MINE
“Bagaimana
Wita, apa kau masih menganggap pistolku ini pistol mainan?” aku mengarahkan
pistolku ke arah wanita yang berdiri dibawah sebuah pohon. Ia tampak gemetar
saat pistolku menyentuh kulit wajahnya yang putih.
“Tenang saja, aku tidak akan membunuhmu. Aku hanya
ingin memilikimu selamanya.” Aku meletakkan tanganku dipohon yang disandari
wanita itu untuk menopang tubuhku. Ku cium bibir merah wanita itu. Tentu saja
ia menolak ciuman lelaki gila sepertiku.
“Plaakkk…” sebuah tamparan mendarat diwajahku. Aku tertawa
kecil dan membiarkannya menghindariku. Aku berbalik ke arah Wita, kulihat
nafasnya yang tersengal dan tubuhnya yang gemetar membuatku semakin menikmati
permainan ini.
“Don, lepaskan kami.” Pinta Wita dengan wajah yang
memelas. Aku mendekatinya, namun ia melangkah mundur.
“Melepaskan kalian? Heh, tidak akan. Aku ingin dia melihatnya
dan merasakan sakit seperti yang aku rasakan.”.
“Kau gila, Don. Kau gila!” teriak Wita
“Aku memang gila!!!” aku berteriak dan suaraku
menggema ke seluruh bagian hutan.
“Kau yang membuatku gila, Wita. Kau yang membuatku
gila.” Ucapku lirih. Aku menjambak rambut hitamnya yang panjang. Kulihat wajahnya
meringis kesakitan namun aku tidak memperdulikannya.
“Don, lepaskan Wita, Don. Kalau kau memang berani, kita bertanding dan yang
menang akan mendapatkan Wita.” Ucap seorang lelaki yang terikat disebuah pohon
lainnya.
“Lukman, Lukman. Aku hampir lupa denganmu. Tawaranmu memang
bagus, namun sayangnya aku tidak menginginkan itu, yang kuinginkan hanyalah
Wita, aku ingin Wita jadi milikku!” teriakku.
“Kau akan mendapatkan Wita, Don. Namun setelah kau melangkahi
mayatku!” teriak Lukman. Aku berpaling ke arah Lukman dan melepaskan Wita, ia
berhasil menyulut amarahku.
“Kau membuatku marah, Lukman. Kau akan tahu
akibatnya jika membuatku marah!” aku kembali berteriak.
“Aku tidak takut denganmu, Don.” Lukman menantangku.
Tanpa banyak bicara, kuhantam wajahnya dengan genggaman tanganku. Ku tinju
perutnya, aku melepaskan ikatannya dan menariknya. Kuhantam kembali tubuh
Lukman dengan tinjuku hingga ia terkapar tak berdaya. Kutendang tubuh lemahnya,
kutarik kerah bajunya.
“Apa kau masih ingin menantangku?” tanyaku. Darah mulai
keluar dari mulut dan hidungnya, namun ia masih memasang wajah menantang seakan
apa yang kulakukan tidak ada artinya.
“Aku tidak akan mengalah, Don. Aku mencintai Wita,
aku akan memperjuangkannya sampai aku mati.” Suara Lukman terdengar lantang
saat ia akan tetap memperjuangkan Wita. Ucapannya membuatku semakin geram, aku
kembali menghujam tubuh lemahnya dengan tinjuku. Lukman berteriak kesakitan
namun ia masih belum menyerah, aku bangkit dan mengambil pistol yang kuselipkan
di sabukku. Aku mengarahkannya ke arah Lukman, namun tiba-tiba Wita bersungkur
didepanku, ia menjadikan tubuhnya tameng bagi Lukman.
“Oh, jadi sekarang kau pun memilih ikut mati bersama
lelaki ini Wita? Baiklah, kukabulkan keinginan kalian!” teriakku. Aku melingkarkan
telunjukku pada pelatuk pistol yang kupegang, kuarahkan pistolku pada tubuh
bagian belakang Wita. Wita yang tampak menggenggam tangan Lukman semakin
membuatku ingin buru-buru menembakkan pistolku.
“Doorrrr…..”. Untuk kedua kalinya tembakan
terdengar. Pistol yang kuarahkan tidak mengenai Wita ataupun Lukman. Aku jatuh
tersungkur menahan timah panas yang menyerang kaki kiriku. Pistol yang
kugenggam terlepas dari tanganku, sekarang akulah yang tak berdaya.
Beberapa orang berpakaian hitam menyergapku, mereka
memborgol tanganku dan membawaku pergi dari tempat itu. Aku berjalan dan meringis menahan kakiku yang terkena tembakan.
Beberapa orang berpakaian seragam polisi berlari ke arah
Wita dan Lukman, mereka juga membawa Wita dan Lukman. Aku tidak bisa menolak polisi
yang sedang membawaku, mereka memasukkanku ke dalam mobil tahanan dan membwaku
ke kantor polisi.
Di dalam ruangan besi yang dingin ini, aku duduk pada
bagian sudut ruangan, aku mengacak-acak rambutku. Ku dengar derap langkah
menuju selku, didepan sel kulihat wanita yang sangat aku cintai datang, namun tentu saja ia datang bersama lelaki
itu, kekasihnya. Aku mendengar pembicaraan mereka,. Polisi itu mengatakan aku
mengalami gangguan jiwa. Wanita itu tampak terkejut mendengar apa yang terjadi
kepadaku, namun lelaki itu mendekapnya. Rasa marahku kembali memuncak saat lelaki
itu memeluk wanitaku. Ya, dia milikku. Tak ada yang bisa memeluknya kecuali
aku. Aku berteriak sekeras-kerasnya. Aku memukul dinding besi selku. Polisi penjaga
berusaha menhentikanku dengan memborgol tanganku. Aku tenang sekarang, dan
wanita itu pergi meninggalkanku sendiri didalam penjara ini.
“Wita, jangan tinggalkan aku, Wita!” teriakku. Namun
ia tidak memperdulikanku. Dan keesokan harinya aku dipindahkan ke sebuah tempat,
tempat itu bertuliskan Rumah Sakit Jiwa pada bagian depannya. Polisi yang
mengantarku mengatakan bahwa disinilah aku akan tinggal dalam waktu yang lama.
“selesai”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar