersenyum. Ia berjalan kearahku dan memelukku.
“Makasih ya Met, loe ngga berhenti mencintai gue.” bisik Lian.
“Walaupun gue harus berkali-kali jatuh cinta, gue Cuma bakalan jatuh cinta sama lo, Lian. Cuman lo yang gue pengen” Sahutku. Ia melepaskan pelukannya.
“Sekarang loe jadi puitis, ya?” ledek Lian.
“Apa-apaan sih, lo.” Sahutku dengan wajah malu-malu.
“Kita makan lagi, yuk. Gue laper nih.” Ajak Lian. Aku mengangguk. Kami menyantap hidangan yang telah dipesan.
Dan ini adalah malam terindahku sejak aku jatuh cinta dengan Lian. Ya, hanya Lian yang bisa membuatku jatuh cinta. Sekalipun aku harus merasakan sakit hati, namun dapat bersamanya itu adalah penawar yang ampuh untuk rasa sakit hati yang kurasakan.

Selesai

Tidak ada komentar:

Posting Komentar