Senin, 14 April 2014

Tantangan @KampusFiksi: MINE



MINE
 “Bagaimana Wita, apa kau masih menganggap pistolku ini pistol mainan?” aku mengarahkan pistolku ke arah wanita yang berdiri dibawah sebuah pohon. Ia tampak gemetar saat pistolku menyentuh kulit wajahnya yang putih.
“Tenang saja, aku tidak akan membunuhmu. Aku hanya ingin memilikimu selamanya.” Aku meletakkan tanganku dipohon yang disandari wanita itu untuk menopang tubuhku. Ku cium bibir merah wanita itu. Tentu saja ia menolak ciuman lelaki gila sepertiku.
“Plaakkk…” sebuah tamparan mendarat diwajahku. Aku tertawa kecil dan membiarkannya menghindariku. Aku berbalik ke arah Wita, kulihat nafasnya yang tersengal dan tubuhnya yang gemetar membuatku semakin menikmati permainan ini. 


“Don, lepaskan kami.” Pinta Wita dengan wajah yang memelas. Aku mendekatinya, namun ia melangkah mundur.
“Melepaskan kalian? Heh, tidak akan. Aku ingin dia melihatnya dan merasakan sakit seperti yang aku rasakan.”.
“Kau gila, Don. Kau gila!” teriak Wita
“Aku memang gila!!!” aku berteriak dan suaraku menggema ke seluruh bagian hutan.
“Kau yang membuatku gila, Wita. Kau yang membuatku gila.” Ucapku lirih. Aku menjambak rambut hitamnya yang panjang. Kulihat wajahnya meringis kesakitan namun aku tidak memperdulikannya.
“Don, lepaskan Wita, Don. Kalau kau  memang berani, kita bertanding dan yang menang akan mendapatkan Wita.” Ucap seorang lelaki yang terikat disebuah pohon lainnya.
“Lukman, Lukman.  Aku hampir lupa denganmu. Tawaranmu memang bagus, namun sayangnya aku tidak menginginkan itu, yang kuinginkan hanyalah Wita, aku ingin Wita jadi milikku!” teriakku.
“Kau akan mendapatkan Wita, Don. Namun setelah kau melangkahi mayatku!” teriak Lukman. Aku berpaling ke arah Lukman dan melepaskan Wita, ia berhasil menyulut amarahku.
“Kau membuatku marah, Lukman. Kau akan tahu akibatnya jika membuatku marah!” aku kembali berteriak.
“Aku tidak takut denganmu, Don.” Lukman menantangku. Tanpa banyak bicara, kuhantam wajahnya dengan genggaman tanganku. Ku tinju perutnya, aku melepaskan ikatannya dan menariknya. Kuhantam kembali tubuh Lukman dengan tinjuku hingga ia terkapar tak berdaya. Kutendang tubuh lemahnya, kutarik kerah bajunya.
“Apa kau masih ingin menantangku?” tanyaku. Darah mulai keluar dari mulut dan hidungnya, namun ia masih memasang wajah menantang seakan apa yang kulakukan tidak ada artinya.
“Aku tidak akan mengalah, Don. Aku mencintai Wita, aku akan memperjuangkannya sampai aku mati.” Suara Lukman terdengar lantang saat ia akan tetap memperjuangkan Wita. Ucapannya membuatku semakin geram, aku kembali menghujam tubuh lemahnya dengan tinjuku. Lukman berteriak kesakitan namun ia masih belum menyerah, aku bangkit dan mengambil pistol yang kuselipkan di sabukku. Aku mengarahkannya ke arah Lukman, namun tiba-tiba Wita bersungkur didepanku, ia menjadikan tubuhnya tameng bagi Lukman.
“Oh, jadi sekarang kau pun memilih ikut mati bersama lelaki ini Wita? Baiklah, kukabulkan keinginan kalian!” teriakku. Aku melingkarkan telunjukku pada pelatuk pistol yang kupegang, kuarahkan pistolku pada tubuh bagian belakang Wita. Wita yang tampak menggenggam tangan Lukman semakin membuatku ingin buru-buru menembakkan pistolku.
“Doorrrr…..”. Untuk kedua kalinya tembakan terdengar. Pistol yang kuarahkan tidak mengenai Wita ataupun Lukman. Aku jatuh tersungkur menahan timah panas yang menyerang kaki kiriku. Pistol yang kugenggam terlepas dari tanganku,  sekarang akulah yang tak berdaya.
Beberapa orang berpakaian hitam menyergapku, mereka memborgol tanganku dan membawaku pergi dari tempat itu. Aku berjalan dan  meringis menahan kakiku yang terkena tembakan.
Beberapa orang berpakaian seragam polisi berlari ke arah Wita dan Lukman, mereka juga membawa Wita dan Lukman. Aku tidak bisa menolak polisi yang sedang membawaku, mereka memasukkanku ke dalam mobil tahanan dan membwaku ke kantor polisi.
Di dalam ruangan besi yang dingin ini, aku duduk pada bagian sudut ruangan, aku mengacak-acak rambutku. Ku dengar derap langkah menuju selku, didepan sel kulihat wanita yang sangat aku cintai datang,  namun tentu saja ia datang bersama lelaki itu, kekasihnya. Aku mendengar pembicaraan mereka,. Polisi itu mengatakan aku mengalami gangguan jiwa. Wanita itu tampak terkejut mendengar apa yang terjadi kepadaku, namun lelaki itu mendekapnya. Rasa marahku kembali memuncak saat lelaki itu memeluk wanitaku. Ya, dia milikku. Tak ada yang bisa memeluknya kecuali aku. Aku berteriak sekeras-kerasnya. Aku memukul dinding besi selku. Polisi penjaga berusaha menhentikanku dengan memborgol tanganku. Aku tenang sekarang, dan wanita itu pergi meninggalkanku sendiri didalam penjara ini.
“Wita, jangan tinggalkan aku, Wita!” teriakku. Namun ia tidak memperdulikanku. Dan keesokan harinya aku dipindahkan ke sebuah tempat, tempat itu bertuliskan Rumah Sakit Jiwa pada bagian depannya. Polisi yang mengantarku mengatakan bahwa disinilah aku akan tinggal dalam waktu yang lama.


“selesai”

Tidak ada komentar:

Posting Komentar