Cinta Kamu Selamanya….
“Lian,
gue mau ngomong sama lo.” Aku berusaha menyembunyikan kegugupanku.
“Mau
ngomong apa Met?” tanya Lian. Aku menarik nafas dalam-dalam.
“Lian,
gue…” ucapanku terputus seketika saat seorang lelaki memanggil Lian.
“Lian,
loe dicariin Nina, tuh.” Panggil Deni.
“Oke,
nanti gue kesana.” Sahut Lian.
“Gue
pergi dulu ya, Met. Gue ada urusan.” Pamit Lian, ia menepuk pundakku dan pergi.
Dengan berat hati aku membiarkannya pergi.
“Padahalkan,
gue cuman mau bilang gue suka sama lo, Lian.” Ucapku tertunduk lesu. Air hampir
menetes dari pelupuk mataku, aku berusaha sekuat tenagaku menahannya.
“Darr…
ngapain Met, disini sendirian?” tanya Maudi yang sukses membuatku kaget.
“Ngga
pa-pa kok.” Jawabku bohong.
“Lo tahu
ngga, kebohongan yang paling banyak diucapin sama orang-orang menurut survey?”
tanya Maudi.
“Ya,
enggaklah. Emangnya gue pernah survey yang kayak gituan.”.
“Ihh,
makanya socmed jangan buat curhat doang, kan banyak tuh akun isinya tentang informasi atau
pengetahuan.” Kata Maudi.
“Iya,
bawel banget sih!” gerutuku.
“Oh,
ya, lo tahu nggak jawabannya?” tanyanya lagi.
“Gue
gak tahu.” Jawabku singkat.
“Oke,
jadi menurut tweet yang pernah gue baca, katanya kebohongan yang paling sering
dibuat adalah saat mereka bilang baik-baik aja padahal sebaliknya.” Kata Maudi.
“Jadi,
loe pengen bilang kalo gue bohong gitu?” Kataku kesal.
“Siapa
yang ngomong kayak gitu? Gue cuman pengen kasih tahu lo doang.” Kata Maudi. Aku
menggerutu dan mendengus kesal.
“Lo
mau kemana, Met?” tanya Maudi setengah berteriak karena kutinggalkan.
“Kantin!”
jawabku setengah berteriak pula.
“Lian,
loe kemana sih? Gue pengen ngomong.” Gumamku. Aku berjalan di lorong sekolah
berharap dapat menemukan Lian. Aku ingin mengungkapkan apa yang sejak lama
kupendam sebelum aku kehilangan kesempatan. Dalam pencarianku, mataku terhenti
pada bangku taman sekolah. Disana tampak seorang lelaki dan perempuan yang
bercanda mesra. Lelaki itu, lelaki yang kusukai sejak lama sedang bermesraan
dengan wanita lain. Air mataku menetes tanpa kusadari, aku menutupi wajahku
dengan tangan dan berlari meninggalkan tempat itu.
Di tempat
lain di sekolah, aku menangis tersedu. Rasanya hatiku hancur tak terkira
melihat Lian dengan Nina. Aku memang sudah curiga dengan hubungan mereka, tapi
aku tak menyangka hubungan mereka akan secepat ini. Aku mengusap air mataku yang
menetes dan mencoba menyudahi tangisanku, namun setiap bayangan mesra Lian dan
Nina menyeruak, aku tidak dapat menahan rasa sakit yang kurasakan.
Sejak saat
itu, aku mencoba untuk melupakan Lian. Aku mencoba menghapus perasaanku, namun
aku tidak bisa membohongi diriku sendiri, aku tidak bisa melihat orang yang
kusuka bersama orang lain. Mungkin, Maudi benar. Kebohongan yang paling sering
diucapkan adalah mengatakan bahwa ia baik-baik saja padahal ia sedang terluka. Dan
seperti itulah aku sekarang, tersenyum walaupun sebenarnya hatiku sakit. Karena,
aku tak ingin orang lain mengetahui apa yang sedang kurasakan.
Waktu terus
berjalan, mereka yang mengenalku
mengeluh dengan perubahan sikapku. Aku yang tidak seceria dulu, senang
menyendiri, kadang-kadang menangis tanpa alasan yang jelas dan segala hal yang
mereka rasakan berbeda dengan aku yang lima bulan yang lalu.
Sebenarnya,
aku tidak ingin mengubah sikapku. Tapi, Lian dan Nina membuatku tidak punya
pilihan. Aku memang tidak bisa lagi bersikap seperti dulu karena memang
keadaannya sudah berbeda. Aku tidak bisa lagi dekat dengan Lian, karena
sikapnya yang sedikit berubah menjauhi wanita selain Nina. Aku tahu, dia hanya
ingin menjaga hatinya untuk Nina, namun itu menyakitkanku. Lian tidak tahu,
betapa senangnya aku saat ia menyapaku walaupun hanya saat ia membutuhkan
bantuanku. Ya, aku hanya menjadi bonekanya, namun aku tidak pernah menganggap
itu sebagai masalah. Karena sekarang, rasa sukaku telah berubah tidak hanya
sekedar suka, tetapi mungkin aku telah mencintainya. Kadang-kadang aku mengumpat
kesal pada diriku sendiri, mengapa aku bisa mencintai orang yang tak pernah
menganggapku ada. Tapi, setiap aku menatap diam-diam wajah Lian, aku semakin
mencintainya dan kehilangan alasan mengapa aku harus membencinya.
“Aku
nggak suka sama sikap protektif kamu!” terdengar suara seseorang yang setengah
berteriak.
“Aku
ngelakuin itu karena aku sayang sama kamu.” Kemudian terdengar suara seorang
lelaki yang ku kenal. Ku intip mereka dari balik dinding, Lian dan Nina sedang
bertengkar.
“Tapi,
sikap kamu keterlaluan, Lian!” Nina
kembali membentak Lian. Kulihat Lian hanya diam, aku tidak menyangka Lian tidak
bersuara sedikitpun saat dibentak oleh Nina.
“Sebegitu
besarkah rasa sayang lo ke Nina, Lian? Hingga lo ngga berkutik saat Nina
ngebentak lo, padahal lo ngga paling suka dibentak.” Gumamku.
Dikelas,
aku meilhat Lian sedang termenung. Aku ingin sekali menegurnya. Aku mendekatinya
yang sedang duduk di belakang.
“Lo
kenapa, Lian?” tanyaku berpura-pura tidak tahu.
“Gue
nggak pa-pa.” jawabnya singkat.
“Muka
lo kenapa ditekuk gitu?” tanyaku lagi. Lian hanya diam, menatap kosong kearah
pintu kelas.
“Sorry,
kalo gue banyak tanya.”.
“Beberapa
waktu yang lalu, lo pengen bilang sesuatu sama gue. lo mau ngomong apa?”
tiba-tiba Lian menanyakan kembali momen 5 bulan yang lalu.
“Em…. Bukan
apa-apa kok, itu ngga penting. Gue juga udah lupa mau bilang apa.” Jawabku bohong.
Aku menunduk menghindari tatapan mata Lian.
“Ooh,
gitu.” Sahut Lian singkat.
“Sorry,
gue udah bohong sama lo, Lian. Gue ngga pengen ngerusak hubungan pertemanan
kita, walaupun gue pengen kita ngga Cuma temen. Mungkin ini cara gue jatuh
cinta dan mencintai lo, Lian.” Gumamku sembari menatap wajahnya.
3
tahun waktu yang telah berlalu, sekarang aku sedang fokus dengan kuliahku. Namun,
sabtu kemarin membuka kembali memoriku tentang dia. Dia yang selama ini bayangannya
mulai menghilang, hadir kembali dalam ingatanku dan juga membuka kembali rasa
sakit beberapa tahun yang lalu.
Ponselku
yang berada disaku tas bagian depan berbunyi. Aku meraih ponsel tersebut. Sebuah
telepon dari nomor tak dikenal masuk.
“Halo…”
sahutku.
“Halo,
ini Metha, kan?” tanya penelpon.
“Iya,
ini Metha. Siapa ya?” tanyaku kepada penelpon tersebut.
“Ini
gue, Lian. Masa lo lupa sama suara gue.” sahut penelpon.
“Oh,
lo, Lian. Kenapa? Tumben lo nelpon gue.”
tanyaku.
“Ngga
pa-pa sih. Gue cuman pengen nanya, nanti besok malam lo ada acara ngga?” tanya
Lian.
“Ngga,
gue ngga ada acara besok malam.” Jawabku.
“Syukur
deh, gue pengen ketemuan sama lo, lo bisa kan?” tanya Lian.
“Bisa
kok.” Jawabku tanpa pikir panjang.
“Kita ketemuannya
di kafe Chocolate jam 19.30 malam.”kata Lian.
“Oke. Sampai
jumpa besok malam, ya.”.
“Sampa
jumpa besok malam, Met.”. Lian menutup teleponnya.
Sejak hari
Sabtu yang lalu, aku kembali merasa bersemangat walaupun kadang-kadang rasa
sakit itu masih terasa. Dan menurut berita yang ku dengar, Lian sudah putus
dengan Nina beberapa bulan yang lalu. Mungkin ini saatnya aku mengutarakan
perasaanku yang tertunda 3 tahun yang lalu gumamku.
Keesokan
harinya, waktu menunjukkan jam 19.00 malam. Aku telah siap dengan penampilanku
yang berbeda. Gaun hitam yang kupakai membuatku terlihat feminim. Aku berangkat
menggunakan taksi karena tak ingin penampilan spesialku rusak.
Di kafe,
Lian sudah menungguku di meja 8. Ia tersenyum kearahku, aku membalas
senyumannya. Ia menarik kursi dan mempersilahkan aku duduk. Tidak banyak yang
kami bicarakan, namun bukan karena tidak ada yang dapat dibicarakan, tetapi
karena aku sedang mempersiapkan diriku untuk mengutarakan perasaanku.
“3 tahun
yang lalu, gue pernah bilang kalo gue
pengen bilang sesuatu. Sekarang, gue pengen bilang hal itu sama lo.” Ucapku dengan
suara yang gugup.
“Lo
mau bilang apa, sampe gugup banget kayak gitu?” tanya Lian.
“Gue
pengen bilang, kalo gue…, gue suka sama loe sejak SMA, Lian.” Ucapku dengan
wajah yang tertunduk.
“Gue
juga suka sama lo, Met.” Lian mengangkat kepalaku yang tertunduk.
“Apa
Lian? Lo ngomong apa?” tanyaku setengah tidak percaya.
“Sekarang
lo budek ya. Gue bilang, gue juga suka sama lo.” Kata Lian dengan keras. Aku menampakkan
ekspresi bahagiaku. Kulihat Lian tak henti tersenyum. Ia berjalan kearahku dan
memelukku.
“Makasih
ya Met, loe ngga berhenti mencintai gue.” bisik Lian.
“Walaupun
gue harus berkali-kali jatuh cinta, gue Cuma bakalan jatuh cinta sama lo, Lian.
Cuman lo yang gue pengen” Sahutku. Ia melepaskan pelukannya.
“Sekarang
loe jadi puitis, ya?” ledek Lian.
“Apa-apaan
sih, lo.” Sahutku dengan wajah malu-malu.
“Kita
makan lagi, yuk. Gue laper nih.” Ajak Lian. Aku mengangguk. Kami menyantap
hidangan yang telah dipesan.
Dan ini
adalah malam terindahku sejak aku jatuh cinta dengan Lian. Ya, hanya Lian yang
bisa membuatku jatuh cinta. Sekalipun aku harus merasakan sakit hati, namun
dapat bersamanya itu adalah penawar yang ampuh untuk rasa sakit hati yang
kurasakan.
Selesai
Tidak ada komentar:
Posting Komentar